Mohon tunggu...
Harry Cahya
Harry Cahya Mohon Tunggu... Konsultan - Saya adalah seorang yang senang berbagi pengalaman & visi.\r\nMelihat kehidupan sebagai anugrah yang harus disyukuri, sekaligus tantangan yang harus dihadapi.\r\nMisi ku adalah menjadi saluran berkat Tuhan bagi orang lain. Pandanganku tentang kehidupan kutulis dalam buku \"Quantum Asset\" (terbit 2008)

Saya adalah seorang yang senang berbagi pengalaman & visi.\r\nMelihat kehidupan sebagai anugrah yang harus disyukuri, sekaligus tantangan yang harus dihadapi.\r\nMisi ku adalah menjadi saluran berkat Tuhan bagi orang lain. Pandanganku tentang kehidupan kutulis dalam buku \"Quantum Asset\" (terbit 2008)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kerajaan Dulu, Kini, dan Masa Depan

26 Januari 2020   14:00 Diperbarui: 26 Januari 2020   18:04 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kita pernah belajar sejarah,  setidaknya di SMP dan SMA dulu. Kita mencatat dan menghafal tahun tahun berdirinya Kerajaan, menghafal Gelar           Raja, belajar tentang   kepahlawanan,  Pujangga dengan karya-karyanya.  Mengetahui sistim mata pencaharian masyarakat. Mengenal bagaimana sebuah kerajaan  berperang, mengalami masa kejayaan  sampai dengan keruntuhannya. Situs situs yang ada  menjadi rujukan kesahihan originitas pernik pernik kejadian dan tanda keberadaan Kerajaan masa silam.   

Sebagian keturunan dari Kerajaan-kerajaan yang kita pelajari  masih ada hingga sekarang.. Lihat saja Kerajaan Inggris dan beberapa negara di Eropa, semisal  Belanda,  Belgia, Spanyol Yunani, Itali dlsb.  Kerajaan di wilayah  belahan dunia Timur Tengah bahkan masih menandai  eksistensi politik maupun budayanya, seperti Arab Saudi, Yordania maupun Uni Emirat Arab

Asia tak kalah tanda eksistensinya  dengan negeri Sakura Jepang yang vital dengan  Kekaisaran,  Thailand yang monarki konstitusionalnya tetap dihormati kendati sistim pemerintahan parlementer sarat dengan kudeta.

Adapun Indonesia kita,  berada dalam mosaik  Kenusantaraan. Mulai dari Kerajaan Kutai, Mulawarman, Medang,  Dinasti Wangsa Syailenda maupun Sanjaya dalam rentang  Mataram Hindu, Sriwijaya, Pajajaran,  Majapahit, Mataram, Kasultanan Yogyakarta, Kasunanan. Surakarta, Kasultanan Cirebon, dan masih banyak lagi yang eksis sebagai bagian citra Nusantara.

Kerajaan terus menjadi daya hidup yang secara historis mengkontribusi bagi berdiri dan kokohnya  keberlangsungan NKRI. Secara historis faktual berdirinya NKRI,  dikontribusi baik langsung maupun tidak langsung oleh berbagai kerajaan  di bumi Nusantara yang beraneka ragam etnik, Bahasa dan budayanya. Maka  hal itu sekaligus menandai bahwa NKRI, sejak lahirnya memang dikodratkan sebagai negeri plural, beragam yang kemudian disatukan oleh tekad kehendak hidup bersama dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

KERAJAAN DI MASA KINI


Karena kesadaran dan kehendak bersama  untuk melahirkan NKRI, pada masa kolonialisme, maka kerajaan-kerajaan lokal daerah bersatu mendukung NKRI. Dukungan mana bahkan tidak hanya secara politis, tapi juga secara finansial, sebut saja bagaimana Raja Kasultanan Yogyakarta, ketika Sri Sultan Hamengku Buwono IX, memberikan bantuan 6,5 juta gulden kepada Ir. Soekarno , beberapa waktu setelah memproklamirkan Kemerdekaan Republik Indonesia.

NKRI muda yang baru dilahirkan belum memiliki modal material (finansial) yang cukup untuk memberlangsungkan Pemerintahan.  Kisah ini memberi kesadaran dan pembelajaran kita bahwa antara NKRI dan Kerajaan tidak untuk diperdebatkan dalam hal eksistensi politik kekuasaan.

NKRI dan kerajaan di bumi Nusantara adalah kemanunggalan, antara kepemimpinan konstitusional RI dengan  kolektifitas kepemimpinan kawula dari berbagai Kerajaan Lokal yang masih ada.  Para Raja tiada pernah menyatakan klaim atas kekuasaannya dan begitupun Kepemimpinan nasional NKRI, juga terus senantiasa menghormati eksistensi Kerajaan, utamanya dari sisi " Cultural Historical"

TRILOGI ESENSI KERAJAAN

Kita telah pernah mendengar kalimat mutiara "Tahta Untuk Rakyat", kalimat ini mengiringi kisah kebesaran  Raja/Sultan Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Tahta untuk Rakyat adalah Citra integritas  Sri Sultan Hamengku Buwono IX, seorang tokoh besar yang pernah ada di negeri ini.

Bahwa kekuasaan (tahta) adalah piranti untuk mengayomi, melayani kawula (rakyat) . "Tahta Untuk Rakyat" adalah pernyataan (klaim) hakikat. Klaim yang sama sekali bukan untuk menarik pengakuan, namun klaim itu adalah seruan dan  keteladanan. Agar  Pemimpin (Raja) sepanjang usia kekuasaaan bahkan sepanjang hidupnya untuk berbagi melayani kepada rakyat (kawula), demi terwujudnya kesejahteraan.

Kepemimpinan dalam berbagai level dan lokus selalu dalam relasi dengan rakyat (kawula).  Sri Sultan Hamengku Buwono IX, seakan jauh hari sebelum hari ini mengingatkan makna dan hakikat tahta (kekuasaan). Memaknai hubungan antara pemimpin dan pengikut (yang dipimpin) maka relasi kepemimpinan ditengarai  dengan kalimat mutiara  "Manunggaling Kawula Gusti". 

Kawula yang adalah rakyat, dan Gusti yang adalah Pemimpin (Raja) hendaknya manunggal dalam perjalanan pergulatan hidup bernegara maupun berkerajaan demi tercapainya Visi (gegayuhan) yaitu "Hamemayu Hayuning Bawono"

Terhadap tiga kalimat mutiara yaitu Hamemayu Hayuning Bawono, Manunggaling Kawula Gusti dan Tahta Untuk Rakyat sebagai "Trilogi Esensi Kerajaan "  itulah yang menandai hakikat "keistimewaan" Yogyakarta. Makna Keistimewaan Yogyakarta, dari sisi arti keutamaan (nilai) bukanlah isu eksklusif  bagi Daerah Istimewa Yogyakarta saja.

Keutamaan itu bersifat inklusif bagi seluruh rakyat Indonesia dalam dinamika berbangsa. Oleh karenanya Trilogi Esensi Kerajaan, dapat dijadikan pengungkit  refleksi bagi para "klaimator"  kekuasaan, termasuk klaim-klaim Kerajaan yang lagi ramai saat ini.

KLAIM LAHIRNYA KERAJAAN KINI

Sejak Proklamasi kemerdekaan RI sampai hari ini sudah puluhan kali adanya klaim atas Kerajaan Baru atau yang akan datang. Kisah Klaim para orator obsesionis begitu marak dengan tingkat keseringan yang tinggi di Indonesia. Mereka  mengaku sebagai Raja Baru atau setidaknya bidan Kerjaaan baru  yang beraromakan  mesianistis (Keratuadilan).

Sebut saja mulai dari Kisah Sawito Kartowibowo, pada jaman rezim orde baru,  hingga Kerajaan Agung Sejagad kini.  Ada puluhan kali yang hampir semuanya berakhir di tangan pihak yang berwajib.  Pertanyaan kita,  mengapa Obsesionis begitu subur lahir di Indonesia.

Ada beberapa faktor bumi Nusantara ini menjadi media yang subur bagi lahirnya Obsesionis antara lain :

1. Khas pola berbangsa   kita memang lebih dekat dengan model  Kerajaan. Dalam pengertian positif adalah ketika perilaku mencerminkan paham nilai Manunggaling Kawula Gusti. Dari sejarah memang pola monarki kerajaan telah mendahului ada sebelum pola konstitusional Republik.

2. Cara pandang masyarakat  tentang masa depan (the future) lebih cenderung berorientasi ke hal hal yang beraroma  Mesianistik sebuah format pembebasan diri yang cepat yang datang dari kekuatan Kosmologis.

3. Ramalan sang Prabu Jayabaya, tentang kepemimpinan di Jawa maupun Nusantara, bak bagai nubuat yang senantiasa menjadi rujukan para pegiat spiritualis.

4. Kredo janji Kembalinya esensi hikmat tokoh Danyang Jagad Jawa  Sabdo Palon Noyogenggong 500 tahun setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit.

5. Serat Kalatida karya penerawangan Pujangga  R. Ranggawarsita.

6. Dokumen dokumen Asset Bangsa Nusantara.. Amanah dan Dinasty   yang terkait kuat dengan eksistensi Bung Karno  /Ir Soekarno sebagai Presiden Pertama RI. Yang konon pernah menanda tangani perjanjian dengan Presiden USA kala itu.  John.  F.  Kennedy, dikenal dengan  The Green Hilton Memorial Agreement

Enam faktor khas di atas sangat berkaitan dan siapapun yang memunculkan diri sebagai klaimator Kerajaan biasanya akan merujuk pada  6 faktor tersebut, baik sebagian maupun semuanya. Keenam faktor rujukan di atas menjadi inspirasi ide, pemicu lahirnya niat, motivasi dan swa legitimasi. Tema pembebasan, pemberdayaan dan kekuasaan adalah ide yang menyertai.

MENCARI GUNA DI SELA FENOMENA 

Terlepas dari benar dan tidaknya klaim, maupun keabsahanya, maka refleksi intinya adalah apakah klaim berikut argumentasi yang menyertai bisa nyambung (terhubung) dengan "Trilogi Esensi Kerajaan" atau tidak . Kalau saja terdapat kesehubungan antara klaim hasrat Raja baru dengan "Trilogi Esensi Kerajaan" maka fenomena lahirnya Kerajaan baru yang sedang marak saat ini, terdapat sisi positif  yaitu  adanya gerakan transformasi sikap mental kepemimpinan saat ini.

Hari ini kita butuh pengungkit untuk penyegaran kembali revolusi mental sebagaimana pernah dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo pada awal periode pertama pemerintahannya. Kini revolusi mental itu ke mana. Revolusi mental masih dan semakin relevan saat ini khususnya revolusi mental untuk para elite, para mereka yang berada di dan dekat kekuasaan.

Boleh jadi fenomena lahirnya Kerajaan Baru  menjadi pemicu penyegaran kembali Gerakan Revolusi mental. Bisa jadi ya,  andaikata Kerajaan baru mampu menyambungkan estafet pembawa keutamaan kerajaan yang ada dalam  "Trilogi Esensi Kerajaan" ( 1.Hamemayu Hayuning Bawono, 2. Manunggaling Kawula Gusti dan 3,Tahta Untuk Rakyat ). Kalau demikian halnya maka ada guna di sela fenomena lahirnya (klaim) Kerajaan kerajaan baru.

KERAJAAN MASA DEPAN

Betapa Kerajaan ternyata telah  menjadi  simbol makna yang sungguh kaya dan luas.  Kita dapat berbahas Kerajaan  dalam 5 dimensi yaitu :

  •  Dimensi sejarah (situs, silsilah dan dokumen)
  •  Dimensi Sistim  Pemerintahan
  •  Dimensi  Nilai (Peran Kerajaan dan Integritas Kepemimpinan)
  •  Dimensi Supranatural (wahyu dan daya  kosmologis) dan
  •  Dimensi Teologi.

Melalui refleksi 5 dimensi tersebut, pertanyaan kita menjadi  "masih akan datangkah kerajaan-kerajaan masa depan"  Fenomena Kerajaan masa depan (the future Kingdom)  barangkali akan terus menggoda kesadaran kita. Terlepas dari azas keniscayaan, tapi memang  segala sesuatu adalah mungkin adanya. Justru yang niscaya itu  adalah perubahan atas segala sesuatu. Segala hal yang dibuat manusia tiada yang lestari. 

Fenomena munculnya Kerajaan Baru sebagai  The Future Kingdom adalah refleksi di wilayah  kearifan. The Future Kingdom. mengajak kita mawas  kesadaran dalam 5 dimensi ( Sejarah, Sistim,  Nilai, Supranatural dan Teologi) yang terintegrasi.  Efek permenungan  ini semoga bisa memberi bekal transformasi bagi para  obsesionis dari seorang klaimator   menjadi seorang kreator, inovator dan vibrator daya positif.

Menjadi kreator, inovator dan vibrator energi positif akan  membawa  diri berjiwa kusuma. Jiwa yang  berdaya meneruskan perjuangan pengabdian  (labuh labet) para Pahlawan dan Founding Fathers  kita bagi kemuliaan humanisme. Jiwa yang  kian bergairah menghadirkan kesejahteraan yang bermartabat bagi semua orang di Indonesia, serta menjadikan bumi semakin ramah dan nyaman bagi kehidupan semua. (HC) 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun