Mohon tunggu...
Harry Agus Yasrianto
Harry Agus Yasrianto Mohon Tunggu... Guru - Guru Sosiologi di SMA Negeri 1 Berau

Hobi Membaca, Menulis cerita pendek, Travelling,Fotografi, Musik

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mulut di Sudut Meja

7 September 2022   10:36 Diperbarui: 7 September 2022   10:43 912
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Oleh Harry Agus Yasrianto

 

Semua orang sibuk mengikis rejeki. Ini memang waktunya memperjuangkan banyak mulut. Mulut-mulut itu ada di mana-mana. Di sudut gang, warung, bioskop, jalan setapak, pasar, persimpangan, pertigaan,gedung mewah, bis, pelabuhan, di manapun. 

Mulut-mulut itu bungkam, tapi bukan tidak sedang menerka arah. Mulut-mulut ini cerdas, membidik setiap kesempatan,    

“Masuk, Yas. Di luar hujan,” ujar Rien.

Agyas manggut-manggut. 

“Terima kasih,” jawab lelaki tua itu.

“Duduklah,” Rien mempersilakan sahabat karibnya itu masuk. Malam masih berjalan seperti biasanya, cicak di dinding juga bercanda seperti hari-hari sebelumnya. Tidak ada yang berubah sedikitpun. Jam dinding bergerak melambat seakan memahami apa yang akan terjadi mala mini. 

“Apa yang bisa dibantu, Yas ?”

Rien duduk di tepi meja makan yang tidak layak disebut meja makan. Meja ini dipakai untuk segala macam fungsi, kadang dipakai untuk shooting pembuatan film tentang praktek memasak anak perempuan semata wayang di keluarganya, kadang dipakai untuk keperluan zoom meeting ketiga anak lelakinya, kadang digunakan oleh dirinya sendiri untuk mengetik naskah-naskah novelnya. 

“Mohon maaf mengganggu waktunya, Rien.”

Hujan belum juga reda. Petir masih menyambar sana sini. Kilatnya juga masih berkilauan, kadang menyentuh kaca teras rumahnya. Sesekali Rien beristigfar tatkala mendengar suara menggelegar dari ujung langit.

“Tidak kok, Yas. Lagi santai. Anak-anak sudah tidur juga.” 

“Jadi begini, aku membawa titipan dari Bapak.”

Belum selesai Agyas mengeluarkan amplop, tiba-tiba lampu mati. Suasana sedikit mencekam. Kegelapan melanda. Rien gelagapan. Tangannya sibuk meraih gawai dari kantung baju kimono.

“Sebentar ya, aku hidupkan mesin lampu dulu. Maklumlah, namanya juga single parent, jadi semua harus dikerjakan sendiri,” kata wanita berhidung mancung itu kemudian. 

Wajah Agyas nampak cemberut. Bibirnya nampak sedikit miring ke kanan. Terlihat betul rasa tidak sukanya pada situasi ini. Sebagai seorang sahabat, dibantu juga menghidupkan mesin lampu di samping rumah.

“Mesinnya kok tidak bisa hidup ya, padahal bahan bakarnya masih utuh,”  keluh Rien.

“Coba aku cek,” jawab Agyas.

Lelaki bertubuh dekil itu membuka katup mesin. Mencari letak busi . Rien sibuk menerangi mesin dengan lampu senter gawainya.

“Ini penyebabnya. Coba ambilkan kain bekas itu Rien,” pinta Agyas kemudian.

Wanita cantik itu menurut saja. Untung ada sahabatnya ini, kalau tidak, entah kepanikan apalagi yang melandanya nanti.

“Nah, hidup. Cepat matikan semua sumber dari PLN,” perintah lelaki berhidung pesek itu. 

Setengah berlari, Rien menurunkan semua saklar yang bersumber dari kabel PLN. Agyas berpindah tempat ke meja lesehan di depan teras. 

Lelaki bertubuh gelap tersenyum melihat kelakuan sahabatnya itu. Sebagai sesama perantau, dia paham benar bagaimana wanita bertubuh langsing di hadapannya ini berjuang keras menghidupi keempat anaknya. 

“Minumlah dulu,” Rien menyodorkan minuman kesukaan sahabat terbaiknya.

Lelaki bertubuh dekil itu langsung menyeruput kopi kental pahit.

“Lanjutkan, Yas.”

Lelaki beruban itu mengatur posisi duduknya, mengernyitkan dahinya sedikit ke atas, coba memikirkan apa yang sempat menghilang di tengah jalan.

“Jadi begini, aku membawa titipan dari Bapak,” ucap Agyas sambil mengeluarkan amplop dalam lipatan kemejanya yang membasah.

Rien melirik ke amplop di tangan teman kuliahnya itu, sambil meluruskan kedua kakinya di bawah kolong meja lesehan.

“Apa ini, Yas ?”

Agyas coba bersikap tenang. Diaturnya nafas, ditariknya perlahan, lalu dihembuskannnya ke udara. 

“Ini sebagai awal perkenalan, Rien.”

Rien menatap keanehan. Tumben-tumbenan sahabatnya itu memberikan amplop kepadanya. Ada yang tidak beres, batinnya.

“Loh, bukannya kita sudah saling mengenal ?”

Agyas tertawa pelan. Kedua tangannya masih menari di atas meja yang sangat sederhana. Warna meja itu biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Coklat standar, seperti warna meja lesehan pada umumnya. Sampai saat inipun, banyak orang masih bertanya-tanya, mengapa warna meja makan selalu didominasi warna coklat, padahal masih banyak warna lain yang lebih elegan, putih misalnya. 

Apa dikarenakan warna coklat akan mengurangi esensi kejorokan pada etika jamuan makan atau karena warna coklat bisa menghilangkan kesan norak, entahlah. Yang pasti, otak lelaki dekil itu sedang fokus pada tujuannya datang ke rumah Rien, bukan membahas tentang meja makan coklat ini.

“Bukan seperti itu, maksudku”

Hembusan angin lembut masih menyergap kedua sahabat di teras rumah. Dua botol mineral sudah mulai menyusut dari sudut bibir Agyas.

 “Maksudnya ?” tanya Rien sambil berdiri. Kedua tangannya sibuk mengeringkan lantai yang sempat basah oleh tampias air hujan. 

“Bapak meminta kesediaanmu untuk membantunya”

“Ayahmu ?” Wanita berhidung mancung menoleh ke arah Agyas

“Lain Rien,” lelaki tua tertawa. Rien menatap kebingungan

 “Jadi ?”

Agyas tersenyum. Sifat sahabatnya ini masih sama seperti dua puluh tahun lalu, begitu polos. Mungkin ini pula yang membuat wanita berhidung mancung ini nampak awet muda.   

“Ini kan sudah waktunya memilih, Rien. Bapak memintaku untuk memperkenalkan dirinya ke warga”

Rien manggut-manggut.

“Sogokan ?” tanya wanita bertubuh langsing itu kemudian.

“Bukan itu, Rien.”

“Aku tidak mengerti maksudmu,” lanjut wanita berambut panjang itu.

“Ini sebagai tanda jadi perkenalan. Bukan sogokan loh,” jelas Agyas

Rien terdiam. Hatinya sungguh meragukan itu. 

“Syarat perkenalannya mudah kok. Kami hanya mencatat namamu di daftar ini”

“Bagaimana kalau aku menolaknya ?”, tiba-tiba hatinya merasa tidak nyaman. Semudah itukah Agyas menghalalkan segala cara demi kebutuhan hidupnya.  

“Itu terserahmu saja, Rien. Aku tidak akan memaksakan kehendak.” jawab lelaki beruban itu pasrah.

“Bisa saja kan, aku terima uangnya, tapi aku tidak memilihnya ?” selidik Rien.

“Waduh,” Agyas nampak terperanjat.

“Kok waduh ?”

“Masa kamu tega tidak membantu Bapak,” jawab lelaki dekil itu.

“Maksudnya bagaimana, Yas ?”

“Bapak itu orang baik. Perhatian sama warganya.”

Rien menatap lurus ke lelaki berwajah oval di hadapannya. Hujan sudah mulai lama meninggalkan malam. Perbincangan semakin memanas, ada perbedaan cara pandang kedua sahabat ini.  

“Bapak itu yang mana ya ?”

Agyas mengeluarkan foto dari kantung plastik. Rien terdiam. Pemimpin yang tidak mau turun ke jalan, firasatnya mengatakan itu. 

“Maksudku, Bapaknya itu di mana sekarang, Yas ?”

“Bapak memiliki empati tinggi pada warganya yang kesulitan kok, Rien”

Wanita berhidung mancung itu manggut-manggut.

“Aku mau berdialog dengan Bapakmu, bisa ?” lanjut Rien.

“Untuk apa, Rien ?”

“Loh, kok nanya untuk apa. Bagaimana aku bisa memilihnya, kalau aku sendiri tidak mengenal wujud Bapak ,“ pancing wanita bertubuh langsing itu.

“Kalau kamu sudah pasti memilih, nanti akan aku pertemukan semua warga yang memilih Bapak.”

“Kalau begitu nanti saja,” sahut Rien.

“Loh, kok begitu, Rien”

“Katamu terserah padaku saja.”

“Rugi kalau kamu tidak memilih Bapak.”

Dua ekor cicak tengah berkecamuk hebat di atas plafon. Bunyinya lumayan mengganggu. Rien sempat tertawa pelan melihatnya. Dia mengingat sahabatnya yang siap melakukan kegilaan apapun demi perutnya yang mulai keasikan menikmati godaan dunia. 

“Ruginya di mana ?” pancing wanita cantik itu sambil mengepang rambut panjangnya. 

“Bapak itu orang baik”

“Bagaimana aku bisa tahu kebaikannya, kalau aku saja belum bertemu dengan Bapakmu itu.”

Agyas nampak mulai gelagapan. Dia mulai terganggu dengan sindiran ini. 

“Beliau perhatian sekali dengan nasibku, padahal baru saja mengenalku”

“Benarkah ?”

“Setiap aku mengalami kesulitan,  Bapak pasti akan membantu,” ucap lelaki beruban itu coba menguatkan.

“Sejak kapan berteman dengan Bapak ?”

“Terlebih saat pemilihan ini, hari-hari Bapak selalu menanyakan kebutuhanku,” Agyas terus nyerocos seperti tidak mengindahkan pertanyaan sahabatnya itu. 

“Bukan kebutuhan masyarakat ?”

“Termasuk itu, Rien”

“Kalau begitu, mungkin aku tidak akan memilihnya”

“Kok begitu, Rien ?”

Agyas coba menyelidik. Bagaimana bisa Rien tidak mendukungnya kali ini. Biasanya dia selalu membantunya.

“Coba bayangkan, bagaimana aku akan memilihnya, jika untuk bertemu dengannya saja, aku harus menunggu persetujuanmu.” 

“Bapak sedang sibuk, Rien”

“Mohon maaf, aku tidak tertarik lagi,” ucap Rien sekenanya.

“Nanti, kalau Bapak sudah tidak sibuk, pasti beliau akan mendatangimu, Rien”

“Kapan itu ?“ pancing wanita cantik itu sambil menyodorkan kudapan pisang rebus.

“Nanti, aku kabarkan lagi ke dirimu,” jawab Agyas sambil mengambil satu buah pisang rebus. 

“Jangan terlalu lama, nanti ada orang lain yang lebih menjanjikan,” goda Rien.  Mata Agyas melotot. Wanita berhidung mancung itu tertawa keras.

“Jangan begitulah, Rien. Kamu tidak kasihan melihat hidupku ?”

“Loh, kan ada Bapakmu yang akan membantu.”

“Target belum tercapai, Rien.”

“Tujuannya kan ? Bukan tujuanmu,” jawab wanita berambut panjang itu seenaknya.

“Iya”

“Kok bisa ? Kan modal yang sudah dikeluarkannya tidak sedikit untuk ini,” kata Rien selanjutnya.

“Banyak yang bermain dua perahu”

“Bapakmu ?”

“Bukan, Rien”

“Jadi, perahu siapa ?”

“Para pemain, maksudku.”

Wanita berhidung mancung itu menggaruk-garuk kepalanya. Uban putih ini sudah mulai menjalar ke seluruh kepalanya.

“Banyak ?” tanya Rien sambil mengarahkan kepalanya ke arah Agyas. Lelaki bertubuh dekil itu tertawa. Ada-ada saja sahabatnya ini. 

“Kamu ini pura-pura tidak tahu saja,” jawab lelaki tua itu sambil mencabut satu akar uban di bagian atas kepala Rien.

“Maksudnya ?” tanya wanita berambut panjang itu sambil mengaduh kesakitan.

“Mereka hanya ambil uangnya saja, nomornya dibiarkan”

“Seperti undian saja”

“Ya seperti itulah”

“Ini permainan apa sih, aku kok nggak ngerti ya,” ujar Rien sambil menyelonjorkan kedua kakinya ke depan. 

“Entahlah.”

“Sudahlah, berhenti saja dari kebodohanmu ini,” rayu wanita bertubuh langsing itu.

“Agak susah mencari pekerjaan di musim pandemi covid 19 ini,” jawab Agyas sambil memutar dan mencabut sehelai rambut putih Rien.

“Bantu aku mengembangkan usaha kami saja, bagaimana ?”

Lelaki beruban itu tidak bisa menjawab. Pikirannya melayang ke mana mana.

“Kamu hanya perlu berusaha keras, tidak perlu memujaku. Aku tidak perlu pujianmu. Aku tahu kemampuanmu. Tidak tega rasanya melihat beban hidupmu ini,” ujar Rien serius.

Agyas mengangguk pelan. Ada semangat baru di hidupnya kini. Wanita berwajah cantik itu tersenyum. 

“Besok kamu mulai bisa bekerja. Selesaikan urusan manajemen di kantorku. Lakukan pembenahan administrasi didalamnya. Aku perlu orang berpengalaman dan amanah sepertimu,” celoteh wanita berambut panjang itu.

“Baiklah, aku akan mengikuti saranmu. Terima kasih atas kepercayaanmu, Rien.”

Rien tersenyum. Sejak kepergian suaminya akibat kecelakaan yang mengenaskan dua bulan lalu, hanya lelaki dekil itu yang tertinggal di hidupnya kini. 

“Bawa istri dan kedua anakmu ke sini. Simpan uang sewamu. Tempati rumah di belakang. Berhematlah sedikit, bukankah itu prinsipmu saat pertama kita merantau di kota ini ?”

Agyas terbahak-bahak. Rien senang bisa melihat kebahagiaan sahabat sejatinya itu.

“Terima kasih, Rien.”

Wanita bertubuh langsing itu mengangguk pelan. Mungkin sudah saatnya mereka bersama lagi seperti dulu. Mengerjakan semua dengan penuh keikhlasan lagi. Menggarap segalanya bersama, tanpa kenal lelah. 

Angin malam menawarkan kedamaian. Kedua sahabat itu masih menghabiskan waktu, mengenang kedatangan mereka dua puluh tahun di kota ini. Hanya bermodal ijazah dan kemampuan, tanpa modal apapun selain itu. Canda tawa masih setia menemani mulut-mulut di sudut meja sederhana, sesederhana kesejatian dan persahabatan yang tercipta dan tak pernah lekang oleh waktu yang terus bergulir.

 

Untuk Rien,

Pecangaan, 01 Maret 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun