Lelaki beruban itu tidak bisa menjawab. Pikirannya melayang ke mana mana.
“Kamu hanya perlu berusaha keras, tidak perlu memujaku. Aku tidak perlu pujianmu. Aku tahu kemampuanmu. Tidak tega rasanya melihat beban hidupmu ini,” ujar Rien serius.
Agyas mengangguk pelan. Ada semangat baru di hidupnya kini. Wanita berwajah cantik itu tersenyum.
“Besok kamu mulai bisa bekerja. Selesaikan urusan manajemen di kantorku. Lakukan pembenahan administrasi didalamnya. Aku perlu orang berpengalaman dan amanah sepertimu,” celoteh wanita berambut panjang itu.
“Baiklah, aku akan mengikuti saranmu. Terima kasih atas kepercayaanmu, Rien.”
Rien tersenyum. Sejak kepergian suaminya akibat kecelakaan yang mengenaskan dua bulan lalu, hanya lelaki dekil itu yang tertinggal di hidupnya kini.
“Bawa istri dan kedua anakmu ke sini. Simpan uang sewamu. Tempati rumah di belakang. Berhematlah sedikit, bukankah itu prinsipmu saat pertama kita merantau di kota ini ?”
Agyas terbahak-bahak. Rien senang bisa melihat kebahagiaan sahabat sejatinya itu.
“Terima kasih, Rien.”
Wanita bertubuh langsing itu mengangguk pelan. Mungkin sudah saatnya mereka bersama lagi seperti dulu. Mengerjakan semua dengan penuh keikhlasan lagi. Menggarap segalanya bersama, tanpa kenal lelah.
Angin malam menawarkan kedamaian. Kedua sahabat itu masih menghabiskan waktu, mengenang kedatangan mereka dua puluh tahun di kota ini. Hanya bermodal ijazah dan kemampuan, tanpa modal apapun selain itu. Canda tawa masih setia menemani mulut-mulut di sudut meja sederhana, sesederhana kesejatian dan persahabatan yang tercipta dan tak pernah lekang oleh waktu yang terus bergulir.
Untuk Rien,
Pecangaan, 01 Maret 2020