Mohon tunggu...
Siti Suharni
Siti Suharni Mohon Tunggu... Suka membaca, menulis, makan, dengerin musik, dan nonton.

Ibu rumah tangga yang suka membaca, belajar, icip-icip kuliner, dan suka nonton film sambil ngeteh atau ngopi. Sering isi waktu dengan menjadi editor, penulis, pengajar, dan pedagang. Saat ini tinggal di Kota Soto dan pengen suatu hari jalan-jalan ke Arab, Tiongkok, Maroko, dan negeri Persia.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sinergi Mengayuh Kapal Pendidikan Indonesia Menuju Abad 21

27 September 2025   20:00 Diperbarui: 27 September 2025   21:58 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan membutuhkan sinergi agar bermutu dan siap menghadapi tantangan abad 21. (Sumber: Dok. Pribadi)

Indonesia saat ini memandang cakrawala masa depan di Abad 21 dengan sebuah visi kolektif dan ambisius: Indonesia Emas 2045. Visi ini bukanlah sekadar impian, melainkan sebuah konstruksi nasional yang kokoh ditopang empat pilar mencakup Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) dan penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK); Perkembangan Ekonomi Berkelanjutan; Pemerataan Pembangunan di seluruh negeri; serta Ketahanan Nasional dan Tata Kelola Pemerintahan yang baik.

Namun, di antara keempatnya, terdapat satu pilar yang menjadi fondasi paling mendasar: Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) dan penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). 

Logikanya tegas dan tak terbantahkan: membangun manusia unggul, cerdas, terampil, dan menguasai teknologi--dua kunci utama menuju masa depan yang cerah--sangat bergantung pada satu hal vital: pendidikan bermutu.

Jika sistem pendidikan nasional kita mampu menghasilkan lulusan yang cerdas, terampil, dan menguasai IPTEK, maka pilar pertama ini akan berdiri kokoh, sekaligus menjadi landasan yang tak tergoyahkan untuk mewujudkan ketiga pilar Indonesia Emas lainnya sehingga siap hadapi tantangan Abad 21.

Alarm dari Panggung Global: Realitas yang Mengharuskan Perubahan

Sayangnya, perjalanan ambisius menuju puncak visi ini harus melewati tantangan berat yang disoroti oleh berbagai laporan global. Setidaknya ada beberapa alarm yang harus benar-benar menjadi perhatian kita untuk segera berbenah dan bangkit.

Tahun 2017 menjadi penanda penting ketika laporan Indeks Pendidikan (Education Index) yang dirilis oleh Human Development mengungkap kedudukan negara-negara dalam upaya mereka mendidik warganya. Dalam peta persaingan ASEAN, Indonesia dengan perolehan skor 0,622 menempati urutan ke-7 dan Singapura di posisi teratas dengan skor 0,832.

Adapun Malaysia di posisi kedua dengan skor 0,719. Kesenjangan ini berakar pada fondasi yang paling dasar: rata-rata lama sekolah. Angka-angka ini adalah cerminan nyata seberapa serius dan efektif upaya pendidikan di negara jiran.

Singapura, dengan rata-rata 11,5 tahun dan Malaysia menyusul ketat di belakangnya dengan rata-rata 10,2 tahun. Adapun Indonesia terasa berbeda di mana rata-rata lama sekolah hanya 8 tahun. Angka ini menceritakan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia terpaksa menghentikan langkah pendidikan mereka sebelum tuntas menyelesaikan bangku SMP.

Pada tahun 2019, posisi Indonesia dalam GTCI hanya berada di peringkat ke-6 di ASEAN. Global Talent Competitiveness Index (GTCI), sebuah tolok ukur komprehensif yang menilai seberapa baik sebuah negara mengembangkan, menarik, dan mempertahankan bakat terbaiknya. 

GTCI adalah penilaian yang luas, mengukur segalanya mulai dari pendidikan formal dan vokasi hingga tingkat literasi baca-tulis dan hitung masyarakat, termasuk kontribusi akademis, seperti jurnal ilmiah dan relevansi sistem pendidikan dengan kebutuhan dunia bisnis.

Alarm berikutnya berbunyi dari laporan Programme for International Student Assessment (PISA) yang dirilis pada Desember 2019. Sayangnya, peringkat Indonesia tercatat merosot tajam di hampir semua indikator utama: membaca, matematika, dan sains. 

Tren penurunan ini adalah kelanjutan dari pola yang terlihat sejak Indonesia pertama kali berpartisipasi dalam PISA pada tahun 2000.

Laporan OECD memberikan sebuah kesimpulan yang menohok: sebagian besar siswa Indonesia belum mencapai kompetensi dasar yang diharapkan. Dalam kemampuan membaca, hanya sekitar 30% siswa yang berhasil memenuhi kompetensi minimal. 

Di bidang matematika, kurang dari 40% siswa, dan dalam ilmu sains, 40% siswa masih berada di bawah kemampuan minimal yang seharusnya mereka kuasai.

Angka-angka ini menjadi alarm yang menandakan bahwa kualitas belajar-mengajar di kelas-kelas Indonesia harus segera ditingkatkan secara fundamental.

Tiga Tiang Penyangga Kualitas: Mengaktifkan Sinergi

Belum terlambat! Kita harus secepatnya berbenah dan bangkit. Untuk mengubah kisah suram dari data di atas, pendidikan harus dipandang bukan sekadar gedung sekolah, melainkan sebuah kapal besar yang berlayar menuju masa depan. 

Agar pelayaran ini sukses menciptakan pendidikan yang benar-benar bermutu, kapal membutuhkan sinergi tiga tiang penyangga penting yang berdiri kokoh: guru, murid, dan orang tua.

Saya sempat mengikuti sebuah talkshow secara daring yang diadakan Kemendikdasmen dan Kompasiana beberapa waktu lalu. Acara yang dimoderatori Pak Heru Margianto (COO Kompasiana) tersebut menghadirkan narasumber, yaitu Ibu Dr Rahmawati (Kepala Pusat Asessment Pendidikan Kemendikdasmen), Ibu Fitriana M.Pd (guru SDN Sukapura 01 Jakarta Utara), Ibu Dinnar Tasmulaylisyah (Fasilitator Sidina Community) serta  Alexa (Duta SMA Nasional).

Sebagai pembuka acara, Pak Ma'ruf (Staf Khusus Mendikdasmen Bidang Komunikasi) mengungkapkan bahwa kunci untuk membentuk pendidikan terletak pada keseharian yang berakar kuat pada kebiasaan baik dan lingkungan yang mendukung. 

Siswa memulai hari-harinya dengan 7 Kebiasaan Anak Hebat, sebuah rutinitas di rumah dan di sekolah yang menanamkan disiplin, proaktif, dan prinsip-prinsip karakter sejak dini.

Namun, kebiasaan baik ini tidak bisa berdiri sendiri karena harus ditopang oleh ekosistem sekolah dan rumah yang sempurna. Sekolah dan rumah anak haruslah tempat yang aman dan nyaman. Ini bukan sekadar tentang gedung yang kokoh dan baik, tetapi juga ada jaminan suasana yang bebas dari perundungan, penuh dukungan emosional, dan mendorong eksplorasi.

Terakhir, fondasi fisik juga tak terpisahkan dari fondasi mental. Sekolah juga dilengkapi dengan program Makan Bergizi Gratis (MBG). Visi ini memastikan bahwa sebelum memulai proses belajar yang berat, setiap siswa telah terpenuhi kebutuhan nutrisi dasarnya sehingga mereka siap untuk menyerap ilmu dan berkreasi tanpa terganggu oleh rasa lapar atau kekurangan gizi. Orang tua pun akan terbantu dengan program ini jika terkelola dengan baik.

Guru, Sang Nakhoda Kapal Pendidikan Indonesia

Saya menyadari, di puncak kemudi kapal pendidikan anak negeri ini berdirilah Sang Nakhoda, yakni para guru. Peran mereka jauh lebih urgen daripada sekadar mengisi kepala murid; mereka adalah nakhoda yang merancang pengalaman belajar yang inspiratif, terus mengasah kemampuan diri, dan menumbuhkan karakter serta daya pikir kritis.

Namun, di balik setiap ruang kelas, ada kisah tentang harapan dan tantangan. Sayangnya, kualitas guru kini berada di bawah sorotan tajam. Kita tidak bisa menutup mata dengan bukti nyata: hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) menunjukkan bahwa masih banyak guru yang belum memenuhi standar minimum sehingga kesulitan menyajikan proses belajar-mengajar yang benar-benar berkualitas.

Namun, di tengah keterbatasan ini, sebuah visi baru dicanangkan: Merdeka Belajar dan Deep Learning. Saya sebagai orang tua melihat ada optimisme bahwa melalui kebijakan ini sehingga situasi bisa berubah. Visi ini adalah tentang membebaskan para guru--memberi mereka kemerdekaan untuk berkreasi dan berinovasi di dalam kelas.

Bayangkan sebuah masa depan di mana para guru tidak lagi terbebani oleh tumpukan kertas dan tuntutan administrasi yang tiada akhir sebagaimana dikeluhkan sahabat-sahabat saya yang berprofesi sebagai guru. 

Sebaliknya, fokus mereka sepenuhnya dialihkan pada satu tujuan mulia: meningkatkan kompetensi diri demi menghasilkan pembelajaran yang lebih baik.

Saya sebagai orang tua merasa penting untuk berkolaborasi, berkomunikasi, dan memiliki empati pada tugas guru sebagai partner pendidikan anak-anak saya. Saya pun mendukung terpenuhinya hak-hak dasar guru--mulai dari tunjangan rutin, sertifikasi, sampai beasiswa agar lahir generasi guru yang mampu menginspirasi perubahan nyata di tiap ruang kelas.

Murid, Sang Penjelajah Ilmu Pengetahuan Sepanjang Hayat

Namun, kapal tak akan bergerak tanpa energi dari Para Penjelajah itu sendiri, yaitu para murid. Murid harus mengambil peran penting, aktif bertanya, bersemangat untuk belajar, dan bertanggung jawab atas setiap ilmu yang mereka tuntut. 

Untuk mereka, sekolah harus dirasakan sebagai taman eksplorasi dan petualangan intelektual, bukan sekadar sebuah kewajiban yang membosankan.

Wajah ceria dan semangat belajar para siswa memberikan optimisme masa depan. (Sumber: Dok. Pribadi)
Wajah ceria dan semangat belajar para siswa memberikan optimisme masa depan. (Sumber: Dok. Pribadi)

Saya sependapat dengan Alexa (siswi SMA sekaligus Duta SMA Nasional) yang menyampaikan bahwa siswa zaman sekarang perlu memiliki skill yang adaptif. Di tengah kecanggihan teknologi yang membuat berbagai informasi hadir dengan cepat, siswa perlu mengelolanya dengan baik. 

Kemauan untuk adaptif dan menjadi pembelajar sepanjang hayat di mana pun dan kapan pun menjadi sebuah prinsip yang saya tanamkan sebagai orang tua sejak dari rumah kepada anak-anak saya.

Orang Tua, Sang Pelabuhan yang Suportif dan Nyaman

Terakhir, dan tak kalah penting, ada pelabuhan di rumah yang diwakili oleh orang tua. Peran orang tua tak hanya diukur sekadar memenuhi kebutuhan finansial atau biaya sekolah; perannya adalah komitmen menjadi sahabat sejati.

Saya setuju dengan pendapat Ibu Dinnar Tasmulaylisyah, mewakili sudut pandang orang tua, menekankan perlunya orang tua zaman sekarang mampu mengadaptasi ilmu atau info baru seputar pendidikan. Jangan hanya pasrah dan berlepas tangan. 

Orang tua perlu ikut mendukung hal baik yang dilakukan kementerian atau kebijakan sekolah dan guru. Kita jangan menjadi orang tua murid yang hanya sibuk sendiri dan menerima apa adanya, tetapi ujung-ujungnya mengeluh karena kurang peduli dan pemahaman.

Orang tua harus terlibat aktif dalam pendidikan anak-anaknya dengan secara rutin berkomunikasi dengan sekolah, memahami perkembangan akademik dan emosional anak, menciptakan lingkungan belajar yang suportif dan penuh apresiasi di rumah serta memastikan anak memiliki tempat yang aman dan nyaman.

Menuju Harapan Baru Pendidikan Indonesia

Saat ini, ada pula program asesmen dari Kemendikdasmen yang dibuat bagi murid meski tidak wajib. TKA (Tes Kompetensi Akademik) bertujuan mengukur capaian individu dan memastikan standar yang teruji secara objektif. TKA lebih menerapkan pemahaman dan penerapan konsep yang memerlukan analisis dan pemecahan masalah.

 Tiga hal yang ingin dicapai TKA adalah objektivitas hasil capaian, mengetahui kompetensi siswa, dan pengakuan standar di seluruh Indonesia. TKA bisa dijadikan penilaian jalur prestasi atau SNBP untuk masuk ke Perguruan Tinggi Negeri

Hanya ketika ketiga elemen--guru yang kompeten, murid yang berinisiatif didukung TKA, dan orang tua yang konsisten mendukung--bergerak dalam irama yang selaras, barulah tercipta ekosistem pendidikan yang holistik. Kapal ini pun akan tiba di pelabuhan tujuan, melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga matang karakter dan siap menghadapi badai kehidupan.

Andai semua unsur, mulai dari critical thinking, kreativitas, kolaborasi, empati hingga sinergi tiga elemen, benar-benar bisa diterapkan, saya optimis dunia pendidikan di Indonesia akan melesat. 

Angka PISA di Indonesia bisa membaik dan banyak negara akan mengakui keunggulan siswa lulusan Indonesia. Sebab, dalam proses pendidikan yang ada, siswa tak hanya menguasai materi di tataran hafalan saja, melainkan menguasai kompetensi yang diperlukan untuk benar-benar mewujudkan Generasi Emas Indonesia 2045.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun