Di tengah arus deras perkembangan teknologi informasi, peran pustakawan mengalami transformasi yang begitu signifikan. Mereka tidak lagi sekadar penjaga buku di ruang sunyi, melainkan jembatan literasi yang menjembatani masyarakat menuju informasi yang valid dan kredibel. Pustakawan dituntut untuk selalu beradaptasi, menguasai teknologi, serta mampu memilah dan menyaring informasi yang membanjiri dunia digital. Namun, di balik tuntutan tinggi itu, ada satu hal yang ironis: kesejahteraan pustakawan masih jauh dari kata memadai.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: bagaimana mungkin seseorang yang menjadi garda depan dalam memastikan kualitas informasi justru hidup dalam bayang-bayang ketidakpastian kesejahteraan?
Payung Hukum dan Definisi Pustakawan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, perpustakaan didefinisikan sebagai institusi yang mengelola koleksi karya tulis, cetak, dan rekam secara profesional dengan sistem baku untuk memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, hingga rekreasi.
Sementara itu, pustakawan adalah individu yang memiliki kompetensi kepustakawanan, diperoleh melalui pendidikan formal maupun pelatihan. Mereka bertugas dan bertanggung jawab dalam pengelolaan serta pelayanan perpustakaan. Singkatnya, pustakawan bukan hanya sekadar profesi, tetapi sebuah amanah intelektual.
Pustakawan di Persimpangan Zaman
Di era digital, masyarakat haus akan informasi cepat dan akurat. Di sinilah peran pustakawan diuji. Mereka bukan hanya mengatur rak dan katalog, melainkan menjadi navigator di lautan data. Pustakawan dituntut untuk bisa bertransformasi, menguasai literasi digital, hingga memahami cara kerja mesin pencari dan basis data global.
Namun, ironinya, transformasi peran ini belum diiringi dengan transformasi kesejahteraan. Banyak pustakawan masih bekerja dengan gaji rendah, fasilitas terbatas, bahkan status kerja yang tidak menentu. Padahal, tanggung jawab yang mereka emban semakin besar.
Mengapa Pustakawan Penting?
Pertanyaan sederhana ini sering muncul: di era serba digital, masihkah pustakawan dibutuhkan? Jawabannya: ya, bahkan lebih penting dari sebelumnya.
Alasannya jelas. Teknologi memang memberi akses luas, tetapi tidak selalu menjamin validitas. Hoaks dan disinformasi bertebaran di mana-mana. Dalam kondisi inilah pustakawan hadir sebagai filter yang memastikan masyarakat tidak tersesat dalam belantara informasi.
Pustakawan juga menjadi penjaga warisan budaya bangsa melalui pelestarian naskah, buku langka, dan arsip berharga. Mereka adalah penghubung antara masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Refleksi dan Harapan
Sebagai penulis penuh tanya, saya tergerak untuk mengajukan satu pertanyaan reflektif: bagaimana mungkin kita berharap masyarakat menjadi cerdas dan kritis, bila orang-orang yang bertugas menjaga pintu literasi justru diperlakukan ala kadarnya?
Sudah saatnya pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat memberi perhatian lebih pada pustakawan. Kesejahteraan yang layak, kesempatan pengembangan diri, serta pengakuan sosial harus menjadi prioritas. Tanpa itu semua, sulit membayangkan kualitas literasi bangsa bisa benar-benar meningkat.
Pustakawan adalah jantung dari ekosistem pengetahuan. Mengabaikan mereka sama saja dengan mengabaikan masa depan literasi bangsa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI