Mohon tunggu...
Harmoko
Harmoko Mohon Tunggu... Penulis Penuh Tanya

"Menulis untuk menggugah, bukan menggurui. Bertanya agar kita tak berhenti berpikir."

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pustakawan Sunyi: Antara Dedikasi, Gaji Rendah, dan Regulasi

16 September 2025   08:43 Diperbarui: 16 September 2025   21:45 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sini, kita kembali bertanya: apakah profesi pustakawan memang ditakdirkan hanya jadi "tambahan" di dunia pendidikan?

Novita: Balas Dendam Lewat Literasi

Sumber: Gambar Kompas.id
Sumber: Gambar Kompas.id

Lain lagi kisah Irene Novita Rianghepat (34) di Sorong. Lulusan SD yang pernah bekerja sebagai asisten rumah tangga ini, kini menjadi relawan taman baca Pinjam Pustaka. Baginya, tugas ini adalah misi "balas dendam"---agar anak-anak tak lagi buta huruf seperti dirinya dulu.

Honornya hanya Rp700.000 per bulan, bahkan sebagian ditutup oleh kantong pribadi pengelola taman baca. Untuk mencukupi kebutuhan, ia tetap bekerja sebagai ART dan berjualan pisang ijo.

Namun, dari tangannya lahir anak-anak yang kembali berani membuka buku. Bukankah ini ironi terbesar? Orang dengan latar pendidikan paling sederhana justru berjuang paling keras menjaga api literasi di tengah gelapnya perhatian negara.

Data Bicara: Pustakawan di Persimpangan

Survei daring Harian Kompas (20--29 Agustus 2025) terhadap 616 responden menunjukkan:

  • 37,8% pustakawan mengaku gajinya tidak mencukupi.
  • Di kelompok bergaji di bawah Rp1 juta, 78,69% kesulitan menutup kebutuhan bulanan.
  • Bahkan, mereka yang bergaji Rp1--2 juta pun masih sulit memenuhi kebutuhan dasar.

Angka ini bukan sekadar statistik. Ia adalah alarm keras bahwa ada profesi vital dalam ekosistem pendidikan yang sedang diabaikan.

Regulasi: Ada di Atas Kertas, Mati di Lapangan

Menurut Ketua ATPUSI, Rachmawati, persoalan pustakawan bukan sekadar gaji rendah. Akar masalahnya ada pada implementasi regulasi yang timpang.

Contoh: guru bisa merangkap sebagai kepala perpustakaan dengan tunjangan sertifikasi, setara 12 jam mengajar. Namun, kenyataannya, banyak guru "kepala perpustakaan" jarang hadir di ruang baca. Pustakawan sejati yang bekerja penuh malah tidak mendapat tunjangan.

Selain itu, ada aturan wajib 5% anggaran sekolah untuk perpustakaan. Tapi di banyak sekolah, aturan ini hanya jadi teks indah di dokumen, tanpa realisasi nyata.

Bukankah ini seperti membaca buku bagus yang tak pernah dibuka?

Pustakawan: Penjaga Literasi yang Terlupakan


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun