Ironisnya, sebagian besar rumah subsidi tidak terkoneksi dengan baik ke jaringan transportasi publik. Tak ada angkot, tak ada stasiun, ojek online pun enggan masuk karena jalannya sempit dan rusak. Kalau listrik dan air bersih juga belum stabil, maka rasa "memiliki rumah" tak lagi manis, tapi seperti dikasih puzzle tanpa petunjuk.
Perumahan atau Pengungsian Berkedok Subsidi?
Kritik tajam juga datang dari pengamat tata kota. Mereka menyebut banyak perumahan subsidi dibangun secara serampangan di lokasi-lokasi yang belum siap huni. Infrastruktur sosial dan ekonomi nyaris tak ada---tak ada sekolah, tak ada puskesmas, minim tempat ibadah, dan pusat belanja pun harus naik ojek 10 menit dulu. Ini seperti memaksa orang pindah ke tempat yang belum layak disebut "kawasan permukiman."
Akibatnya, banyak rumah subsidi justru kosong tak berpenghuni. Ada yang akhirnya dikontrakkan ke orang lain, ada juga yang dijual kembali (meski secara hukum tidak boleh dijual selama lima tahun pertama). Ini jadi lingkaran setan: rumah subsidi dibangun, tapi tak ditinggali. Pemerintah merasa programnya jalan, padahal tak menyentuh kebutuhan sebenarnya masyarakat.
Mengapa Lokasinya Harus Jauh?
Pertanyaan logis: kenapa rumah subsidi tak dibangun lebih dekat ke kota? Jawabannya cukup rumit.
Pertama, harga tanah. Di wilayah perkotaan, harga tanah sudah melambung tinggi dan tak mungkin bisa masuk ke skema rumah subsidi yang dibatasi harga maksimal. Kedua, pengembang cenderung mencari lahan murah agar margin tetap masuk akal, karena keuntungan mereka dari proyek subsidi juga terbatas.
Ketiga, tata ruang dan perizinan masih penuh tantangan. Lahan strategis di kota sering kali sudah dikunci untuk kepentingan lain, atau terhalang regulasi rumit yang membuat pengembang enggan bersusah payah. Alhasil, daerah-daerah pinggiran seperti Cikarang, Bogor timur, atau Serang menjadi pilihan "logis"---meski tak logis secara sosial.
Potret dari Lapangan: "Pindah Rumah, Tapi Seperti Pindah Planet"
Banyak cerita menyedihkan dari pembeli rumah subsidi. Seorang guru honorer di Tangerang misalnya, mengaku harus menempuh 3 jam perjalanan karena rumah subsidi yang ia beli terletak di Lebak. "Saya berangkat jam 4.30 pagi, sampai rumah jam 9 malam. Anak-anak saya hampir selalu tidur ketika saya tiba. Saya punya rumah, tapi kehilangan waktu sebagai orang tua."
Contoh lain dari Surabaya. Seorang pegawai administrasi membeli rumah subsidi di Mojokerto. Murah memang, tapi tiap bulan ia harus merogoh kocek Rp 1 juta hanya untuk ongkos PP naik motor dan bensin. "Murah jadi mahal, kalau dihitung ongkosnya," keluhnya.