"Tidak semua anak lahir dengan dukungan keluarga lengkap, tapi setiap anak berhak tumbuh dengan harapan."
--- Penulis Penuh Tanya
Surabaya, kota yang terkenal sebagai Kota Pahlawan, kembali menunjukkan keberaniannya. Namun kali ini bukan lewat pertempuran fisik, melainkan perjuangan kemanusiaan. Pemkot Surabaya menggagas program yang tak biasa: mencari "orang tua asuh" bagi siswa-siswa sebatang kara.
Program ini menyasar anak-anak SMA/SMK yang hidup tanpa dukungan orang tua atau wali yang layak. Mereka bukan hanya terancam putus sekolah, tetapi juga kehilangan arah hidup karena ketiadaan pendamping emosional dan sosial. Setiap hari, Wali Kota menerima 15--25 surat dari siswa atau warga yang memohon bantuan pendidikan. Tak semua bisa langsung dibantu. Tapi Pemkot tak tinggal diam.
Inisiatif Luar Biasa dari Kota Surabaya
Melalui kolaborasi lintas sektor, Pemkot Surabaya mengajak 14 perguruan tinggi untuk turun tangan dalam bentuk program Campus Social Responsibility (CSR). Mahasiswa-mahasiswa dari kampus tersebut menjadi "orang tua asuh"---bukan secara biologis, tetapi dalam peran sosial.
Mereka mendampingi siswa sebatang kara layaknya keluarga: membantu mengurus administrasi sekolah, memotivasi belajar, bahkan kadang hanya menjadi tempat curhat. Pendampingan ini menjadi bentuk nyata kepedulian sosial dari generasi muda untuk generasi muda lainnya.
Program ini membuktikan satu hal penting: solusi kemanusiaan tak harus selalu datang dari anggaran besar. Kadang, cukup dengan kehadiran dan kepedulian yang tulus.
Mahasiswa Jadi Pahlawan Harapan
Di balik jaket almamater itu, mahasiswa yang dulu hanya tahu soal teori kini harus menghadapi realitas: mendampingi anak yang bahkan tak tahu harus pulang ke mana setelah sekolah. Seorang mahasiswi dari Universitas Negeri Surabaya bercerita, ia mendampingi seorang siswa SMK yang hidup bersama neneknya yang lumpuh. Uang makan pas-pasan, semangat belajar nyaris hilang. Tapi karena ada yang peduli dan mendengar, perlahan anak itu kembali percaya diri.