Mohon tunggu...
Harmoko
Harmoko Mohon Tunggu... Penulis Penuh Tanya

"Menulis untuk menggugah, bukan menggurui. Bertanya agar kita tak berhenti berpikir."

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kami Cari Kandidat yang Cocok dengan Budaya Kami Lah, Budayanya Apa Sih?

11 Juli 2025   13:00 Diperbarui: 11 Juli 2025   12:04 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
"Budaya perusahaan: pintu tertutup dengan banyak tanda tanya." (Ilustrasi: Gambar ini dihasilkan dengan bantuan AI). Jumat, (11/7/2025)

"Kandidat sudah oke, tapi belum cocok dengan budaya perusahaan."

Kalimat itu terdengar sopan, diplomatis, dan sangat HRD. Tapi juga membingungkan.

Salah satu teman saya gagal diterima kerja dengan alasan ini. Padahal, katanya, ia sudah menjawab semua pertanyaan dengan tenang, sopan, dan percaya diri.

"Kalau memang kurang cocok, kenapa gak bilang dari awal? Atau kasih tahu, cocok itu maksudnya gimana?"

katanya sambil membuka notifikasi penolakan dari email HR.

Apakah ini kode halus dari HRD bahwa mereka tidak nyaman dengan cara bicara? Atau sebenarnya yang tak cocok adalah gaya rambutnya yang terlalu nyentrik?

Budaya Perusahaan Itu Apa Sebenarnya?

Di dunia kerja, istilah "budaya perusahaan" sering muncul, tapi jarang dijelaskan secara konkret.

Sebagian HRD memaknainya sebagai nilai-nilai, etika, dan gaya komunikasi yang dijunjung di tempat kerja. Tapi, bagi kandidat, istilah itu sering terdengar seperti "password tersembunyi" yang hanya diketahui orang dalam.

Misalnya, jika perusahaan punya budaya hierarki kuat, kandidat yang terlalu aktif bertanya bisa dianggap "melangkahi senior."

Sebaliknya, kalau perusahaan menekankan inovasi dan kreativitas, kandidat yang terlalu kaku bisa dianggap "tidak fleksibel."

Masalahnya, budaya ini jarang dijelaskan secara eksplisit. Di pengumuman lowongan kerja hanya tertulis:

"Kami mencari kandidat yang sesuai dengan budaya perusahaan kami."

Itu seperti bilang, "Kami cari pasangan yang sesuai dengan keluarga kami," tapi tidak bilang kalau keluarganya ternyata suka karaoke tiap malam dan wajib ikut arisan RT.

Perspektif HRD: Niatnya Baik, Tapi Sering Gagal Disampaikan

Mari kita adil. HRD bukan musuh. Mereka juga bekerja dalam tekanan. Kadang diminta merekrut cepat, kadang harus mencocokkan permintaan user yang berubah-ubah.

Banyak HRD sebenarnya ingin menjaga harmoni tim. Mereka takut jika salah rekrut, tim jadi tidak nyaman. Tapi niat baik ini sering berubah jadi alat seleksi samar: kalau si kandidat tidak "terasa cocok" secara vibe, langsung dieliminasi.

"Kami cari orang yang nyambung sama tim."

Tapi tim-nya belum pernah diajak ngobrol.

Dan si kandidat tidak diberi kesempatan untuk menyesuaikan diri.

HRD ingin menciptakan tim yang solid. Tapi jika standar "cocok" itu tidak transparan, proses seleksi jadi seperti audisi reality show---yang menilai bukan hanya skill, tapi juga feeling.

Contoh Kasus: Sita dan Budaya "Diam Adalah Emas"

Sita, teman saya, adalah lulusan teknik industri. Ia melamar di perusahaan manufaktur besar. Dalam wawancara, ia mengusulkan ide untuk meningkatkan efisiensi kerja. Tapi setelah wawancara, ia malah ditolak.

Alasannya? "Kamu terlihat terlalu kritis. Kurang cocok dengan budaya kami."

Padahal, dalam lowongan kerja tertulis: "Kami butuh kandidat yang inisiatif dan proaktif."

Jadi, yang mana yang benar? Apakah "inisiatif" berarti menyetujui semua hal dengan senyum tanpa usulan?

Haruskah Kandidat Selalu Menyesuaikan?

Ini pertanyaan yang pantas kita renungkan:

Apakah "cocok budaya" berarti kandidat harus berubah demi perusahaan?

Kalau semua kandidat harus sama, lalu bagaimana perusahaan berkembang?

Budaya kerja memang penting, tapi ia bukan benda mati. Budaya juga harus adaptif. Kalau semua orang dalam perusahaan seragam pikirannya, perusahaan akan jalan di tempat.

Jadi, bukan hanya kandidat yang harus cocok, tapi juga perusahaan yang siap menerima perbedaan.

Solusi Ringan Tapi Serius

Mungkin perusahaan perlu membuat dokumen terbuka: semacam "Pedoman Budaya Kerja" yang bisa dibaca calon pelamar sejak awal.

Bukan cuma jargon seperti "kerja sama tim" dan "inovatif," tapi contoh nyata:

  • Apakah pegawai boleh pakai headphone saat kerja?
  • Apakah meeting selalu dimulai tepat waktu?
  • Apakah diskusi terbuka benar-benar dihargai?

Dengan begitu, pelamar bisa menilai: apakah mereka benar-benar cocok, atau sebaiknya cari tempat lain yang lebih selaras.

Dan kalau HRD menolak karena alasan budaya, setidaknya beri umpan balik. Jangan hanya mengirim email satu baris lalu ghosting. Karena kadang, penjelasan yang jujur bisa membuat pelamar berkembang---dan tetap menghargai perusahaan yang menolak mereka.

Penutup

Budaya perusahaan seharusnya jadi jembatan, bukan tembok.

Jika perusahaan ingin menemukan kandidat terbaik, jangan hanya mencari yang cocok secara "rasa." Carilah yang bisa berkembang bersama, dan bisa menghidupkan budaya yang lebih baik.

Kamu pernah juga gagal karena "kurang cocok budaya"?

Cerita yuk di komentar. Siapa tahu kita bisa bikin kamus "Bahasa HRD Sehari-hari" bareng-bareng.

Oleh: Harmoko -- Penulis Penuh Tanya  

Rubrik: Ngobrolin HRD  

Menulis untuk menggugah, bukan menggurui. Bertanya agar kita tak berhenti berpikir.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun