Itu seperti bilang, "Kami cari pasangan yang sesuai dengan keluarga kami," tapi tidak bilang kalau keluarganya ternyata suka karaoke tiap malam dan wajib ikut arisan RT.
Perspektif HRD: Niatnya Baik, Tapi Sering Gagal Disampaikan
Mari kita adil. HRD bukan musuh. Mereka juga bekerja dalam tekanan. Kadang diminta merekrut cepat, kadang harus mencocokkan permintaan user yang berubah-ubah.
Banyak HRD sebenarnya ingin menjaga harmoni tim. Mereka takut jika salah rekrut, tim jadi tidak nyaman. Tapi niat baik ini sering berubah jadi alat seleksi samar: kalau si kandidat tidak "terasa cocok" secara vibe, langsung dieliminasi.
"Kami cari orang yang nyambung sama tim."
Tapi tim-nya belum pernah diajak ngobrol.
Dan si kandidat tidak diberi kesempatan untuk menyesuaikan diri.
HRD ingin menciptakan tim yang solid. Tapi jika standar "cocok" itu tidak transparan, proses seleksi jadi seperti audisi reality show---yang menilai bukan hanya skill, tapi juga feeling.
Contoh Kasus: Sita dan Budaya "Diam Adalah Emas"
Sita, teman saya, adalah lulusan teknik industri. Ia melamar di perusahaan manufaktur besar. Dalam wawancara, ia mengusulkan ide untuk meningkatkan efisiensi kerja. Tapi setelah wawancara, ia malah ditolak.
Alasannya? "Kamu terlihat terlalu kritis. Kurang cocok dengan budaya kami."
Padahal, dalam lowongan kerja tertulis: "Kami butuh kandidat yang inisiatif dan proaktif."
Jadi, yang mana yang benar? Apakah "inisiatif" berarti menyetujui semua hal dengan senyum tanpa usulan?
Haruskah Kandidat Selalu Menyesuaikan?