Rumah subsidi makin gencar dipromosikan. Tapi, jika cicilannya seumur kerja dan dompet tetap tipis, benarkah ini jalan keluar?
Bayangkan kamu baru lulus kuliah, dapat kerja dengan gaji UMR. Lalu kamu ditawari rumah subsidi: uang muka ringan, tenor sampai 25 tahun, bunga rendah. Brosurnya menjanjikan: "Kini Semua Bisa Punya Rumah!"
Kamu tergoda. Tapi ketika dihitung: gaji terpotong cicilan, belum biaya makan, transportasi, pulsa, dan ngopi sesekali agar waras. Akhirnya kamu tanya dalam hati:
Ini rumah atau kutukan finansial jangka panjang?
KPR Panjang, Antara Peluang dan Perangkap
Program rumah subsidi memang tampak inklusif. Berdasarkan data Kementerian PUPR, target pembangunan 1,8 juta unit rumah pada 2025 menitikberatkan pada MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah). Tenor 20--25 tahun dan DP rendah dianggap solusi.
Tapi banyak calon pembeli muda akhirnya ragu, takut, atau batal. Kenapa?
Beberapa fakta lapangan:
- Gaji tidak naik secepat inflasi biaya hidup
- Biaya rumah tetap tinggi, bahkan untuk tipe subsidi
- Akses perbankan masih rumit bagi pekerja informal
- Biaya tersembunyi: BPHTB, cicilan awal, notaris, dll
KPR 25 tahun bisa jadi jalan keluar, tapi bisa juga jalan masuk ke jebakan keuangan jangka panjang.
Rumah sebagai Status atau Kebutuhan?
Di tengah budaya "harus punya rumah sendiri", banyak orang merasa gagal jika belum punya properti. Tapi mari kita tanya ulang:
Apakah setiap orang harus punya rumah milik pribadi? Ataukah bisa juga punya hunian layak meski sewa?