Mohon tunggu...
Harmoko
Harmoko Mohon Tunggu... Penulis Penuh Tanya

"Menulis untuk menggugah, bukan menggurui. Bertanya agar kita tak berhenti berpikir."

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Konsep Pernikahan dan Tekanan Sosial: Siapa Bilang Harus Megah?

29 Juni 2025   10:31 Diperbarui: 29 Juni 2025   10:31 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI Pernikahan (Dokumen pribadi diolah dengan sistem generative AI)

Pernikahan, dalam banyak masyarakat, sering kali diposisikan sebagai puncak pencapaian emosional dan sosial seseorang. Maka tidak heran jika euforia perayaan itu kerap dibumbui ekspektasi luar biasa dari keluarga besar, tetangga, bahkan netizen. Pertanyaannya: apakah pernikahan harus selalu megah agar sah? Atau justru kita sedang terjebak dalam konstruksi sosial yang menekan keaslian cinta itu sendiri?

Ekspektasi Sosial: Gaun Mewah, Gedung Mewah, Tagihan Mewah

Tekanan sosial terhadap konsep pernikahan sering kali datang dari narasi bahwa pernikahan harus "wah" agar dianggap berhasil. Media sosial menjadi katalisator dari tekanan ini. Foto-foto pernikahan di ballroom hotel bintang lima, pesta bertema internasional, hingga souvenir import seolah menjadi standar baru. Padahal, tidak semua pasangan ingin --- atau mampu --- mengikuti gaya tersebut.

Alih-alih menjadi hari bahagia, banyak pasangan justru stres sebelum hari H: dikejar cicilan vendor, perdebatan dengan keluarga soal konsep, hingga merasa acara mereka bukan lagi milik mereka. Pernikahan berubah menjadi proyek sosial, bukan momen personal.

Otentis Lebih Bermakna dari Sekadar Megah

Banyak pasangan kini mulai menyadari pentingnya pernikahan yang sesuai dengan jati diri. Konsep intimate wedding, garden party sederhana, atau akad nikah di rumah mulai dilirik karena lebih hangat dan bermakna. Bukan berarti murah adalah tujuan utama, tapi makna yang diutamakan.

Menjadi autentik berarti berani berkata, "Kami ingin acara yang mencerminkan siapa kami." Ini bukan semata soal penghematan, melainkan perlawanan terhadap tekanan sosial yang menyamakan cinta dengan ukuran catering.

Tekanan Keluarga: Tradisi vs Realita

Di sisi lain, tekanan juga datang dari dalam: keluarga. Ada yang merasa harus mengundang seluruh kolega ayah-ibu, menyewa MC kondang, hingga menyisipkan adat lengkap meski pasangan tak terlalu memahami. Menolak bisa dianggap durhaka, menerima bisa menjadi beban psikologis dan finansial.

Perlu keberanian dan komunikasi asertif. Pasangan perlu menyampaikan bahwa pernikahan bukan sekadar ajang pamer sosial, melainkan awal hidup baru yang perlu dijalani dengan sehat---secara emosi dan ekonomi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun