Negosiasi bukan sekadar soal tawar-menawar kepentingan. Di dalamnya tersimpan sejarah luka, rasa curiga, harga diri nasional, dan mimpi besar tentang martabat bangsa. Dan itulah yang tampaknya luput dari pendekatan Amerika Serikat terhadap Iran hari ini.
---
Antara Insentif dan Ketegangan
Amerika Serikat, lewat serangkaian tawaran menggiurkan---dari pembebasan aset Iran hingga rekonstruksi fasilitas nuklir sipil yang dibiayai oleh negara sekutu---kembali mencoba membuka jalur negosiasi dengan Iran terkait program nuklirnya. Tapi hasilnya nihil. Pintu itu tetap tertutup. Bahkan terkunci rapat.
Mengapa tawaran bernilai miliaran dolar itu gagal meyakinkan Iran?
Sebagian mungkin akan menjawab: karena Iran keras kepala. Tapi pandangan semacam itu terlalu simplistik, nyaris naif. Di balik penolakan Iran, ada latar belakang historis, dinamika geopolitik yang kompleks, dan---yang paling penting---rasa tidak percaya yang begitu dalam terhadap Amerika Serikat.
---
Luka Lama, Kesepakatan yang Gagal
Kita perlu menengok ke belakang, ke tahun 2015, ketika kesepakatan nuklir JCPOA (Joint Comprehensive Plan of Action) disepakati antara Iran dan kekuatan dunia, termasuk AS. Dunia sempat bernafas lega. Iran setuju membatasi program nuklirnya dan membuka diri pada inspeksi internasional.
Namun, mimpi itu kandas ketika pemerintahan Donald Trump secara sepihak menarik AS keluar dari kesepakatan pada 2018. Tak hanya itu, sanksi ekonomi diberlakukan kembali, bahkan diperluas.