Mohon tunggu...
Harmoko
Harmoko Mohon Tunggu... Penulis Penuh Tanya

"Menulis untuk menggugah, bukan menggurui. Bertanya agar kita tak berhenti berpikir."

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengapa Banyak Anak Muda Ragu Ambil KPR?

20 Juni 2025   18:05 Diperbarui: 20 Juni 2025   18:05 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Foto kompasiana.com

Mengapa generasi muda kini ragu ambil KPR? Artikel ini membahas alasan finansial, gaya hidup, dan nilai hidup yang bergeser, serta tawaran solusi yang lebih relevan.

"Punya rumah sendiri sebelum umur 30."

Kalimat ini dulunya dianggap standar kesuksesan hidup. Tapi bagi banyak anak muda masa kini, itu justru terdengar seperti lelucon pahit. Harga rumah makin tinggi, penghasilan tak ikut naik signifikan, dan pilihan hidup jadi semakin kompleks. Tak heran jika Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang dulu dianggap solusi, kini justru membuat sebagian generasi muda merasa ragu, bahkan alergi.

Antara Realita dan Mimpi Memiliki Rumah

Di atas kertas, KPR tampak seperti jalan ninjaku: rumah bisa langsung dihuni, bayar bertahap hingga 20-30 tahun, dan di akhir masa cicilan, rumah jadi milik sendiri. Namun, kenyataan di lapangan tak sesederhana itu.

Harga rumah di kota-kota besar melonjak drastis. Data Bank Indonesia menunjukkan bahwa indeks harga properti residensial terus meningkat setiap tahun, sementara pertumbuhan upah riil tak secepat laju inflasi sektor perumahan. Bagi anak muda yang baru bekerja atau masih berjuang menstabilkan keuangan, uang muka (DP) 15-20% saja sudah terasa seperti mendaki gunung tanpa tali.

Belum lagi beban cicilan bulanan yang menyita sebagian besar penghasilan. Misalnya, seorang fresh graduate dengan gaji Rp6 juta per bulan harus mengalokasikan Rp2-3 juta untuk cicilan KPR rumah sederhana. Itu belum termasuk biaya hidup, transportasi, asuransi, dan, oh ya, keinginan sesekali nongkrong atau liburan yang juga penting untuk menjaga kesehatan mental.

Takut Terjebak "Perangkap 30 Tahun"

KPR ibarat pernikahan---kontrak jangka panjang yang butuh komitmen tinggi. Bedanya, kalau pernikahan bisa bubar karena ketidakcocokan, KPR bisa menghantui hingga ke daftar blacklist BI Checking.

Banyak anak muda kini lebih sadar akan pentingnya fleksibilitas hidup. Mereka tak lagi terpaku pada satu kota, satu jenis pekerjaan, atau bahkan satu gaya hidup. Komitmen jangka panjang seperti KPR dirasa mengekang. Bagaimana kalau ingin pindah kota? Bagaimana jika karier bergeser ke jalur freelance atau wirausaha yang penghasilannya tak tetap?

Ditambah lagi, kasus-kasus sengketa properti, pengembang mangkrak, dan rumah subsidi yang kualitasnya dipertanyakan membuat KPR semakin tidak menggoda. Daripada pusing 30 tahun, anak muda masa kini lebih memilih sewa, sambil investasi di tempat lain yang lebih likuid---seperti saham, reksa dana, atau bahkan kripto (meski berisiko).

Pergeseran Nilai: Rumah Bukan Lagi Simbol Sukses

Generasi orang tua kita dulu menempatkan rumah sebagai pencapaian utama. "Kalau belum punya rumah, belum dewasa," begitu kira-kira anggapannya. Namun generasi milenial dan Gen Z punya pendekatan yang berbeda. Bagi mereka, pencapaian bisa berupa pengalaman, kebebasan waktu, karier yang bermakna, atau bahkan kesehatan mental yang stabil.

Memiliki rumah bukan lagi menjadi indikator utama kesuksesan. Banyak anak muda lebih memilih co-living, menyewa apartemen yang strategis, atau tinggal bersama orang tua sambil menabung lebih agresif. Ini bukan karena malas, tapi karena strategi hidup yang lebih realistis.

KPR dan Kurangnya Inovasi Ramah Anak Muda

Program KPR yang ada saat ini masih terasa "jadul". Skema bunga tetap 5 tahun, lalu mengambang, dirasa menakutkan bagi yang penghasilannya tidak stabil. Belum lagi proses administrasi yang panjang, rumit, dan kadang tidak transparan. Di era serba digital, anak muda tentu berharap proses pengajuan KPR bisa semudah memesan makanan lewat aplikasi.

Program rumah subsidi memang membantu, tapi lokasi yang terlalu jauh dari pusat aktivitas membuatnya tidak relevan bagi generasi urban. Sementara KPR komersial kerap kali hanya melayani segmen menengah ke atas. Akibatnya, generasi sandwich yang ada di tengah---terlalu kaya untuk rumah subsidi, terlalu miskin untuk KPR mewah---terjebak tanpa solusi.

Jadi, Solusinya Apa?

Pertama, perlu inovasi dari lembaga keuangan dan pengembang. KPR dengan fleksibilitas jangka waktu, skema bunga tetap yang realistis, serta transparansi total dalam biaya-biaya tersembunyi bisa jadi awal yang baik. Model rent to own atau sewa-beli juga layak dijajaki.

Kedua, pemerintah bisa lebih serius membangun kawasan yang terintegrasi---tidak hanya memindahkan masalah ke pinggiran kota tanpa infrastruktur pendukung. Rumah terjangkau tapi akses ke transportasi umum, tempat kerja, dan fasilitas umum tetap jadi kunci.

Ketiga, literasi keuangan untuk anak muda perlu ditingkatkan. Banyak yang ragu ambil KPR bukan karena tak mampu, tapi karena tak paham. Ada yang takut, ada pula yang terlalu percaya diri dan akhirnya terjebak. Edukasi sejak dini tentang perencanaan keuangan jangka panjang bisa memberi perspektif yang lebih sehat.

Penutup: Ragu Bukan Berarti Gagal

Rasa ragu anak muda untuk ambil KPR bukan tanda bahwa mereka tak bertanggung jawab atau takut berkomitmen. Justru, ini bentuk kesadaran akan kompleksitas hidup modern. Mereka tidak ingin terburu-buru masuk ke jebakan finansial hanya demi gengsi punya rumah.

Di tengah ketidakpastian ekonomi, pilihan untuk menunda atau bahkan tidak mengambil KPR adalah bagian dari strategi hidup yang sah. Yang penting bukan soal cepat-cepat punya rumah, tapi bagaimana hidup tetap bermakna, bebas stres, dan mampu bertahan dalam jangka panjang.

Karena pada akhirnya, rumah bukan sekadar tembok dan atap, tapi tentang rasa aman---baik secara fisik maupun finansial.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun