Menggali Warisan Soekarno-Soemitro: Jurus Prabowo Mengentaskan Kemiskinan?
Pemerintahan Prabowo Subianto punya pekerjaan rumah besar: menurunkan kemiskinan secara drastis di tengah kompetisi global yang makin ketat. Untuk menjawab tantangan ini, pemerintah tak sekadar mengandalkan solusi jangka pendek, tapi memilih "menggali warisan" dua tokoh besar: Soekarno dan Prof. Soemitro Djojohadikoesoemo.
Dari Soekarno, lahirlah semangat hilirisasi sumber daya alam (SDA) --- agar Indonesia tidak terus menjual kekayaan alam mentah. Dari Soemitro, diambil gagasan industrialisasi sebagai jalan menuju kemandirian dan kesejahteraan. Kedua pendekatan ini diramu dan dimodernisasi sesuai kebutuhan era digital.
Pemerintah memandang dinamika global sebagai perjalanan empat fase:
1. 1945--1970: perebutan SDA pasca-kolonial.
2. 1970--1995: relokasi industri dan ekspansi manufaktur --- Indonesia jadi pasar, bukan pemain.
3. 1995--2020: era rekayasa keuangan, tapi investasi tetap dominan di sektor SDA.
4. 2020--2045: era digital, di mana Indonesia tertinggal dalam penguasaan teknologi.
Melihat sejarah itu, strategi ekonomi Prabowo dirancang berbasis empat pilar utama:
Hilirisasi SDA: agar nilai tambah dinikmati di dalam negeri.
Industrialisasi: membangun sektor manufaktur yang kuat dan menyerap tenaga kerja.
Kedaulatan data: menjawab tantangan ekonomi digital.
Rekayasa keuangan: menciptakan sistem pembiayaan nasional yang kreatif dan mandiri.
Targetnya cukup berani: menurunkan kemiskinan menjadi 6% pada 2026, dan 4,5--5% pada 2029, serta menghapus kemiskinan ekstrem di 2026. Untuk mewujudkannya, pemerintah mengembangkan sembilan sektor industri berbasis koperasi, dengan fokus awal pada sektor pangan dan perumahan. Dua program andalan pun diluncurkan: Makan Bergizi Gratis (MBG) dan pembangunan 3 juta rumah per tahun. Diharapkan, program ini tak hanya mengurangi kemiskinan, tapi juga menciptakan jutaan lapangan kerja.
Namun, jalan menuju keberhasilan tidak mudah. Indonesia masih menghadapi tantangan serius seperti deindustrialisasi sejak 2005, keterbatasan daya saing produk lokal, dan rendahnya keterampilan tenaga kerja. Selain itu, proyek ambisius ini membutuhkan investasi besar dan kerja sama erat antara pemerintah, swasta, dan koperasi.
Kesimpulannya, strategi Prabowo yang memadukan pemikiran Soekarno-Soemitro adalah langkah visioner. Tapi keberhasilannya tergantung pada kemampuan mengatasi hambatan lama: dari struktur ekonomi yang timpang, hingga keterbatasan SDM dan ekosistem industri yang belum matang. Bila strategi ini berhasil, Indonesia bukan hanya keluar dari jerat kemiskinan---tapi juga naik kelas sebagai kekuatan ekonomi baru di abad 21.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI