Dalam dunia olahraga, terutama sepak bola, ada kalanya hasil imbang bisa terasa seperti kemenangan, bahkan lebih manis dari sekadar angka tiga di klasemen. Itulah yang sedang dikejar tim nasional Indonesia saat bertandang ke markas Jepang dalam lanjutan Kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia. Bagi sebagian besar penggemar sepak bola di Tanah Air, harapan mungkin realistis: tak perlu menang, asal tidak kalah telak. Tapi bagi para pemain dan pelatih, terutama dalam konteks sejarah, harga diri, dan arah masa depan sepak bola nasional, hasil imbang pun bisa menjadi pencapaian monumental.
Pertandingan melawan Jepang bukan hanya tentang mencari poin demi tiket ke babak selanjutnya. Ini adalah laga yang menempatkan Indonesia di titik krusial dalam peta sepak bola Asia. Jepang, dengan segala kekuatan dan kedalaman skuadnya, telah menjadi raksasa Asia yang konsisten tampil di Piala Dunia sejak 1998. Sementara itu, Indonesia masih terus berjuang untuk sekadar menembus babak akhir kualifikasi.
Namun kali ini berbeda. Indonesia datang ke Jepang dengan semangat baru, pelatih anyar, dan skuad yang mulai menunjukkan karakter permainan modern. Kehadiran pemain naturalisasi seperti Ivar Jenner, Rafael Struick, hingga Ole Romeny menjadi angin segar yang mendorong optimisme. Dalam pertandingan yang akan berlangsung di Stadion Nissan, Yokohama, hasil imbang tidak hanya akan membuka peluang lolos, tetapi juga menjadi tonggak sejarah: Indonesia belum pernah mencuri poin dari Jepang di ajang resmi FIFA.
Salah satu sorotan utama jelang laga ini adalah penyerang baru Indonesia, Ole Romeny. Pemain berdarah Belanda-Indonesia ini telah menunjukkan performa menjanjikan sejak bergabung. Selain visi bermain yang tajam, ia memiliki naluri gol yang kuat---kualitas yang selama ini sering dirindukan dari seorang striker tim nasional.
Dalam babak pra-Piala Dunia ini, Romeny berpeluang mencatat rekor sebagai pemain Indonesia dengan kontribusi gol terbanyak dalam satu fase kualifikasi. Meski baru bergabung, jumlah gol dan assist-nya sudah hampir menyamai pencapaian legenda timnas seperti Bambang Pamungkas di era 2000-an. Jika ia mampu mencetak gol di kandang Jepang, bukan hanya rekor yang pecah, tetapi juga tembok psikologis selama ini yang membatasi kepercayaan diri para pemain Indonesia saat bertemu tim besar.
Namun, Romeny bukan satu-satunya yang bersinar. Penampilan konsisten dari pemain seperti Pratama Arhan di sektor kiri dan Ernando Ari di bawah mistar menjadi penyeimbang antara pemain senior dan generasi baru. Di bawah kepemimpinan pelatih Patrick Kluivert, tim nasional Indonesia mulai menunjukkan organisasi permainan yang lebih rapi dan disiplin taktis.
Menariknya, Jepang justru memutuskan menurunkan beberapa pemain debutan di laga ini. Langkah ini bisa diartikan sebagai bentuk rotasi, mengingat mereka sudah hampir pasti lolos ke fase berikutnya. Namun, ini juga bisa menjadi jebakan psikologis bagi Indonesia. Pemain debutan biasanya bermain tanpa beban dan justru ingin membuktikan kualitasnya. Mereka haus akan menit bermain dan berjuang keras untuk memikat pelatih agar tetap dipertahankan di skuad senior.
Di sisi lain, keputusan ini bisa membuka celah bagi Indonesia untuk mengeksploitasi koordinasi yang belum matang antar pemain baru Jepang. Jika Romeny dan lini depan Indonesia mampu memanfaatkan momen tersebut, bukan mustahil kita bisa mencuri gol cepat yang bisa mengubah jalannya pertandingan.
Namun tetap perlu diingat, kedalaman skuad Jepang sangat luar biasa. Pemain debutan mereka sebagian besar berasal dari klub-klub papan atas J-League atau bahkan dari klub-klub Eropa. Kualitas teknis dan taktis tetap menjadi senjata utama mereka.
Imbang yang Lebih dari Sekadar Poin