Di sebuah dusun kecil di pinggiran kota, seorang anak lelaki berusia tujuh tahun berlari tanpa alas kaki menuju sekolah.Â
Seragamnya telah lusuh, dan di dalam tas plastik bekas, ia membawa dua lembar buku usang serta sepotong roti basi.Â
Namun matanya menyala---bukan karena lapar, tetapi karena harapan. Ia belum tahu bahwa sejak lahir, ia sudah mewarisi sesuatu yang berat: kemiskinan.
Kemiskinan bukan hanya tentang ketiadaan uang.Â
Ia adalah akumulasi dari berbagai bentuk ketertinggalan---kurangnya akses terhadap pendidikan bermutu, layanan kesehatan yang layak, pekerjaan yang bermartabat, dan kesempatan untuk berkembang.Â
Yang lebih memilukan, kemiskinan sering kali diwariskan. Bukan karena orang tua tidak peduli, tetapi karena sistem tidak memberi ruang bagi mereka untuk bangkit.
Rantai Tak Kasat Mata
Bayangkan seseorang yang lahir di keluarga miskin. Ia mungkin tumbuh dalam lingkungan yang minim fasilitas, penuh tekanan mental, serta terbatas dalam pergaulan sosial.Â
Saat waktunya bersekolah, ia masuk ke sekolah yang kekurangan guru dan fasilitas. Ketika dewasa, ia menghadapi pasar kerja yang menuntut keterampilan yang tidak pernah diajarkan kepadanya.Â
Akhirnya, ia pun menjadi bagian dari siklus yang sama, mewariskan keterbatasan itu kepada generasi berikutnya.