Mohon tunggu...
Hariyanto Imadha
Hariyanto Imadha Mohon Tunggu... wiraswasta -

A.Alumni: 1.Fakultas Ekonomi,Universitas Trisakti Jakarta 2.Akademi Bahasa Asing "Jakarta" 3.Fakultas Sastra, Universitas Indonesia,Jakarta. B.Pernah kuliah di: 1.Fakultas Hukum Extension,UI 2.Fakultas MIPA,Universitas Terbuka 3.Fakultas Filsafat UGM C.Aktivitas: 1.Pengamat perilaku sejak 1973 2.Penulis kritik pencerahan sejak 1973

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik: Sistem Politik Indonesia Masih Berbau Tahi Kucing

24 Februari 2014   01:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:32 643
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
FACEBOOK-PolitikSistemPolitikIndonesiaMasihBerbauTahiKucing

KENAPA negara dan bangsa Indonesia menjadi terpuruk seperti sekarang? Korupsi, kolusi, nepotisme, pungli, suap, sogok, gratifikasi, kekayaan alam dijual murah dan dikuasai kapitalisme asing, terjadinya bencana hukum, bencana ekonomi, bencana APBN/APBD, bencana perbankan dan berbagai bencana merajalela di Indonesia. Juga, adanya pembiaran-pembiaran aliran anarkisme, anti-Pancasila, mafia di segala bidang dan berbagai keterpurukan di hampir semua sektor sangat mudah kita ketahui bersama. Kalau kita mau jujur, semua akibat sistem politik Indonesia yang masih berbau tahi kucing. Sistem politik Indonesia masih berbau tahi kucing Antara lain ditandai oleh beberapa hal. 1.Syarat mendirikan parpol terlalu mudah 2.Syarat menjadi capres terlalu mudah 3.Syarat menjadi caleg terlalu mudah 4.Syarat menjadi pemimpin daerah terlalu mudah 5.Sistem koalisi yang abal-abal 6.Sistem pemilu yang tidak profesional 7.Produk undang-undang yang tidak pro rakyat 8.Penegakan hukum bagi koruptor yang terlalu ringan 9.Sanksi terhadap anggota DPR yang tidak disiplin tidak tegas 10.Sistem demokrasi yang serba uang Ad.1.Syarat mendirikan parpol terlalu mudah Syarat mendirikan parpol terlalu mudah. Tidak punya modalpun boleh mendirikan partai. Yang penting berbentuk partai politik dan ada pengurusnya, ada logonya, ada AD/ART-nya dan syarat-syarat administrasi ringan lainnya. Ideologinya boleh apa saja asal tidak bertentangan dengan Pancasila. Karena terlalu mudah, maka berdirilah parpol-parpol yang tidak bonafid. Parpol abal-abal. Parpo kere. Untuk membayar saksi pemilu saja tidak sanggup dan mengemis ke pemerintah supaya saksi pemilu mereka dibayar memakaian uang APBN yang merupakan uang rakyat. Seolah-olah mereka pro rakyat. Padahal kenyataannya, parpol-parpo di Indonesia kelakuannya sama. Parpol Pancasila, kek. Parpol Islam-kek. Parpol Kafir,kek. Smuanya ingin menang, ingin berkuasa, ingin mendapatkan proyek besar, ingin memperkaya diri sendiri dan ingin melanggengkan kekuasaan dengan segala cara, termasuk cara curang. Seharusnya: Syarat mendirikan parpol dipersulit. Antara lain harus mempunyai modal uang yang cukup. Punya bank guarantee. Sanggup membiayai sendiri semua saksi pemilu. Punya kantor di semua provinsi. Punya pengurus yang bersih (tidak terlibat tindak pidana maupun perdata) dan syarat-syarat lain yang sulit. Ad.2.Syarat menjadi capres terlalu mudah Syarat menjadi caprespun terlalu mudah. Sebagian besar hanya menitikberatkan syarat-syarat administrasi dan kesehatan. Yang penting ada kemauan dan punya uang. Ada dukungan dari parpol. Apalagi punya uang banyak, boleh jadi capres. Tidak ada syarat-syarat yang mendukung kualitas capres. Capres yang bodoh, mudah dikadalin para menterinya. Seharusnya: Seharusnya semua capres mengikuti berbagai tes kualitas. Mulai dari tes IQ (Intelligence Quotient), EQ (Emotipnality Quotient), SQ (Spiritual Quotient), LQ (Leadership Quotient), AQ (Aptitude Quotient), HQ (Healthy Quotient), MQ (Morality Quotient), pro Pancasila, UUD 1945, NKRI, Bhineka Tunggal Ika dan mempunyai sifat-sifat negarawan, minimal berpendidikan S1 atau S2 atau S3, tidak merangkap sebagai pengurus parpol dan syarat-syarat lain yang menitikberatkan kualitas capres. Ad.3.Syarat menjadi caleg terlalu mudah Menjadi calegpun terlalu mudah. Tukang tambal ban boleh, mantan pelacur boleh, pokoknya siapa saja boleh. Apalagi kalau berani bayar mahal, bisa dipertimbangkan pasti jadi caleg. Tidak ada tes IQ.  Orang goblokpun boleh jadi caleg. Orang tidak memahami ilmu hukum, ilmu ekonomi dan ilmu-imu lainpun boleh. Tanpa syarat ketat, akan melahirkan wakil-wakil rakyat yang korup. Jadi maling uangnya rakyat. Seharusnya: Sama dengan syarat untuk menjadi capres. Seharusnya semua caleg mengikuti berbagai tes kualitas. Mulai dari tes IQ (Intelligence Quotient), EQ (Emotipnality Quotient), SQ (Spiritual Quotient), LQ (Leadership Quotient), AQ (Aptitude Quotient), HQ (Healthy Quotient), MQ (Morality Quotient), pro Pancasila, UUD 1945, NKRI, Bhineka Tunggal Ika dan mempunyai sifat-sifat negarawan, minimal berpendidikan S1 atau S2 atau S3. Ad.4.Syarat menjadi pemimpin daerah terlalu mudah Terlalu mudah juga. Asal punya uang, baik uang sendiri maupun uang hasul utang, boleh jadi pemimpin daerah. Orang cengengpun boleh jadi calon pemimpin daerah. Yang penting dapat dukungan parpol. Soal dukungan rakyat bisa dengan cara money politic. Tidak punya jiwa negarawan juga boleh. Bukan kader p0arpolpun boleh. Artis juga boleh. Sistem yang lemah akan melahirkan capimda yang korup dan semena-mena. Seharusnya: Sama dengan syarat menjadi capres. Seharusnya semua capimda (calon pemimpin daerah : walikota, bupati, gubernur) mengikuti berbagai tes kualitas. Mulai dari tes IQ (Intelligence Quotient), EQ (Emotipnality Quotient), SQ (Spiritual Quotient), LQ (Leadership Quotient), AQ (Aptitude Quotient), HQ (Healthy Quotient), MQ (Morality Quotient), pro Pancasila, UUD 1945, NKRI, Bhineka Tunggal Ika dan mempunyai sifat-sifat negarawan, minimal berpendidikan S1 atau S2 atau S3. Ad.5.Sistem koalisi yang abal-abal Sistem koalisi juga belum profesional. Masih koalisi “sak karepe dewe”. Koalisi berdasarkan pertimbangan balas budi. Koalisi berdasarkan “politik dagang sapi”. Koalisi yang lebih mementingkan kepentingan parpo daripada kepentingan rakyat. Koalisi yang ingin menguasai DPR sehingga menjadi kekuatan tunggal yang otoriter. Koalisi lebih dari 50% akan menghasilkan undang-undang yang tidak pro rakyat melainkan pro kapiralis asing atau negara asing. Seharusnya: Seharusnya, koalisi parpol dibatasi maksimal 50%, sehingga ada keseimbangan kekuatan di DPR. Yaitu, 50% pro pemerintah dan 50% sebagai “partai oposisi”. Dengan demikian fungsi DPR sebagai lembaga kontrol eksekutif bisa berjalan secara efektif. Tidak menjadi DPR yang “yes man” atau “tukang stempel”-nya pemerintah. Ad.6.Sistem pemilu yang tidak profesional Sistem pemilu sekarang ini tidak profesional. Mengurus DPT (Daftar Pemilih Tetap) saja amburadul, kacauu balau atau karut marut. Itu berarti manajemen data kependudukan juga kacau balau. Sistem pemberian NIK juga tidak profesional. Manajemen E-KTP juga amburadul. Update E-KTP saja butuh waktu berbulan-bulan bahkan bisa bertahun-tahun. DPT kacau pastilah membuka peluang pemilu yang kacau dan curang. Sistem institusi pemilu juga mudah disusupi oknum-oknum yang gampang disuap dan disogok. Masih dimungkinkan adanya manipulasi data suara. Tidak ada transparansi dalam pemilu. Hasil pemilu tidak bisa diaudit. Penguasapun bisa menyusupkan orang-orangnya di semua institusi pemilu dari pusat hingga daerah, juga di MK (Mahkamah Konstitusi) dan lembaga-lembaga terkait lainnya. Bahkan TNI/Polri?birokrasipun bisa dikendalikan oleh penguasa. Pemilu juga sangat rawan korupsi. Seharusnya: Seharusnya sistem pemilu offline diganti dengan sistem pemilu online. Harus didukung para pakar TI (Teknologi Informasi) yang profesional. Semua pemilih menggunakan E-KTP. NIK (Nomor Induk Kependudukan)  harus diubah menjadi NUK (Nomor Urut Kependudukan) sebab sistem NIK bisa mengacaukan sistem pendataan dan update data penduduk. Juga bisa mengacaukan penyusunan DPT. Pemilu maupun pemilukada sangat hemat, bisa menghemat uang rakyat hingga ratusan triliun. Bisa meminimalkan praktek-praktek korupsi. Ttransparan. Hasil pemilu bisa dikontrol masyarakat secara online. Memperkecil kecurangan karena rakyat bisa mencocokkan hasil pemilu di TPS-nya dengan hasil online. Hasil pemilu harus diumumkan per-TPS, kemudian per-kelurahan, per-kecamatan,per kabupaten/lota,per-provinsi dan terakhir secara nasional. Ad.7.Produk undang-undang yang tidak pro rakyat Karena selama ini terlalu mudah menjadi caleg, maka hasilnya adalah wakil-wakil rakyat yang koplak, bodoh, atau pandai tapi tidak bermoral. Tidak amanah. Tidak pro rakyat. Sehingga undang-undang yang dibuatnya juga lebih menguntungkan kepentingan parpolnya atau koalisi parpolnya. Undang-undang KPK-pun mulai dipreteli, kewenangan KPK-pun dikurangi dan undang-undang yang bersifat menguntungkan mereka daripada kepentingan bangsa dan negara. Bahkan banyak undang-undang demi kepentingan kapitalis asing atau negara asing. Seharusnya: Seharusnya pembuatan undang-undang harus melibatkan berbagai pakar hukum se-Indonesia, para ulama semua agama se-Indonesia, juga melibatkan buruh, karyawan dan semua yang berhubungan dengan RUU yang sedang disusun. Undang-undang harus lebih bersifat menguntungkan bangsa dan negara. Harus lebih pro rakyat, terutama rakyat miskin. Harus memprioritaskan nasionalisasi kekayaan alam. Harus menekankan kedaulatan rakyat,kedaulatan hukum, kedaulatan ekonomi, kedaulatan politik tanpa campur tangan atau didikte negara sing, baik Amerika dan sekutunya maupun Negeri Onta dan sekutunya. APBN harus diefisienkan. Utang pemerintah harus diperkecil secara bertahap hingga nol. Dan undang-undaang lain yang menguntungkan bangsa dan negara. Ad.8.Penegakan hukum bagi koruptor yang terlalu ringan Hukuman bagi koruptor terlalu ringan. Hukum  dan para penegak hukum terkesan sangat bisa dibeli. Koruptor bisa menikmati hidup yang nyaman di LP (Lembaga Pemasyarakatan). Siang tidur di LP, malam tidir di rumah, hotel atau rumah kontrakan yang lokasinya dekat dengan LP. Hukuman bisa dikurangkan. Remisi bisa dibeli. Bahkan grasipun bisa dibeli. Bebas bersyarat juga bisa diteebus pakai uang. Seharusnya: Seharusnya kita punya presiden yang memahami hkum. Jujur, bersih, berani dan tegas. Hukuman bagi koruptor harus diperberat. Jika perlu hukuman mati. Untuk itu undang-undang yang berhubungan dengan korupsi, harus ditingkatkan kualitasnya. Harus ada undang-undang tentang pembuktian terbalik, undang-undang pemiskinan koruptor, hukuman minimal harus ditingkatkan, misalnya minimal 10 tahun. Seharusnya para koruptor tidak perlu mendapatkan remisi ataupun keringanan hukuman. Walaupun hukuman mati tidak efektif, tetapi  perlu dilakukan. Ad.9.Sanksi terhadap anggota DPR yang tidak disiplin tidak tegas Selama ini ruang sidang di DPR sering kosong. Bisa terjadi karena tata tertibnya terlalu biasa. Tidak ada sanksi yang tegas bagi anggota DPR yang membolos, tidak disiplin, tidur saat sidang dan lain-lain. Walaupun ada sistem daftar hadir menggunakan sistem sidik jari, tapi tetap mubazir karena tidak ada sanksi yang tegas. Seharusnya: Seharusnya, anggota DPR yang tidak hadir dalam sidang tiga kali berturut-turut atau tidak berturut-turut harus dikenakan sanksi yang tegas, misalnya tidak berhak menerima tunjangan apapun selama tahun tersebut. Jika kemudian tiga kali lagi tidak hadir, harus dikenakan sanksi dikeluarkan dari keanggotaannya di DPR. Ad.10.Sistem demokrasi yang serba uang Semua orang tahu. Sistem politik di Indonesia serba uang. Demokrasi “Wani Piro”.Bahkan sistem birokrasi kita juga serba uang. Semua serba uang. Ingin jadi caleg/cawali/cabup/cagub/capres harus ada uang. Untuk mendirikan parpol harus ada uang. Hasilnya adalah parpol korup, caleg korup, cawali korup, cabup korup, cagub korup, capres korup apabila mereka menang dan terpilih. Seharusnya: Perlu adanya sistem penyeleksian, tes dan pemilihan secara online yang didukung Bank Soal dan Sistem Acak. Semuanya secaraa online. Didukung E-KTP dan sistem sidik jari yang tidak mungkin bisa dipalsukan. Sebuah sistem yang hemat, jujur, akurat dan hasilnya bisa segera dilihat. Kesimpulan: -Selama sistem politik Indonesia masih bau tahi kucing, selama itu juga Indonesia tetap penuh diwarnai praktek-praktek korupsi, kolusi, nepotisme, suap, sogok, gratifikasi, hilangnya kedaulatan ekonomi, kedaulatan hukum, kedaulatan politik, kedaulatan sumber daya alam, kedaulatan perbankan dan berbagai kedaulatan lainnya. Karena sistem politiknya masih bau tahi kucing, maka pemilu maupun pemilukada lebih banyak menghasilkan pemimpin dan wakil rakyat yang berbau tahi kucing juga. Catatan: -Maaf, saya jarang membaca komen-komen Hariyanto Imadha Pengamat perilaku Sejak 1973

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun