Mohon tunggu...
Hariadhi
Hariadhi Mohon Tunggu... Desainer - Desainer

Ghostwriter, sudah membuat 5 buku berbagai Dirut BUMN dan Agency Multinasional, dua di antaranya best seller. Gaya penulisan berdialog, tak sekedar bernarasi. Traveler yang sudah mengunjungi 23 dari 34 provinsi se Indonesia. Business inquiry? WA 081808514599

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Tumpangsari Insidensial

31 Oktober 2020   20:11 Diperbarui: 31 Oktober 2020   20:19 610
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Berapa banyak panen padinya?" Tanya saya.

"Ya adalah sekitar 10 karung. Tidak banyak. Tapi lumayan," jawabnya. Ia bercerita bahwa dengan panen segitu, bisa menghidupi tiga anak dan satu istri.

Pak Samin kemudian berlalu. Saya masih penasaran karena terlihat ada beberapa pondok di sekitaran kebun yang luas ini. Lagipula agak aneh kalau lahan pemerintah ditanami sawit, walaupun memang ada program Lahan Adat dan Hutan Sosial yang memungkinkan masyarakat asli setempat menggarap hutan yang sudah ditentukan batasannya. Sawit atau karet biasanya dikelola oleh PTPN karena biaya menanam yang cukup besar.

Dengan motor kemudian saya menyusuri jalan memutar ke belakang kebun, yang menuntun saya bertemu dengan warga sekitar. Bu Ayu namanya, ia membawa motor berboncengan dengan tiga anak.

Dok. pribadi
Dok. pribadi
"Oh ya.. itu memang warga asli, Suku Baduy dan orang-orang Gunung. Kalau saya teh bukan penggarap. Cuma numpang lewat saja, mengantar anak-anak."

Bu Ayu menyarankan saya terus masuk ke dalam, menuju kantor perusahaan pengelola. "Setahu saya kebun ini punya PTPN. Coba saja tanya ke sana, apa perusahaannya." Katanya memberikan petunjuk.

Dok. pribadi
Dok. pribadi
Semakin ke dalam, saya menemui beberapa ibu-ibu yang berpakaian tradisional. Bukan khas Baduy memang, tapi dari raut muka dan cara bicara, terlihat bukan warga biasa.

"Saya juga kurang jelas kenapa kita bisa diizinkan menggarap di sini. Tapi sudah lama rasanya. Dan tidak ada masalah apapun. Yang penting bisa ikut merawat pohon-pohon sawit yang ada. Lalu di selanya, asalkan tidak mengganggu, boleh ditanam beberapa sayur dan rempah. Kalau sudah cukup besar, dipanen. Itu saja bentuk bayarannya," jawab Bu Titi dan Bu Pawitri. Jawaban serupa diberikan oleh Pak Ketok yang juga terlihat mondar-mandir di sana.

Dok. pribadi
Dok. pribadi
Itu pula yang diinformasikan oleh Bu Marni, Bu Sati, Bu Jarni, dan Ani yang saya lihat sedang makan siang di salah satu gubug sederhana di tengah kebun. Saya perhatikan salah satu hasil panenannya. "Ini teh jamur sawit. Bisa dimakan dan enak. Tumbuhnya di batang sawit yang sudah mati," ia memperlihatkan sebongkah jamur besar, sambil meyakinkan jamur tersebut tidak beracun. Ada pula pare gemuk dan besar, memperlihatkan daerah tersebut memang subur sekali.

Sambil memperhatikan mereka membersihkan lahan dari gulma dan rumput, saya coba mendata apa saja yang ditanam di sela pohon-pohon sawit yang masih kecil. Saya temukan ada tomat ceri yang saat saya coba satu rasanya manis sekali, lalu ada terong, ubi jalar, cabe rawit, takokak, kunyit, sereh, hingga kencur.

"Yang penting katanya kita harus ikut menjaga dan merawat pohon-pohon sawit ini saja," jelas Bu Ani sambil membersihkan tanaman menjalar yang mulai menutupi salah satu pohon tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun