"Berapa banyak panen padinya?" Tanya saya.
"Ya adalah sekitar 10 karung. Tidak banyak. Tapi lumayan," jawabnya. Ia bercerita bahwa dengan panen segitu, bisa menghidupi tiga anak dan satu istri.
Pak Samin kemudian berlalu. Saya masih penasaran karena terlihat ada beberapa pondok di sekitaran kebun yang luas ini. Lagipula agak aneh kalau lahan pemerintah ditanami sawit, walaupun memang ada program Lahan Adat dan Hutan Sosial yang memungkinkan masyarakat asli setempat menggarap hutan yang sudah ditentukan batasannya. Sawit atau karet biasanya dikelola oleh PTPN karena biaya menanam yang cukup besar.
Dengan motor kemudian saya menyusuri jalan memutar ke belakang kebun, yang menuntun saya bertemu dengan warga sekitar. Bu Ayu namanya, ia membawa motor berboncengan dengan tiga anak.
Bu Ayu menyarankan saya terus masuk ke dalam, menuju kantor perusahaan pengelola. "Setahu saya kebun ini punya PTPN. Coba saja tanya ke sana, apa perusahaannya." Katanya memberikan petunjuk.
"Saya juga kurang jelas kenapa kita bisa diizinkan menggarap di sini. Tapi sudah lama rasanya. Dan tidak ada masalah apapun. Yang penting bisa ikut merawat pohon-pohon sawit yang ada. Lalu di selanya, asalkan tidak mengganggu, boleh ditanam beberapa sayur dan rempah. Kalau sudah cukup besar, dipanen. Itu saja bentuk bayarannya," jawab Bu Titi dan Bu Pawitri. Jawaban serupa diberikan oleh Pak Ketok yang juga terlihat mondar-mandir di sana.
Sambil memperhatikan mereka membersihkan lahan dari gulma dan rumput, saya coba mendata apa saja yang ditanam di sela pohon-pohon sawit yang masih kecil. Saya temukan ada tomat ceri yang saat saya coba satu rasanya manis sekali, lalu ada terong, ubi jalar, cabe rawit, takokak, kunyit, sereh, hingga kencur.
"Yang penting katanya kita harus ikut menjaga dan merawat pohon-pohon sawit ini saja," jelas Bu Ani sambil membersihkan tanaman menjalar yang mulai menutupi salah satu pohon tersebut.