Mohon tunggu...
Hariadhi
Hariadhi Mohon Tunggu... Desainer - Desainer

Ghostwriter, sudah membuat 5 buku berbagai Dirut BUMN dan Agency Multinasional, dua di antaranya best seller. Gaya penulisan berdialog, tak sekedar bernarasi. Traveler yang sudah mengunjungi 23 dari 34 provinsi se Indonesia. Business inquiry? WA 081808514599

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Tumpangsari Insidensial

31 Oktober 2020   20:11 Diperbarui: 31 Oktober 2020   20:19 610
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok. pribadi
Dok. pribadi
Syukurnya, di tengah perjalanan saya menemukan hal-hal yang bisa dinikmati. Berendam di sumber air panas Tirta Lebak Buana. Nyaman sekali di tengah udara dingin yang menusuk..

Setelah berendam, saya melanjutkan perjalanan ke Malingping. Dan yang saya temui benar-benar berbeda dengan yang saya bayangkan

Subuh saya sampai di sekitaran Jalupang Mulya, Leuwidamar, sekitar dua jam dari Rangkasbitung. Sebenarnya lebih tepat disebut tersesat, karena dingin dan gelapnya malam membuat saya sulit berkonsentrasi sehingga terlewat satu pertigaan ke arah Malimping.  

Dalam keadaan gelap gulita, samar saya lihat siluet pohon sawit yang agak jarang, diselingi beberapa tanaman talas. Ini ciri khas dari perkebunan rakyat, tidak serapi dan seefisien kebun korporat. Saya tunggui hingga pagi menjelang, berharap bisa mendapat foto fajar dengan gambar sawit yang bagus.

Namun kondisi langit berawan tebal membuyarkan harapan saya mendapat gambar sunrise yang berwarna-warni indah. Mau tak mau saya turun untuk mengambil objek foto yang lebih menarik. Kejutan, semakin turun ke bawah bukit, semakin banyak tanaman aneh yang setelah saya teliti adalah sebuah praktik tumpang sari!


Awalnya saya heran kenapa di sekitaran sawit banyak semak ilalang, seolah tidak terawat. Namun begitu saya dekati dan perhatikan, ternyata itu bukanlah semak, melainkan sereh. Semakin penasaran, saya teruskan berjalan ke dalam perkebunan. Mulailah tampak tanaman  buncis bahkan jagung yang sebenarnya tak lazim dipasangkan dengan sawit. Dan selintas di bagian bawah saya perhatikan ada sawah kecil.

Menjelang pukul 07:00, seorang petani dengan rambut putih dan kulit sudah keriput menyusuri jalan setapak. Saya lambaikan tangan untuk isyarat minta waktu bicara. Ia bersedia.

Dok. pribadi
Dok. pribadi
Ia bicara dengan logat Sunda yang sangat kental, yang kosakatanya sulit dipahami oleh saya yang sempat tiga tahun tinggal di Bandung. Barulah kemudian saya sadar, kalau ini daerah Baduy. Dengan sedikit terbata-bata dan penuh bahasa isyarat, kami memaksakan bicara dalam Bahasa Indonesia.
"Jauh ke bawah kalau mau ikut saya!" Kira-kira demikian ujarnya saat saya menawarkan diri mengamati aktivitasnya bertani. Namanya Pak Sanim, begitu ia menjelaskan setelah bersalaman.

"Saya di sini mengolah sawah. Di bawah sana. Tidak bisa kalau pakai sepeda motor, mah," jawabnya. Tapi ia bersedia menceritakan apa saja yang dilakukan.

"Kok bisa diberikan izin mengolah lahan di sini, Pak?" Tanya saya penasaran.

"Ya dari pemerintah juga. Dibolehkan. Jadilah saya menanam padi di bagian-bagian yang sulit untuk sawit tumbuh. Di bawah itu kan berair dan susah juga untuk truk masuk kalau mau panen." Ia menunjuk ke bagian dasar jurang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun