Ada tiga momen saya pernah mengunjungi Kota Solo. Pertama saat pernikahan Gibran, kedua saat pernikahan Kahiyang, dan ketiga saat membuat tour keliling Jawa dalam rangka kampanye #1000kmJKW
Tapi di antara ketiga kunjungan tersebut, saya tidak benar-benar mengeksplorasi kuliner dan wisata di Solo.Â
Maka dalam kunjungan keempat, saya benar-benar berusaha mencari tahu seperti apa sebenarnya yang namanya kuliner khas kota yang dipimpin Pak FX Rudy ini. Seperti juga saat mengunjungi Waduk Cirata, saya berjalan solo, sendirian ke Solo.
Namun yang tersaji justru soto...
"Srrpppt..." Baru setelah menyuap sekali, saya jadi yakin ini bisalah dimasukkan kategori kare. Rasanya memang agak lebih pekat dibanding soto. Rasanya lebih asin dan kaldunya lebih kental. Ditambah rempah-rempah yang membuatnya makin kaya lagi.
"Paling enak dicampur sedikit sama kuah opor, atau gule," Katanya meyakinkan. Saat saya tanyakan kepada teman saya di twitter, Iwan Kurniawan, ia mengkonfirmasi memang seperti itulah kare di Solo.
"Kalau kare di Solo memang kuahnya encer kaya soto," Jawabnya, walaupun juga kurang percaya itu kare saat melihat fotonya.
Hampir saya nambah lagi kalau tidak ingat saya masih punya misi mencoba beberapa jenis kuliner unik lagi. Lalu saya keluar dari terminal dan menyeberang ke arah sungai. Dari warga sekitar, saya jadi tahu nama sungai ini adalah Sungai Pepe, anak dari Bengawan Solo.
Suasananya sungai ini jauh beda dengan dulu saat saya berlari 5 kilometer di daerah sini. Bagian tepinya sudah dirapikan dari gubuk-gubuk liar. Sekarang bagian di seberang terminal ini dibuat taman, lengkap dengan tempat berjalan kaki dan bangku taman.Â
Lalu di beberapa titik ada pedagang kaki lima yang diatur rapi. Saya agak telat menjemput matahari terbenam, sehingga tak sempat mengambil foto cantik. Namun penerangan dari lampu tamannya cukup menyelamatkan suasana.
"Kalau di sini mah pasti kalau cari yang aneh dan unik ya sate-satean, haha" Kata Pak Parno, pedagang cemilan di Kali Pepe, seberang terminal Tirtonadi. "Ya contohnya sate kambing.."lanjutnya lagi.
Saya tersenyum. Kalau sate kambing saja di Jakarta pun banyak. Mungkin Pak Parno tidak enak untuk mengungkapkan sate jamu. Karena kalau yang ini barulah aneh dan unik khas Solo, soalnya terbuat dari daging anjing, bukannya jamu seperti namanya, hehehe.
"Ga ada lagi selain sate, Pak?" Tanya Saya.
"Oh ada, di sini bisa pesan sayur mentah, ditambah tauge, dibalurin parutan kelapa, sama rempah," Jawabnya. "Namanya trancam," Tambah Pak Parno lagi.
"Wah enak itu ya Pak?" Tanya saya.
"Oh ya kalau suka sayuran enak. Segar. Atau kalau mau yang matang dimasak, gudangan, itu sayurannya direbus dulu," Bapak yang merantau dari Deli Serdang ke Solo pada tahun 1981 ini memberikan jawaban.
Pak Tarno kemudian menjelaskan lagi berbagai jajanan pasar, seperti serabi Solo, lenjongan, nasi liwet, ketan juruh dan sebagainya.
... lalu dinamai pedagangnya, cenil. Hahaha
Cenil seharusnya jajanan pasar berbentuk mirip otak-otak juga, namun berwarna-warni yang disirami air mendidih dan diuleni lalu setelah mengental dibentuk dan ditaburi kelapa. Rasanya manis. Sementara cenil versi Sungai Pepe ini rasanya cenderung gurih.
Lalu saat saya menyeberang kembali, bertemu warung susu segar. Di sana saya baca sebuah menu dengan nama agak aneh, telur lempar. Setelah saya tanya jawabannya ajaib, "Itu kuning telur dikasih madu, Pak. Mau coba?"Â
Dari urutan nama bahannya saya berpikir itu mah STMJ, alias susu madu telur jahe, yang kemudian susu dan jahenya dihilangkan. Tapi memang setelah nonton sendiri, pembuatannya agak berbeda.
Mungkin dari sinilah asal nama telur lempar. Kemudian setelah terpisah sempurna, telur dituangkan ke mangkuk kecil. Warnanya yang menggoda kemudian disiriami kilatan madu. Okelah, jauh lebih menggiurkan daripada STMJ.
Rasanya? Gurih-gurih manis. "Jangan dikunyah lama-lama Pak. Langsung ditelan saja," Saran penjualnya melihat muka saya mulai aneh saat telurnya agak lama di mulut saya.Â
Telur lempar memang unik. Madunya terasa manis segar. Mungkin akan lebih enak lagi kalau diberi sedikit perasan lemon untuk memperkuat rasa segarnya.
Selesai ke Alfamart membeli peralatan mandi, saya kembali ke Terminal Tirtonadi untuk numpang mandi di toiletnya. Ini kebiasaan saya karena kalau habis perjalanan jauh pasti terasa kotor, lengket, dan bau. Dan memang biasanya para musafir diperbolehkan numpang mandi.
Tapi saya bukan mau mencoba markobar karena di Jakarta pun bisa. Sambil melakukan mapping Google map seluruh warung tenda yang ada di sana, saya melongok makanannya apa saja, mencari-cari yang unik.
Seperti juga Lenggang Jakarta, soto betawi, sate taichan, soto, sop, bakmi, mendominasi dagangan di Kota Barat. Ada juga yang agak menarik seperti tahu tek-tek.Â
Namanya membuat penasaran dan memang warungnya juga ramai. Berbagai wangi masakan bercampur jadi satu, disemarakkan oleh penampilan Live Music. Mem
Tapi saya masih mencari yang cukup unik...
Lalu berjumpalah dengan sambal belut di Warung Ikan Bakar Mba Uut. Kebetulan pula di sana ada trancam. Maka saya pesanlah keduanya.
"Trancam masih ada kan, Bu?" Saya berusaha meyakinkan, soalnya di beberapa warung lain yang juga menuliskan menu trancam, selalu diinformasikan sudah habis kalau saya pesan. "Ada, tapi tunggu ya, yang antri pesan banyak sekali." Jawabnya.
Orangtua saya selalu berpesan, tanda tempat makanan yang enak itu adalah kalau ada antrian panjang. Maka saya tentu tidak keberatan menunggu. Hampir satu jam lamanya saya harus menunggu pesanan jadi.Â
Tapi penantian panjang itu pantas rasanya saat mencoba mengigit belutnya. Saya kemudian membawa bungkusan berisi sambal belut dan trancam ke warung penjual es teler bernama Es Cobar dan makan di sana.
Tidak ada seperempat jam, seluruh hidangan habis, lalu saya tutup dengan Es Teler Cobar. Esnya sendiri biasa saja, tapi cukup manis untuk membersihkan langit-langit dari rasa belut yang lengket.
Menjelang malam makin larut, satu per satu warung di sekitaran Lapangan Kota Barat tutup. "Coba ke Slamet Riyadi, mas." Kata pemilik Warung Es Cobar. "Di sana ada beberapa kafe yang tutupnya baru pukul tiga nanti, seperti AMPM," Sarannya saat saya tanyakan di mana tempat nongkrong yang enak.
Berjalan sekitar sekilometer, saya akhirnya kelelahan sendiri. Kebetulan bertemu hotel kecil namun murah meriah di depan Rumah Sakit Slamet Riyadi. Hotel Putri Sari namanya, tepat di sebelah Pizza Hut.Â
Hotel sederhana ini punya tarif mulai dari 170an ribu hingga Rp 250 ribu, tergantung fasilitas kamar yang dipesan. Buat saya ada AC pun cukuplah, karena masih harus menghemat uang sampai ke Jogja nanti.
Lalu sambil mengetik tulisan ini, saya pun perlahan tertidur lelap...