Mohon tunggu...
Hariadhi
Hariadhi Mohon Tunggu... Desainer - Desainer

Ghostwriter, sudah membuat 5 buku berbagai Dirut BUMN dan Agency Multinasional, dua di antaranya best seller. Gaya penulisan berdialog, tak sekedar bernarasi. Traveler yang sudah mengunjungi 23 dari 34 provinsi se Indonesia. Business inquiry? WA 081808514599

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Berjalan Solo ke Solo, Kotanya Pak Jokowi

15 September 2019   05:49 Diperbarui: 15 September 2019   05:50 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tapi saya masih mencari yang cukup unik...

Lalu berjumpalah dengan sambal belut di Warung Ikan Bakar Mba Uut. Kebetulan pula di sana ada trancam. Maka saya pesanlah keduanya.

"Trancam masih ada kan, Bu?" Saya berusaha meyakinkan, soalnya di beberapa warung lain yang juga menuliskan menu trancam, selalu diinformasikan sudah habis kalau saya pesan. "Ada, tapi tunggu ya, yang antri pesan banyak sekali." Jawabnya.

Orangtua saya selalu berpesan, tanda tempat makanan yang enak itu adalah kalau ada antrian panjang. Maka saya tentu tidak keberatan menunggu. Hampir satu jam lamanya saya harus menunggu pesanan jadi. 

Tapi penantian panjang itu pantas rasanya saat mencoba mengigit belutnya. Saya kemudian membawa bungkusan berisi sambal belut dan trancam ke warung penjual es teler bernama Es Cobar dan makan di sana.

DOKUMENTASI PRIBADI
DOKUMENTASI PRIBADI
Awalnya saya berpikir pedas sekali karena potongan cabenya merah menyala. Ternyata saya salah. Rasa enak dan gurih dengan aroma menyengat dari daging belutnya lebih mendominasi. Sambalnya sendiri hanya memberikan rasa hangat selingan di antara nasi putih yang pulen.

DOKUMENTASI PRIBADI
DOKUMENTASI PRIBADI
Lalu sayuran mentah segar dari trancam mulai masuk ke mulut. Betul sekali seperti yang saya perkirakan, sayuran ini memberikan rasa segar, mirip daun mint saat dikunyah. Lalu rempah-rempah dan parutan kelapanya memberikan aroma dan rasa yang tak terlupakan.

Tidak ada seperempat jam, seluruh hidangan habis, lalu saya tutup dengan Es Teler Cobar. Esnya sendiri biasa saja, tapi cukup manis untuk membersihkan langit-langit dari rasa belut yang lengket.

Menjelang malam makin larut, satu per satu warung di sekitaran Lapangan Kota Barat tutup. "Coba ke Slamet Riyadi, mas." Kata pemilik Warung Es Cobar. "Di sana ada beberapa kafe yang tutupnya baru pukul tiga nanti, seperti AMPM," Sarannya saat saya tanyakan di mana tempat nongkrong yang enak.

Berjalan sekitar sekilometer, saya akhirnya kelelahan sendiri. Kebetulan bertemu hotel kecil namun murah meriah di depan Rumah Sakit Slamet Riyadi. Hotel Putri Sari namanya, tepat di sebelah Pizza Hut. 

Hotel sederhana ini punya tarif mulai dari 170an ribu hingga Rp 250 ribu, tergantung fasilitas kamar yang dipesan. Buat saya ada AC pun cukuplah, karena masih harus menghemat uang sampai ke Jogja nanti.

Lalu sambil mengetik tulisan ini, saya pun perlahan tertidur lelap...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun