Sebuah kota metropolitan layaknya Jakarta tak seharusnya berjalan dengan pola pikir yang mengagungkan kemudahan sesaat. Ketegasan bukanlah wujud kekejaman yang patut dihindari, melainkan fondasi kokoh bagi tumbuhnya keadilan sejati di tengah hiruk pikuk ibukota.Â
Maka langkah Pemprov DKI Jakarta menolak mengadakan pemutihan pajak kendaraan tahun ini menjadi bukti nyata keberanian yang mengakar pada kebijaksanaan mendalam. Keputusan ini tidak sekadar tepat dan tegas, namun merupakan manifestasi logika pemerintahan yang berpijak pada realitas, bukan pada popularitas semata.
Data yang tersaji dengan gamblang memperlihatkan fakta yang tak terbantahkan -- mayoritas pelaku tunggakan pajak adalah mereka yang memiliki kendaraan kedua atau ketiga. Ini menegaskan bahwa kapasitas finansial mereka sebenarnya memadai untuk menunaikan kewajiban sebagai warga negara.Â
Memberikan keringanan dalam konteks ini bagaikan berbisik dengan nada menggoda, "Silakan tunda pembayaran, toh nantinya akan ada pengampunan." Pola pikir semacam ini bak racun yang perlahan menggerogoti integritas sistem perpajakan dan karakter masyarakat. Dalam konteks pembangunan karakter bangsa, masyarakat Jakarta memerlukan edukasi kedisiplinan, bukan belas kasihan yang salah sasaran.
Persoalan ini melampaui sekadar perhitungan angka dan denda, ini tentang mentalitas kolektif yang perlu direkonstruksi. Pemilik kendaraan pribadi, terutama mobil, memiliki tanggung jawab tak terhindarkan untuk melunasi pajak beserta denda progresifnya. Kewajiban ini bukan semata-mata untuk mengisi pundi-pundi kas daerah, melainkan instrumen pendidikan moral publik agar masyarakat menghargai nilai kedisiplinan dan tanggung jawab.Â
Namun, bukan berarti pemerintah dapat lepas tangan dari tanggung jawab menyediakan pelayanan prima. Realitas di lapangan menunjukkan bahwa proses pembayaran pajak kendaraan di Jakarta masih menjengkelkan dan menguras kesabaran. Antrean yang membingungkan, alur birokrasi yang berbelit-belit, serta praktik pungutan liar yang masih mengintai di berbagai sudut menjadi tantangan tersendiri.Â
Solusi terbaik bukanlah pengampunan yang memanjakan ketidakdisiplinan, melainkan harmonisasi dan sinergi antara Pemprov dan Kepolisian dalam menciptakan jalur pembayaran yang transparan, efisien, dan terbebas dari jerat calo. Di era digitalisasi yang pesat ini, sudah seharusnya pelayanan publik meninggalkan pola kerja era lampau yang kaku dan rentan manipulasi.
Berbicara tentang kendaraan roda dua, narasi yang tercipta mungkin memerlukan perspektif berbeda. Pengguna motor di Jakarta mencakup spektrum luas -- mulai dari kurir ojek online yang berjibaku dengan kerasnya perjuangan ekonomi hingga pengusaha properti yang menjadikan motor sebagai alternatif transportasi di tengah kemacetan. Oleh karena itu, kebijakan pemutihan untuk motor masih layak dipertimbangkan dengan prasyarat yang ketat dan terukur. Diperlukan kriteria yang jelas dan terverifikasi, seperti berdasarkan Nomor Induk Kependudukan, tingkat penghasilan, atau status kepemilikan tempat tinggal. Bagi mereka yang enggan mengikuti prosedur verifikasi, konsekuensi logisnya adalah pembayaran penuh. Pendekatan one-size-fits-all dalam kebijakan publik hanya akan menciptakan ketimpangan baru.
Keteguhan Pramono Anung dan Rano Karno dalam mengambil keputusan tidak populis ini justru menyiratkan keseriusan mereka dalam mentransformasi Jakarta. Mereka tidak sekadar bermain-main dengan kebijakan populis jangka pendek, melainkan meletakkan batu pertama untuk perubahan sistemik jangka panjang. Harapan mereka sederhana namun fundamental -- kendaraan yang melintasi jalan ibukota harus terdata dengan baik, beroperasi secara teratur, dan taat pada kewajiban perpajakannya.Â
Urgensi kebijakan ini semakin terasa mengingat kemacetan Jakarta telah mencapai stadium kritis. Kendaraan berseliweran tanpa kejelasan identitas pemilik, dengan status pajak yang terabaikan bertahun-tahun, hanya akan memperparah kondisi.Â
Dengan pengetatan regulasi ini, akan tercipta efek domino positif -- pengurangan signifikan kendaraan tak berizin, peningkatan ketertiban berlalu lintas, dan secara gradual namun pasti, simpul kemacetan akan mulai terurai. Transformasi ini tidak terjadi melalui retorika kosong, melainkan melalui pendekatan berbasis data dan ketegasan yang konsisten.
Yang tak kalah brilian, keputusan menghapuskan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) untuk kendaraan bekas merupakan langkah strategis yang cerdas. Realitasnya, masyarakat memilih kendaraan bekas karena keterbatasan daya beli untuk mengakses kendaraan baru.Â
Dengan demikian, kebijakan ini mencerminkan empati yang tidak terjebak pada populisme dangkal, namun tepat sasaran pada kebutuhan nyata. Ini bukan sekadar subsidi gaya konvensional yang sering kali salah sasaran, melainkan stimulus ekonomi yang relevan dengan konteks sosial.
Seperti yang diungkapkan dalam filosofi Jawa kuno, "Aja dumeh kuwasa, banjur sewenang-wenang" -- jangan karena berkuasa lantas bertindak sewenang-wenang. Pramono Anung telah membuktikan bahwa kekuasaan sejati tidak diukur dari kemampuan memberikan kemudahan, melainkan dari keberanian menegakkan ketertiban demi kebaikan bersama. Sebagaimana pepatah Yunani kuno yang mengatakan, "Karakter terbentuk dalam arus kesulitan, bukan dalam pelukan kemudahan." Kebijakan yang tidak selalu menyenangkan justru seringkali menjadi fondasi bagi peradaban yang lebih baik.
Dalam dimensi spiritual, kita diingatkan bahwa "Siapa yang mencintai disiplin, mencintai pengetahuan; tetapi siapa yang membenci teguran adalah dungu." Kedisiplinan bukanlah musuh kebahagiaan, melainkan pintu gerbang menuju keteraturan yang memerdekakan.
Kesimpulannya, Pramono Anung telah membuktikan diri bukan hanya sebagai pemimpin yang pantas mengendalikan kemudi Jakarta, melainkan juga sosok yang ideal untuk mendampingi Dedi Mulyadi sebagai Calon Wakil Presiden. Ketegasannya yang sistematis, kemampuannya menentukan prioritas, dan keberaniannya mengambil keputusan tidak populer demi masa depan yang lebih tertib menjadikannya pemimpin yang dibutuhkan oleh negeri yang terlalu lama terjebak dalam budaya permisif terhadap ketidakdisiplinan.
Memang nggak kaleng-kaleng kalau pimpinan dipilih betul-betul dari rakyat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI