Aku masih ingat aroma kopi hitam kesukaan Ayah yang mengepul setiap pagi di beranda rumah. Setelah Ibu tiada dua tahun lalu, aku menggantikan peran itu---menyeduhkan kopi, menyiapkan sarapan, memastikan Ayah minum obat tepat waktu, dan mengantarnya kontrol ke rumah sakit. Aku merasa cukup, dan kupikir Ayah juga begitu.
"Ayah mau menikah lagi."
Kalimat itu terlontar begitu saja, saat kami duduk di ruang tamu yang dulu selalu menjadi tempat kami mengenang Ibu. Waktu seakan berhenti. Aku menatap Ayah, mencari tanda bahwa ia bercanda. Tapi wajahnya serius, sorot matanya mantap, bahkan sedikit ragu.
"Maaf?" tanyaku, nyaris tak percaya.
"Ayah sudah pikirkan ini lama. Santi orang baik. Kami sudah saling mengenal lebih dari enam bulan."
"Santi?"
"Janda, seumuran Ayah. Kami satu komunitas pengajian. Dia juga pernah kehilangan."
Aku menahan napas. Rasanya seperti ada yang merobek perlahan-lahan bagian dalam dadaku. Enam bulan? Dan aku tak tahu apa-apa? Aku, yang setiap minggu datang, menyiapkan belanjaan, bahkan menyetrika baju-bajunya.
"Ayah nggak butuh istri. Ada aku. Aku bisa rawat Ayah. Aku..."
Ayah menggeleng pelan. "Kamu sudah punya suami, Sayang. Punya rumah tangga sendiri. Ayah nggak ingin kamu terus terbagi."
"Tapi aku ingin terbagi untuk Ayah! Ayah bagian hidupku!"