Sesampainya di rumah Ayah, aku masuk tanpa banyak basa-basi. Rumah itu asing dan akrab dalam waktu bersamaan. Beberapa foto baru dipajang, termasuk foto pernikahan Ayah dan Bu Santi yang belum pernah kulihat. Aku mengalihkan pandangan.
Ayah terbaring lemah, tubuhnya dibungkus selimut, wajahnya pucat. Napasnya berat.
"Ayah...," bisikku, menahan air mata.
"Demamnya naik turun. Sudah kubawa ke dokter siang tadi," ucap Bu Santi sambil membawa baskom kecil dan handuk.
Aku membantu menyiapkan kompres. Kami bergantian mengusap dahinya, memberinya minum, dan membetulkan posisi tubuhnya. Tak ada percakapan panjang antara aku dan Bu Santi, tapi perlahan jarak yang selama ini kupasang... mulai retak.
Beberapa jam kemudian, Ayah tertidur. Bu Santi duduk di kursi dekat jendela, membaca kitab kecil. Aku tetap di sisi tempat tidur, memandangi wajah Ayah.
"Terima kasih ya," ucapku pelan, tak menoleh.
"Untuk apa?" tanya Bu Santi tanpa nada ingin tahu, hanya lembut.
"Sudah jaga Ayah... meskipun aku... nggak selalu ada."
Ia menutup bukunya. "Ayahmu lelaki yang kuat. Tapi sejak kehilangan Ibumu, dia sering duduk diam terlalu lama. Aku cuma berusaha menemani sunyinya. Bukan menggantikan siapa-siapa."
Aku menunduk. Kalimat itu... masuk seperti tetes air di tanah kering.