---
Malam itu aku tidur di sofa ruang tengah. Sekitar pukul dua dini hari, aku terbangun karena suara batuk. Haus juga. Aku melangkah pelan menuju dapur, tapi pandanganku terhenti saat melihat pintu kamar Ayah sedikit terbuka.
Dari celah itu, kulihat Ayah duduk di ranjang. Tubuhnya masih lemas, dan Bu Santi duduk di sampingnya. Ia mengusap punggung Ayah dengan pelan.
"Aku lelah, San," gumam Ayah, suaranya hampir tak terdengar.
"Bersandar saja, Mas," jawab Bu Santi sambil menawarkan bahunya.
Dan Ayah pun menyandarkan kepala di bahu istrinya. Diam. Tenang. Seperti anak kecil yang akhirnya menemukan pelukan.
Aku berdiri kaku. Dada sesak. Tapi bukan karena marah---karena aku akhirnya mengerti.
Ayah bukan hanya butuh perawatan fisik. Ia butuh seseorang untuk berbagi diam, berbagi lelah, berbagi ketakutan tua. Dan itu bukan peranku lagi. Aku bukan pendamping. Aku anak.
---
Pagi harinya, Ayah sudah bisa tersenyum kecil. Kami sarapan bersama. Suasana hangat, tak lagi seperti dua kutub yang enggan bersentuhan.
Aku membantu Bu Santi di dapur. Membuat teh panas, memotong buah, dan mengobrol ringan. Sesekali kami tertawa kecil. Perlahan... dinding di hatiku mulai runtuh.