Mohon tunggu...
Haniifah sadiyah
Haniifah sadiyah Mohon Tunggu... Penulis - Hanipeehhh

Lillahi ta'ala :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Senyum di Bibir Kiai Maksum

11 Maret 2022   10:49 Diperbarui: 11 Maret 2022   10:51 1972
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menjelang tengah malam, angin mendesir dengan halus sehingga membuat dingin tulang persendian. Untungnya karpet yang membungkus lantai masjid lumayan tebal sehingga siapa saja yang berada di dalam masjid akan merasa hangat. Saat itu aku membaca zikir dan shalawat nabi sebanyak seribu kali. Tepat pukul tiga dini hari, aku shalat tahajud.

Selesai salam, aku menoleh ke samping kananku. Ternyata di sana tampak seorang anak lelaki. Dia adalah salah seorang siswaku. Aku kenal baik dengan anak itu. Namanya adalah Imran. Dia sering terlambat sekolah. Namun ketika aku telusuri kepada para guru pasal Imran sering masuk kelas terlambat. Ternyata, dia harus mempersiapkan sayur dagangan ibunya dan menyusunnya di atas becak. Dia anak yatim. Ayahnya meninggal dunia karena sebuah kecelakaan. Tiga tahun yang lalu. Saat Imran masih kelas 9 Mts, ayahnya yang pagi itu mengantarkan sayur dagangannya ke pasar, tiba-tiba dilantak oleh kereta api. Palang di perlintasan kereta api itu tidak ada. Jadi siapa saja yang hendak menyeberang musti tengok kanan kiri dulu. Sejak kepergian sang ayah itulah, Imran mengambilalih untuk mengantarkan sayur dagangan ibunya.

Selesai shalat, Imran memanjatkan doanya kepada Sang Ilahi. Saat itu ia menangis. Saat aku mencuri dengar, dia mengatakan bahwa saat ini ibunya tengah sakit. Hatiku merasa tersentuh. Bagaimana jika hal itu terjadi pada ibuku? Tak lama kemudian, dari luar masjid terdengar suara laki-laki yang memanggil nama Imran. Pemuda itu pun bangkit dan menghampiri lelaki itu. Lamat-lamat, aku mendengar bahwa ibunya Imran sakit keras, dan sekarang ini juga harus dibawa ke rumah sakit. Tanpa berpikir panjang, aku meninggalkan mabitku dan menghampiri mereka berdua.

"Pak Fikri!"
"Maaf, Pak. Barusan Bapak bilang kalau ibunya Imran ini sedang sakit keras dan harus dibawa ke rumah sakit?"
"Benar, Pak Fikri."
"Kalau begitu, keberatankah Imran jika Bapak membantu untuk membawa ibumu ke rumah sakit. Kebetulan Bapak punya sahabat yang punya mobil."
"Tentu saja tidak, Pak."

Dini hari itu juga, aku menghubungi temanku yang kini sudah sukses menjadi seorang dokter. Aku katakan kepadanya bahwa saat ini aku sedang membutuhkan dirinya. Ternyata temanku itu mengiyakan aku. Dia akan datang dalam lima menit lagi dan langsung membawa ibunya Imran ke rumah sakit. Aku memanjatkan syukur kepada Allah, meski mabit terakhirku gagal. Mabit pertama gagal, dan mabit kedua gagal. Aku gagal untuk menghitbah Annisa. Tidak mengapa.

---

Kiai Maksum manggut-manggut mendengarkan kegagalan mabitku. Namun kulihat wajah beliau begitu cerah. Apakah masih ada harapan untukku?

"Fikri anakku, mendengarkan kisahmu yang menolong sesama begitu tulus, sama sekali tidak membuatku ragu untuk menikahkanmu dengan putriku Annisa. Menikahlah kalian berdua. Menikahlah!" Kiai Maksum menepuk-pundak tanganku. Kulihat kedua matanya basah oleh air mata. Sebuah senyuman terpancar di bibir beliau. Tulus. Tulus sekali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun