Mohon tunggu...
Haniifah sadiyah
Haniifah sadiyah Mohon Tunggu... Penulis - Hanipeehhh

Lillahi ta'ala :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Senyum di Bibir Kiai Maksum

11 Maret 2022   10:49 Diperbarui: 11 Maret 2022   10:51 1972
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah mengambil wudhu, aku masuk ke dalam masjid. Saat itu aku membaca doa untuk niat i'tikaf di masjid. Lalu aku berdiri untuk mendirikan shalat sunnah I'tikaf. Selesai shalat sunnah I'tikaf aku melanjutkan dengan shalat sunnah Tasbih seperti yang diajarkan oleh Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Setelah itu aku duduk bersila dengan membaca zikir. Tasbih, tahmid, tahlil kubaca sampai masing-masing tiga ratus kali. Aku juga membaca shalawat sebanyak tujuh ratus kali.

Menjelang tengah malam aku lanjut membaca Al-Qur'an Karim. Sampai pukul satu malam masih membaca ayat-ayat suci. Untuk mengganjal perutku, tadi aku sudah membawa bekal dengan membeli dua potong roti dan sebotol air mineral. Tidak lupa aku juga membawa sedikit uang untuk jaga-jaga. Tak terasa angin malam ini terasa dingin sehingga membuat mataku sepet. Agar aku tidak kantuk, maka aku memutuskan untuk memperbarui wudhuku. Kulihat Ayah dan tiga orang lainnya yang mabit masih khusyuk bertasbih kepada Allah. Baru saja aku membuka pintu masjid, aku melihat seorang ibu-ibu paro baya yang tampaknya linglung. Ibu-ibu paro baya itu berjalan mondar-mandir di depan masjid. Aku bertanya-tanya di dalam batin. Siapakah ibu itu?

Karena aku merasa kasihan kepada ibu-ibu linglung itu, akhirnya aku keluar masjid. Tujuanku untuk memberikan dua potong roti dan sebotol air mineral untuknya. Aku juga memberikan sedikit uang yang aku simpan di dalam saku jaket. Ibu-ibu itu mengucapkan terima kasih kepadaku. Lalu ia pergi entah ke mana.

Mabit pertamaku gagal. Malam ini adalah mabit keduaku. Aku berdoa kepada Allah agar mabit malam ini tidak ada lagi halangan yang dapat membuat mabitku kembali gagal. Kali ini aku mabit sendirian di masjid Pesantren Tebu Ireng. Sampai di sana aku disambut oleh beberapa siswaku yang juga nyantri. Ketiganya berasal dari Pulau Kalimantan. Jauh-jauh dari Kalimantan mereka menimba ilmu hanya untuk berdakwah di kampung halaman mereka kelak. Seperti biasanya. Mabit malam ini aku mendirikan shalat sunnah I'tikaf di masjid. Lalu melanjutkan dengan shalat sunah Tasbih. 

Selesai shalat, aku membaca Al-Qur?an sampai tiga juz. Awalnya para santri banyak yang melakukan I'tikaf. Namun menjelang pukul 01.00 dini hari, mereka tidur satu per satu. Ruangan masjid menjadi sepi. kecuali di pekarangan pesantren, aku melihat ada belasan santri yang masih berjaga-jaga dari maling. Sebab beberapa minggu terakhir ini, di kampung ini telah terjadi tiga pencurian sapi milik warga. Lalu sapi-sapi hasil curian itu dibawa untuk dijual di Probolinggo. Konon maling sapi bukan penduduk asli orang sini melainkan dari kota lain. Mereka mengenakan teropong wajah supaya tidak ada warga yang mengenali mereka.

Setelah membaca Al-Qur'an, aku mencium mushaf dengan takzim. Lalu aku melanjutkan kegiatan mabitku dengan membaca zikir. Namun ketika aku tengah khusyuk berzikir tiba-tiba ada salah seorang santri yang meronta kesakitan. Seluruh santri terbangun. Termasuk aku. Aku memang tidak tega jika melihat orang lain kesakitan. Aku bangkit dari dudukku dengan menghentikan zikirku. Aku segera mendatangi santri yang kesakitan itu. Ternyata santri yang meronta kesakitan itu adalah salah seorang siswaku.

"Kamu kenapa?" Tanyaku dengan memegangi perutnya yang sakit.
"Saya sakit perut, Pak," jawabnya sambil memegangi perut dengan kedua tangannya.
"Memangnya tadi kamu tidak makan?" selidikku.
"Bukan, Pak. Tadi saya habis makan."
"Kalau kamu sudah makan, kenapa masih sakit perut?"

Lalu aku membantunya membopong tubuhnya yang lemas. Malam itu aku kembali keluar dari masjid. Dengan bantuan teman-temannya, aku membawanya ke kamar asrama santri itu. Aku juga melihat beberapa ustadz yang juga teman-temanku di madrasah. Mereka juga ikut mengantarkan santri itu ke kamarnya. Sampai di kamar asramanya aku membantunya supaya tidur di atas tempat tidurnya yang bertingkat.

"Memangnya apa yang telah membuatmu kesakitan?" aku menanyainya dengan lembut.
Lalu santri itu berkata padaku bahwa sejak dua hari ini dia minum air keran. Katanya, kedua orangtuanya terlambat mengirim uang kiriman. Sehingga dia harus berpuasa. Untungnya ada dua orang teman sekamarnya yang mendapat kiriman dari orangtuanya sehingga dirinya bisa makan. Aku tersentuh ketika mendengar kisahnya yang menyayat-nyayat jiwa. Tanpa babibu, aku memberinya uang untuk dia membeli sebungkus nasi.

Malam ketiga, aku mabit di Masjid Pesantren Tambak Beras. Aku berdoa agar mabitku malam ini tidak kembali gagal. Meskipun begitu aku meratapi dua malam mabitku yang gagal. Aku gagal untuk mengkhitbah Annisa sebagai istriku. Dan aku sadar bahwa Annisa diciptakan bukan untuk menjadi pendamping hidupku. Saat itu aku kembali terbayang wajahnya yang bersembunyi di balik kerudung hijau. Gadis itu sungguh manis. Namun di balik itu semua aku merasa bahagia. Aku bahagia karena telah menolong sesama manusia yang sudah semestinya ditolong.

Sampai di sana aku melihat para santri juga sedang beri'tikaf. Ada yang shalat sunnah, ada yang membaca Al-Qur?an, ada yang membaca kitab kuning, ada yang bertasbih dan ada yang menghafalkan nazham Imrithy. Selesai berwudu aku masuk ke dalam masjid untuk mendirikan shalat sunnah I'tikaf. Di pesantren ini aku mempunyai beberapa teman yang sekelas denganku dulu. Dan kini mereka sudah menjadi ustadz yang disegani.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun