Mohon tunggu...
Handra Deddy Hasan
Handra Deddy Hasan Mohon Tunggu... Pengacara - Fiat justitia ruat caelum

Advokat dan Dosen Universitas Trisakti

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan featured

Bank Digital Suatu Keniscayaan

24 Januari 2021   05:43 Diperbarui: 24 Oktober 2021   07:10 1086
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Foto: www.lensaindonesia.com)

 Laporan ADB hingga Mei 2019, sudah ada 249 usaha masuk di bisnis fintech Indonesia. Bisnis fintech yang bertumpu kepada peer to peer lending (P2P), market place untuk investasi, transfer digital dan equity crowd funding sudah mulai dikenal masyarakat Indonesia. Malah khusus untuk P2P lending dan transaksi digital pertumbuhannya mencengangkan.
Kegiatan P2P lending merupakan intermediari yang sangat efisien dimana seseorang bisa langsung menyalurkan kelebihan dananya untuk memberikan pinjaman kepada yang membutuhkan. Perbankan konvensional sukar untuk menandingi efisiensinya, misal bagi deposan deposito akan memperoleh hasil bunga sekitar 5 - 6 persen/per tahun sedangkan bagi yang meminjamkan uang dalam skema P2P lending bisa meraup keuntungan 16 - 21 %/per tahun.

Transaksi penggunaan uang elektronik (transaksi digital) yang semula pada tahun 2010 Rp 693,5 miliar sampai Oktober 2019 (kurang dari 10 tahun) telah menjadi Rp 140 triliun. Tumbuh pesat kira2 20 kali lipat. P2P lending pada tahun 2018 sebesar Rp 22,67 triliun meningkat 645 % per tahun menurut data OJK.

Bank Indonesia memproyeksikan transaksi perbankan digital tahun 2021akan tumbuh 19,1 % dari tahun sebelumnya dari nilai Rp 27.036 triliun akan mencapai jumlah Rp 32.206 trilun. Transaksi uang elektronik diperkirakan akan meningkat 32,3 % dari Rp 201 triliun (tahun 2020) menjadi Rp 266 triliun (tahun 2021) (Kompas 23 Januari 2021).

Angka2 transaksi diatas tentunya tidak ada apa2nya dengan transaksi dan volume bisnis perbankan konvensional saat ini. Akan tetapi jangan dianggap sepele, angka2 ini akan cepat menggelembung dalam waktu singkat yang akan mengancam periuk nasi bank2 konvensional. Sebagaimana analisa Aviliani ini hanya baru permulaan dan hanya sebatas efisiensi dan optimalisasi bisnis transaksi bank, apalagi kalau nantinya betul2 sudah menjadi bank digital sebenarnya.

Bank Konvensional Melihat Kedepan.

Kalau sebelumnya persaingan di bisnis keuangan terjadi hanya antara bank2 konvensional, sekarang muncul pesaing baru bank digital dan perusahaan fintech yang juga menekuni beberapa jasa perbankan antara lain seperti pinjaman (P2P lending) dan transfer (uang elektronik).

Platform fintech yang cukup terkenal di Indonesia seperti Investree telah menggelontorkan pinjaman P2P lending tahun 2020 dengan total pinjaman Rp 2.38 triliun dengan jumlah nasabah sebanyak 11.236 nasabah. Rata2 nasabah mendapat pinjaman sebesar Rp 211,8 juta/entity.
 Platform P2P lending lain Akseleren pada tahun 2020 mencairkan pinjaman total Rp 905 miliar dengan 2.285 nasabah. Rata2 tiap nasabah menikmati pinjaman Rp 396 juta.

Selain itu ada ancaman baru karena tidak lama lagi ketentuan yang berlaku untuk bank konvensional bahwa bank asing hanya bisa beroperasi di kota2 besar di Indonesia juga akan mandul karena teknologi. Tentunya akan sulit untuk membatasi bahwa bank asing digital dibatasi ruang lingkupnya hanya beroperasi di kota besar. Pangsa pasar bank digital tidak bisa diberi garis demarkasi secara geografis, digital banking akan menjangkau wilayah dimana jaringan internet tersedia.

Bank2 konvensional yang ada mulai waspada dan memasang ancang2 untuk siap berkompetisi di era teknologi informasi.

BRI berencana mentransformasi anak usahanya Bank Agroniaga Tbk menjadi bank digital. Dirut BRI Sunarso menilai kemudahan akses layanan bank digital menjadi opsi paling baik dan paling cepat untuk meningkatkan persoalan inklusi keuangan (Kompas 23 Januari 2021).

Bank Yudha Bhakti yang sekarang telah berubah nama menjadi Bank Neo Commerce telah mencanangkan diri menjadi bank digital sejak sebagian sahamnya diakusisi oleh perusahaan fintech Akulaku. Selain merubah nama menjadi Bank Neo Commerce juga sekaligus mengganti jajaran direksi yang sekarang dipimpin CEO Tjandra Gunawan menatap perbankan digital yang antara lain menyalurkan kredit konsumtif Akulaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun