Mohon tunggu...
Handra Deddy Hasan
Handra Deddy Hasan Mohon Tunggu... Pengacara - Fiat justitia ruat caelum

Advokat dan Dosen Universitas Trisakti

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan featured

Bank Digital Suatu Keniscayaan

24 Januari 2021   05:43 Diperbarui: 24 Oktober 2021   07:10 1106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Foto: www.lensaindonesia.com)

Pada tahun 1919 BCA mengakuisisi Bank Royal Indonesia untuk dijadikan proyek bank digital dengan nilai akuisisi Rp 988 miliar dan tambahan suntikan modal sebanyak Rp 1 trilun.

Begitu juga Gojek melalui usaha fintech Gopaynya mengakuisisi Bank Jago yang nantinya beroperasi sebagai bank digital.
Bank Mega Corpora mengakuisisi Bank Harda Internasional dengan maksud yang sama.

Sementara di Indonesia bank konvensional melakukan ancang2 dan baru memulai bank digital, di luar negeri sudah ada beberapa bank yang telah benar2 menjalankan bank digital.
Diantaranya yang cukup terkenal dan sukses adalah Webank (Cina), Kakaobank (Korsel) dan Aspire Bank (Singapore).
Khusus Webank yang dikendalikan oleh raksasa fintech Tencent betul2 mempunyai ciri2 bank digital sejati. Webank tidak mempunyai kantor cabang sama sekali, tidak punya manual operasi perbankan, tidak ada syarat jaminan (collateral) untuk pinjaman. Tidak adanya persyaratan seperti lazimnya bank konvensional bukan berarti mereka mengabaikan sifat prudent (kehati2an) dalam bisnis keuangannya. Terbukti pada tahun  2018 Non Performing Loan (NPL - kredit macet) Webank hanya 0,5 % bila dibandingkan dengan NPL bank konvensional Cina pada tahun yang sama 1,8 %.

Merubah bank konvensional menjadi bank digital tentunya tidak semudah membalik telapak tangan. Sekedar hanya merubah jargon tentunya hal gampang. Banyak aspek2 baru yang perlu diperhatikan atau dilakukan.
Brett King sebagai pendiri Movenbank setidak2nya memberikan 9 point Scorecard Bank Digital. Dalam 9 point tersebut dapat disimpulkan dengan narasi untuk sekedar menunjukkan perbedaan dengan bank konvensional. Menurut Brett King bank digital tidak harus dipimpin oleh bankir berpengalaman, justru seharusnya dikomandoi oleh pemimpin figur dari sektor digital yang langsung memegang dan mengeksekusi kegiatan digital bank. Jadi tidak akan ada manager digital bank. Bank digital juga semata2 bertumpu kepada data untuk mendongkrak bisnis layanan perbankan. Butuh kreasi terus menerus dalam pengolahan data agar dapat menemukan jenis2 layanan baru untuk mendahului pesaing. Idealnya bank digital harus mengakuisisi perusahaan fintech atau minimal bermitra dengan perusahaan fintech.
Selain itu untuk mendevelop bank digital dibutuhkan sistim digital yang handal. Ada 2 produk sistim digital yang digadang2 dimiliki Indonesia yaitu Janius yang dimiliki PT Bank BTPN Tbk dan sistim Digibank milik PT Bank DBS Indonesia.

Regulasi Dan Permasalahan Digital Bank.

Saat ini OJK sedang menggodok aturan2 regulasi untuk mengatur digital bank di Indonesia. OJK harus bergegas mengeluarkan aturan sebelum praktek2 digital banking di Indonesia berkembang.

Saat ini hanya ada Peraturan OJK No 12/POJK.03/2018 tentang Penyelenggaraan Layanan Perbankan Digital oleh Bank Umum. Layanan digital tersebut terdiri dari internet banking, phone banking, sms banking dan mobile banking. Aturan layanan perbankan digital oleh bank umum masih diatur dalam sub sektor bank umum.

 Selain itu ada lagi 2 peraturan OJK dan 2 peraturan Bank Indonesia yang mengatur usaha fintech. Semua aturan yang ada sekarang tentunya jauh dari memadai untuk mengatur bank digital.

Salah satu sektor yang perlu diperhatikan oleh OJK dalam membentuk aturan bank digital adalah cyber security data nasabah bank digital.
Sebagaimna kita ketahui bahwa bagi bank digital data nasabah merupakan urat nadi dari bisnisnya. Tapi  sejauh mana bank digital dapat melindungi data nasabahnya. Apalagi saat ini di Indonesia Undang2 Perlindungan Data Pribadi belum juga kelar2 digodog di DPR.
Sementara kejahatan dunia maya (cyber crime) seperti rekayasa social (social enginering), eksploitasi kerentanan perangkat lunak dan serangan jaringan terus berlangsung di tengah masyarakat.

Ibu Prameswara penyiar RRI Sorong mengalami penipuan dengan modus sosial engineering pada tanggal 6 Januari 2020, sehingga mengalami kerugian sebesar Rp 28 juta. Kejadiannya bermula ketika dia memesan makanan via Gofood dan membayar menggunakan Gopay. Setelah mengakses aplikasi tiba2 ada telpon masuk yang mengaku sebagai driver Gojek yang mengatakan aplikasi error, korban lalu diarahkan membayar dengan mobile banking atau ATM. Korban baru sadar tertipu setelah menerima sms banking yang melihat ada transaksi yang angkanya mencurigakan. Hal yang sama juga menimpa public figur Maia Entianty. Cyber crime dengan modus social engineering marak terjadi di masyarakat.

Ada lagi cyber crime yang mengeksploitasi kerentanan perangkat lunak, misalnya dengan cara skimming atau menduplikasi kartu kredit atau kartu debet. Misalnya terjadi terhadap puluhan nasabah BRI Kediri pada tahun 2018. Hal yang sama juga terjadi di Bank Mandiri Gresik pada Maret 2020 yang menimpa nasabah Ardhiana Yogie Savitri sshingga kehilangan uang di rekeningnya sejumlah Rp 18,7 juta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun