Mohon tunggu...
KOMENTAR
Hukum Pilihan featured

Bank Digital Suatu Keniscayaan

24 Januari 2021   05:43 Diperbarui: 24 Oktober 2021   07:10 1106 5
Kata "teknologi" yang diadopsi dari bahasa Inggris technology sebetulnya berasal dari dua kata bahasa Yunani. "Techne" yang berarti ketrampilan atau seni dan kata "logos" yang mempunyai arti ilmu. Pada dasarnya teknologi berarti ilmu yang mempelajari ketrampilan atau seni. Teknologi sebagai ilmu telah berkembang dengan pesat berkat penemuan2 manusia genius untuk memajukan peradaban manusia. Akibatnya sendi2 hidup bermasyarakat, termasuk berniaga telah bertransformasi dengan kecepatan super, jauh dari bayangan angan2 manusia yang hidup dimasa lalu. Jual beli secara "on line" sekarang sudah merupakan kegiatan masyarakat sehari2. Jual beli konvensional yang hadir secara pisik di tempat (pasar), sudah mulai ditinggalkan. Baik karena tujuan efisiensi maupun karena suatu keadaan, misalnya karena keadaan darurat pandemi covid-19.

Salah satu kegiatan yang sedang bertransformasi dengan cepat adalah kegiatan dunia "perbankan". Satu dasawarsa yang lalu tidak ada yang bisa meramal bahwa kegiatan perbankan konvensional yang kita kenal selama ini akan berubah secara revolusioner dengan perbankan digital atau neo bank.

Bank digital (neo bank) adalah bank yang menyediakan dan menjalankan usaha utamanya secara elektronik dengan keberadaan kantor fisik bank terbatas (minimal) atau tanpa kantor fisik bank.

Beroperasinya bank digital dalam melakukan pelayanan perbankan dimungkinkan karena kemajuan teknologi informasi yang mumpuni.

 Berdasarkan data Asian Development Bank (ADB),  tahun 2108 baru 48,9 % penduduk Indonesia dewasa yang mempunyai tabungan perbankan (kira2 80 juta sampai 90 juta penabung). Padahal pada tahun yang sama 160 juta penduduk Indonesia telah punya akses internet. Perbedaan/disparitas jumlah penduduk yang mempunyai tabungan dengan pemakai internet merupakan peluang pasar yang terbuka bagi Digital Banking.

Pelayanan kegiatan Digital Banking melalui akses internet memungkinkan menjangkau penabung yang belum menabung di bank.
Data tahun 2018 ini pasti telah bergeser lebih besar lagi pada saat ini, karena selain jumlah penduduk Indonesia makin berkembang, juga jaringan internet yang disediakan provider makin luas, ditambah lagi penjualan ponsel makin meningkat. Ponsel merupakan instrumen yang sangat dominan sebagai alat yang digunakan untuk memanfaatkan internet. Awal adanya internet alat yang dipakai untuk menjangkaunya berupa komputer dan laptop.

Pandemi covid-19 yang selama ini merupakan dampak buruk bagi bisnis, sebaliknya menjadi faktor pendorong yang kuat bagi Bank Digital untuk melebarkan sayap bisnis.

Menurut Ekonom Senior Indef Aviliani, perbankan di Indonesia saat ini baru sebatas memanfaatkan infrastruktur digital untuk mendukung efisiensi operasional dan optimalisasi bisnis transaksi. Harusnya kalau cerita digital banking (neo bank) jauh lebih maju dari hanya sekedar efisiensi dan optimalisasi transaksi.

Aviliani menyampaikan suatu Digital Bank (Neo Bank)  harusnya mampu melakukan ekspansi bisnis intermediasi tanpa ada kehadiran fisik dengan memanfaatkan semua infrastruktur digital dan mampu mengolah data nasabah dengan tingkat efisiensi tinggi.

Sementara bank di Indonesia baru akan memulai merubah diri menjadi bank digital,  pesaing bank berupa usaha Financial Technolgi (Fintech) juga berebut kue dalam bisnis keuangan.

 Laporan ADB hingga Mei 2019, sudah ada 249 usaha masuk di bisnis fintech Indonesia. Bisnis fintech yang bertumpu kepada peer to peer lending (P2P), market place untuk investasi, transfer digital dan equity crowd funding sudah mulai dikenal masyarakat Indonesia. Malah khusus untuk P2P lending dan transaksi digital pertumbuhannya mencengangkan.
Kegiatan P2P lending merupakan intermediari yang sangat efisien dimana seseorang bisa langsung menyalurkan kelebihan dananya untuk memberikan pinjaman kepada yang membutuhkan. Perbankan konvensional sukar untuk menandingi efisiensinya, misal bagi deposan deposito akan memperoleh hasil bunga sekitar 5 - 6 persen/per tahun sedangkan bagi yang meminjamkan uang dalam skema P2P lending bisa meraup keuntungan 16 - 21 %/per tahun.

Transaksi penggunaan uang elektronik (transaksi digital) yang semula pada tahun 2010 Rp 693,5 miliar sampai Oktober 2019 (kurang dari 10 tahun) telah menjadi Rp 140 triliun. Tumbuh pesat kira2 20 kali lipat. P2P lending pada tahun 2018 sebesar Rp 22,67 triliun meningkat 645 % per tahun menurut data OJK.

Bank Indonesia memproyeksikan transaksi perbankan digital tahun 2021akan tumbuh 19,1 % dari tahun sebelumnya dari nilai Rp 27.036 triliun akan mencapai jumlah Rp 32.206 trilun. Transaksi uang elektronik diperkirakan akan meningkat 32,3 % dari Rp 201 triliun (tahun 2020) menjadi Rp 266 triliun (tahun 2021) (Kompas 23 Januari 2021).

Angka2 transaksi diatas tentunya tidak ada apa2nya dengan transaksi dan volume bisnis perbankan konvensional saat ini. Akan tetapi jangan dianggap sepele, angka2 ini akan cepat menggelembung dalam waktu singkat yang akan mengancam periuk nasi bank2 konvensional. Sebagaimana analisa Aviliani ini hanya baru permulaan dan hanya sebatas efisiensi dan optimalisasi bisnis transaksi bank, apalagi kalau nantinya betul2 sudah menjadi bank digital sebenarnya.


Bank Konvensional Melihat Kedepan.

Kalau sebelumnya persaingan di bisnis keuangan terjadi hanya antara bank2 konvensional, sekarang muncul pesaing baru bank digital dan perusahaan fintech yang juga menekuni beberapa jasa perbankan antara lain seperti pinjaman (P2P lending) dan transfer (uang elektronik).

Platform fintech yang cukup terkenal di Indonesia seperti Investree telah menggelontorkan pinjaman P2P lending tahun 2020 dengan total pinjaman Rp 2.38 triliun dengan jumlah nasabah sebanyak 11.236 nasabah. Rata2 nasabah mendapat pinjaman sebesar Rp 211,8 juta/entity.
 Platform P2P lending lain Akseleren pada tahun 2020 mencairkan pinjaman total Rp 905 miliar dengan 2.285 nasabah. Rata2 tiap nasabah menikmati pinjaman Rp 396 juta.

Selain itu ada ancaman baru karena tidak lama lagi ketentuan yang berlaku untuk bank konvensional bahwa bank asing hanya bisa beroperasi di kota2 besar di Indonesia juga akan mandul karena teknologi. Tentunya akan sulit untuk membatasi bahwa bank asing digital dibatasi ruang lingkupnya hanya beroperasi di kota besar. Pangsa pasar bank digital tidak bisa diberi garis demarkasi secara geografis, digital banking akan menjangkau wilayah dimana jaringan internet tersedia.

Bank2 konvensional yang ada mulai waspada dan memasang ancang2 untuk siap berkompetisi di era teknologi informasi.

BRI berencana mentransformasi anak usahanya Bank Agroniaga Tbk menjadi bank digital. Dirut BRI Sunarso menilai kemudahan akses layanan bank digital menjadi opsi paling baik dan paling cepat untuk meningkatkan persoalan inklusi keuangan (Kompas 23 Januari 2021).

Bank Yudha Bhakti yang sekarang telah berubah nama menjadi Bank Neo Commerce telah mencanangkan diri menjadi bank digital sejak sebagian sahamnya diakusisi oleh perusahaan fintech Akulaku. Selain merubah nama menjadi Bank Neo Commerce juga sekaligus mengganti jajaran direksi yang sekarang dipimpin CEO Tjandra Gunawan menatap perbankan digital yang antara lain menyalurkan kredit konsumtif Akulaku.

Pada tahun 1919 BCA mengakuisisi Bank Royal Indonesia untuk dijadikan proyek bank digital dengan nilai akuisisi Rp 988 miliar dan tambahan suntikan modal sebanyak Rp 1 trilun.

Begitu juga Gojek melalui usaha fintech Gopaynya mengakuisisi Bank Jago yang nantinya beroperasi sebagai bank digital.
Bank Mega Corpora mengakuisisi Bank Harda Internasional dengan maksud yang sama.

Sementara di Indonesia bank konvensional melakukan ancang2 dan baru memulai bank digital, di luar negeri sudah ada beberapa bank yang telah benar2 menjalankan bank digital.
Diantaranya yang cukup terkenal dan sukses adalah Webank (Cina), Kakaobank (Korsel) dan Aspire Bank (Singapore).
Khusus Webank yang dikendalikan oleh raksasa fintech Tencent betul2 mempunyai ciri2 bank digital sejati. Webank tidak mempunyai kantor cabang sama sekali, tidak punya manual operasi perbankan, tidak ada syarat jaminan (collateral) untuk pinjaman. Tidak adanya persyaratan seperti lazimnya bank konvensional bukan berarti mereka mengabaikan sifat prudent (kehati2an) dalam bisnis keuangannya. Terbukti pada tahun  2018 Non Performing Loan (NPL - kredit macet) Webank hanya 0,5 % bila dibandingkan dengan NPL bank konvensional Cina pada tahun yang sama 1,8 %.

Merubah bank konvensional menjadi bank digital tentunya tidak semudah membalik telapak tangan. Sekedar hanya merubah jargon tentunya hal gampang. Banyak aspek2 baru yang perlu diperhatikan atau dilakukan.
Brett King sebagai pendiri Movenbank setidak2nya memberikan 9 point Scorecard Bank Digital. Dalam 9 point tersebut dapat disimpulkan dengan narasi untuk sekedar menunjukkan perbedaan dengan bank konvensional. Menurut Brett King bank digital tidak harus dipimpin oleh bankir berpengalaman, justru seharusnya dikomandoi oleh pemimpin figur dari sektor digital yang langsung memegang dan mengeksekusi kegiatan digital bank. Jadi tidak akan ada manager digital bank. Bank digital juga semata2 bertumpu kepada data untuk mendongkrak bisnis layanan perbankan. Butuh kreasi terus menerus dalam pengolahan data agar dapat menemukan jenis2 layanan baru untuk mendahului pesaing. Idealnya bank digital harus mengakuisisi perusahaan fintech atau minimal bermitra dengan perusahaan fintech.
Selain itu untuk mendevelop bank digital dibutuhkan sistim digital yang handal. Ada 2 produk sistim digital yang digadang2 dimiliki Indonesia yaitu Janius yang dimiliki PT Bank BTPN Tbk dan sistim Digibank milik PT Bank DBS Indonesia.

Regulasi Dan Permasalahan Digital Bank.

Saat ini OJK sedang menggodok aturan2 regulasi untuk mengatur digital bank di Indonesia. OJK harus bergegas mengeluarkan aturan sebelum praktek2 digital banking di Indonesia berkembang.

Saat ini hanya ada Peraturan OJK No 12/POJK.03/2018 tentang Penyelenggaraan Layanan Perbankan Digital oleh Bank Umum. Layanan digital tersebut terdiri dari internet banking, phone banking, sms banking dan mobile banking. Aturan layanan perbankan digital oleh bank umum masih diatur dalam sub sektor bank umum.

 Selain itu ada lagi 2 peraturan OJK dan 2 peraturan Bank Indonesia yang mengatur usaha fintech. Semua aturan yang ada sekarang tentunya jauh dari memadai untuk mengatur bank digital.

Salah satu sektor yang perlu diperhatikan oleh OJK dalam membentuk aturan bank digital adalah cyber security data nasabah bank digital.
Sebagaimna kita ketahui bahwa bagi bank digital data nasabah merupakan urat nadi dari bisnisnya. Tapi  sejauh mana bank digital dapat melindungi data nasabahnya. Apalagi saat ini di Indonesia Undang2 Perlindungan Data Pribadi belum juga kelar2 digodog di DPR.
Sementara kejahatan dunia maya (cyber crime) seperti rekayasa social (social enginering), eksploitasi kerentanan perangkat lunak dan serangan jaringan terus berlangsung di tengah masyarakat.

Ibu Prameswara penyiar RRI Sorong mengalami penipuan dengan modus sosial engineering pada tanggal 6 Januari 2020, sehingga mengalami kerugian sebesar Rp 28 juta. Kejadiannya bermula ketika dia memesan makanan via Gofood dan membayar menggunakan Gopay. Setelah mengakses aplikasi tiba2 ada telpon masuk yang mengaku sebagai driver Gojek yang mengatakan aplikasi error, korban lalu diarahkan membayar dengan mobile banking atau ATM. Korban baru sadar tertipu setelah menerima sms banking yang melihat ada transaksi yang angkanya mencurigakan. Hal yang sama juga menimpa public figur Maia Entianty. Cyber crime dengan modus social engineering marak terjadi di masyarakat.

Ada lagi cyber crime yang mengeksploitasi kerentanan perangkat lunak, misalnya dengan cara skimming atau menduplikasi kartu kredit atau kartu debet. Misalnya terjadi terhadap puluhan nasabah BRI Kediri pada tahun 2018. Hal yang sama juga terjadi di Bank Mandiri Gresik pada Maret 2020 yang menimpa nasabah Ardhiana Yogie Savitri sshingga kehilangan uang di rekeningnya sejumlah Rp 18,7 juta.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun