Mohon tunggu...
Handra Deddy Hasan
Handra Deddy Hasan Mohon Tunggu... Pengacara - Fiat justitia ruat caelum

Advokat dan Dosen Universitas Trisakti

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Perceraian Massal di Bandung, akibat Pendemi Covid-19 ?

30 Agustus 2020   09:15 Diperbarui: 8 September 2020   19:46 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku Nikah  (Foto: Bening Air Telaga)

Alih2 menduga mereka lupa dengan tujuan perkawinan sebenarnya malah mereka tidak mempunyai tujuan perkawinan. Mereka menganggap melangsungkan perkawinan sebagai permainan saja. Perceraianpun mereka tempuh seenteng waktu melakukan pernikahan. Tamat sekolah, nganggur, ngapain lagi? Liat kiri kanan teman2 pada nikah, maka ikutan menikah tanpa tau apa makna dan tujuannya. Malah di daerah2 tertentu di Indonesia ditenggarai banyak yang melangsungkan perkawinan siri (tidak resmi) karena terlalu muda, tidak memenuhi persyaratan umur perkawinan. Ini salah satu dugaan Ramai Kasus Perceraian. 

Beberapa pakar lain mempunyai hipotesa bahwa tingginya angka perceraian karena kurang kuatnya ikatan perkawinan. Sedikit saja ada tekanan atas perkawinan bisa mengakibatkan perkawinan jadi bubar. Sebagaimana kita ketahui banyak tekanan terhadap perkawinan, mertua yang terlalu ikut campur, tindakan kasar, tekanan pekerjaan, masalah ekonomi, dll. 

Yang menonjol akhir2 ini adalah masalah ekonomi. Akibat pendemi covid 19 banyak yang kehilangan pekerjaan. Pengangguran menjadi faktor melonggarkan ikatan buhul perkawinan. Pendemi covid 19 tidak hanya menyebabkan ekonomi keluarga berantakan, tapi juga memperburuk komunikasi pasangan. 

Aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) mengakibatkan suami menjalani hari2nya di rumah. Biasanya minimal 8 jam suami atau isteri yang bekerja menghabiskan waktu di luar rumah. Berpisah dan tidak bertemu minimal 8 jam membuat pasangan punya waktu privasi dan menimbulkan kerinduan. 

Sehingga hubungan selalu dilingkupi perasaan mesra. Akibat PSBB waktu bersama2 lebih intens, bersama2 di dalam rumah dalam waktu relatif lama, jalan ke dapur ketemu, di ruang keluarga ketemu lagi, di kamar apalagi. Pola L 4 ( Lu lagi lu lagi) bagi sebagian orang membosankan, atau membuat stress. Akibatnya komunikasi menjadi buruk atau terjadi misskomunikasi. Salah satu pasangan atau kedua pasangan bisa saja lebih melo, lebih sensi daripada biasanya. Tekanan pola komunikasi membuat tekanan terhadap ikatan perkawinan menjadi genting, terancam putus. Akhirnya mengakibatkan Ramai nya Kasus Perceraian.

Kok bisa ya, tekanan ekonomi, tekanan komunikasi menyebabkan ikatan perkawinan bubar. Bukankah ikatannya telah terjalin kuat, sakral dengan melibatkan Tuhan. Apakah rasa keyakinan atas kekuatan Tuhan telah bergeser, tergerus menipis. Atau memang dari awal tidak ada motivasi untuk melibatkan Tuhan dalam janji perkawinan. Apakah ikatan perkawinan hanya sekedar ikatan transaksional belaka? Ada uang abang sayang, tak ada uang abang ditendang?

Perumusan Perkawinan ideal hanya ada dalam Undang?

Perumusan perkawinan dalam Pasal 1 Undang2 Perkawinan rasanya terlalu ideal bila dibandingkan dengan video viral perceraian massal. Apakah memang nilai2 yang luhur perkawinan yang terkandung dalam Undang Perkawinan telah hilang atau bergeser? Pada waktu dibuat pada tahun 1974 memang begitulah nilai perkawinan adanya. Tapi berjalannya waktu terjadi perubahan atau pergeseran sehingga materi Undang2 yang ada tidak sesuai lagi dengan nilai dalam masyarakat. Sehingga sudah saatnya dibuat perubahan Undang2 Perkawinan?

Undang2 seharusnya mengandung konten yang up date. Apakah Undang Perkawinan Indonesia sudah usang ?
Apakah fenomena percerain massal ini sebatas gejala lokal? Hanya terjadi sebatas di Kabupaten Bandung saja?
Apakah masyarakat telat untuk dewasa secara mental untuk menikah?
Apakah usia dewasa menikah harus dinaikkan dari 21 tahun? Apakah Masyarakat tidak difasilitasi untuk paham dan dewasa tentang perkawinan? Perlukah pendidikan khusus menyiapkan masyarakat untuk dewasa memasuki perkawinan? Mengingat pentingnya arti keluarga bagi bangsa, siapa yang bertanggung jawab secara khusus tentang lembaga Perkawinan?

Apakah memang ada dalam kenyataannya perkawinan ideal sesuai perumusan Undang2 tersebut atau itu hanya illusi belaka? Bisakah ditangkal Ramai nya Kasus Perceraian dengan merubah ketentuan Undang2?
Masih banyak pertanyaan yang bisa dilontarkan. Ruangan ini tentu tak berdaya untuk menjawabnya. Tindakan ekstrim untuk merubah Undang2 Perkawinan bukanlah langkah yang bijaksana tanpa penelitian yang mendalam.

Saya optimis dan yakin bahwa perkawinan ideal sesuai perumusan Pasal 1 Undang2 Perkawinan memang ada dan masih ada serta akan ada.
Bagaimana dengan anda?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun