Mohon tunggu...
Handra Deddy Hasan
Handra Deddy Hasan Mohon Tunggu... Pengacara - Fiat justitia ruat caelum

Advokat dan Dosen Universitas Trisakti

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Perceraian Massal di Bandung, akibat Pendemi Covid-19 ?

30 Agustus 2020   09:15 Diperbarui: 8 September 2020   19:46 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku Nikah  (Foto: Bening Air Telaga)

Perkawinan? 

Beberapa kalangan alergi dengan kata ini. Menurut mereka perkawinan artinya kehilangan kemerdekaan. Padahal satu2nya hak yang tidak tergantikan adalah kemerdekaan. Sah2 saja tentunya pendapat demikian. Apalagi bila dilihat dari satu sisi, perkawinan akan menimbulkan keterikatan dan merampas sebagian kemerdekaan diri.

Perbuatan melakukan ijab dan kabul ketika melangsungkan pernikahan merupakan perlambang kata sepakat yang melahirkan perjanjian (akad nikah). Perjanjian otomatis melahirkan hak dan kewajiban bagi masing2 pihak. Hak dan kewajiban merupakan nama lain dari keterikatan untuk saling memberi dan menerima. 

Silakan buka2 lagi buku nikah bagi yang sudah menikah, disana tertera hak dan kewajiban suami-istri. Tidak ada lagi kebebasan sepenuhnya, yang ada sekarang keinginan yang dikompromikan. Apalagi dalam perkawinan pengikatan yang diinginkan pengikatan lahir dan bathin. Tidak ada perjanjian yang dibuat manusia melebihi pengikatan perkawinan. Keterikatan dalam perkawinan tidak hanya secara pisik juga secara bathin. Hanya rasa cinta yang bisa mendorong manusia untuk melakukannya.

Pertanyaan berikutnya mengapa orang mau terikat? Padahal perjanjian (dibaca ;perkawinan) jelas2 merupakan ikatan yang akan menghilangkan kemerdekaan. Perkawinan akan menghalangi kebebasan. Tentunya ada tujuan dibalik keterikatan lahir dan bathin tersebut.Tujuan yang mempunyai nilai lebih besar dari hanya sekedar kemerdekaan. 


Tujuannya adalah untuk membentuk "keluarga yang bahagia". Ternyata kemerdekaan itu sesungguhnya hanyalah sekedar alat. Alat akan berguna jika difungsikan. Pada kenyataannya kemerdekaan tidak pernah hilang dalam ikatan perkawinan. Justru kemerdekaan sedang menjalani fitrahnya untuk menciptakan tujuan, yaitu kebahagiaan.

Tuhan telah menciptakan segala sesuatu di di dunia berpasangan, siang dengan malam, kejahatan dengan kebaikan, dingin dengan panas, jantan dengan betina, pria dengan wanita, suami dengan isteri, demikian seterusnya, bahkan kebahagiaan sendiri punya pasangannya kesedihan. Kenapa berpasangan? 

Untuk merubah kelemahan masing2 menjadi kekuatan. Melengkapi kesempurnaan penciptaan. Suami membutuhkan isteri sebagai pasangan untuk melengkapi penciptaan, begitu sebaliknya. Suami membutuhkan isteri sebagai pasangan untuk menjaga kontinyunitas makhluk manusia di dunia. Eksistensi manusia tetap ada di muka bumi berkat adanya pasangan suami dan isteri.

Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat. Ibarat bangunan yang tersusun dari batu-bata. Keluarga merupakan batu-
bata dari bangunan yang dinamakan masyarakat. Peranan batu-bata sangat signifikan menentukan kekokohan bangunan. Keluarga berperanan besar menentukan kualitas masyarakat. Suatu masyarakat yang terbentuk dari kualitas keluarga yang bobrok, tidak bisa diharapkan menciptakan masyarakat yang ideal.

Rasa percaya individu membentuk keluarga untuk mencapai kebahagiaan akhirnya memfungsikan kemerdekaan yang dimilikinya. Rasa percaya individu berubah jadi rasa percaya kolektif ketika keluarga bertransformasi menjadi masyarakat. Kehadiran rasa percaya tersebut akan menciptakan kekuatan besar untuk diarahkan ke kebajikan sehingga menghasilkan kebahagiaan dengan level yang lebih tinggi. Makanya banyak yang berpendapat bahwa kumpulan keluarga2 yang bahagia akan mewujudkan masyarakat yang makmur dan sejahtera.

Kebahagiaan yang dicari apakah temporer, yang hanya bertahan sementara ? Tidak sama sekali. Kebahagiaan yang dicari dalam membentuk keluarga untuk selama2nya, kebahagiaan yang kekal. Untuk apa memandulkan kemerdekaan demi kebahagiaan sesaat. Hanya binatang yang berhubungan untuk kesenangan sekejap. Manusia menginginkan lembaga perkawinan dapat menghadirkan kebahagiaan selama hayat dikandung badannya.

Apakah cukup segitu saja? Masih belum cukup. Keterikatan yang dibuat antara sesama manusia lemah. Kekuatannya kekurangan daya menemukan kebahagiaan yang langgeng. Manusia membutuhkan kekuatan lain selain kekuatan dirinya untuk mencapai kebahagiaan yang kekal. 

Manusia membutuhkan kekuatan yang dahsyat, kekuatan yang jauh melebihi kekuatan dirinya. Mau tak mau, tak ada pilihan lain. Kehadiran yang Maha Kuasa sangat dibutuhkan bantuannya. Manusia berharap menghadirkan Tuhan agar bisa mewujudkannya. Perjanjian yang awalnya lemah menjadi bertenaga dengan melibatkan Tuhan. Makanya perkawinan demi Tuhan yang Maha Esa. Bukan demi harta kekayaan yang berlimpah, atau demi kecantikan, ketampanan yang fana.

Semua prolog tersebut diatas, dirumuskan, dirangkum dalam kalimat yang singkat, padat oleh Pembuat Undang2 dalam Pasal 1 Undang2 No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang dikutip secara lengkap ;

"Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".

Saya yakin tidak banyak yang telah membaca rumusan perkawinan yang termaktub dalam pasal 1 Undang2 Perkawinan baik bagi mereka yang sudah menikah, maupun yang belum. Makanya sengaja saya kutip secara utuh untuk memberikan kesempatan untuk membacanya.
Pembuat Undang2 tidak mengutip kata2 Pasal 1 Undang2 Perkawinan dari langit. Mereka merumuskan pasal tersebut dari jalinan yang berkulindan dari berbagai aspek diantaranya aspek sosial, budaya, agama, adat, kepercayaan, politik dan ekonomi.

Pasal 1 Undang2 Perkawinan lahir dari nilai2 unik yang dianut dan dipercayai orang Indonesia. Sekaligus merupakan cerminan jernih pandangan masyarakat Indonesia tentang perkawinan. Walaupun semua masyarakat dunia mengenal lembaga perkawinan, tapi mereka akan mempunyai makna yang berbeda terhadap lembaga yang sama. 

Perkawinan bagi bangsa India pasti berbeda makna bila dibandingkan makna perkawinan bangsa Jerman. Makanya merumuskan ketentuan Undang2 yang sesuai dengan aspirasi bangsa bukanlah perkara mudah. Butuh waktu, penelitian, pengetahuan, pendalaman, keahlian, ketelitian agar Undang2 sempurna. Undang2 yang sempurna, penegakannya pada waktu diberlakukan terasa tidak dipaksakan. Aturan yang tertuang dalam pasal2 terasa merupakan bagian dari nilai bangsa tersebut. Terkonfirmasi alias klop sesuai dengan keinginan dan cita2 masyarakat dimana Undang2 tersebut berlaku.

Perceraian massal.

Minggu yang lalu, di jagad media sosial viral video antrean panjang orang2 yang bermaksud bercerai. Ada fenomena baru Ramai Kasus Perceraian. Berita ini kemudian menjadi headline di media2 mainstream baik tulis maupun media elektronik di Indoneaia. Biasanya kita mengenal nikah massal, kali ini pada tanggal 24 Aguatus 2020 dipertontonkan perceraian massal di Pengadilan Agama Soreang, Kabupaten Bandung. Ada apa? Kok tiba2 Ramai Kasus Perceraian?

Halaman pengadilan penuh sesak oleh pihak2 yang akan dan yang sedang proses bercerai. Menurut Suharja, Humas Pengadilan Agama Soreang ada 246 perkara gugatan dan permohonan cerai hari itu. Gilak. Ini bisa jadi angka rekor perceraian dunia. Ada apa? Apakah mereka pada lupa bahwa perkawinan untuk hidup bersama, kekal selama2nya?. Atau pada waktu menikah dulu mereka memang tidak berniat untuk selamanya? Kenapa Ramai Kasus Perceraian ? 

Beberapa pakar perkawinan memberikan analisa dengan mengatakan banyak perkawinan yang dilakukan dalam usia sangat muda di Indonesia. Ketidak dewasaan membuat pasangan tidak mempunyai pengetahuan yang cukup untuk memahami tujuan perkawinan. 

Pasal 6 (2) UU Perkawinan mengatur umur 21 tahun untuk menikah. Nampaknya usia 21 tahun masih belum dewasa untuk melangsungkan pernikahan. Mungkin usia biologis sudah dewasa, tapi secara mental belum cukup dewasa. Ada kesenjangan kualitas kedewasaan antara usia biologis dengan mental.

Alih2 menduga mereka lupa dengan tujuan perkawinan sebenarnya malah mereka tidak mempunyai tujuan perkawinan. Mereka menganggap melangsungkan perkawinan sebagai permainan saja. Perceraianpun mereka tempuh seenteng waktu melakukan pernikahan. Tamat sekolah, nganggur, ngapain lagi? Liat kiri kanan teman2 pada nikah, maka ikutan menikah tanpa tau apa makna dan tujuannya. Malah di daerah2 tertentu di Indonesia ditenggarai banyak yang melangsungkan perkawinan siri (tidak resmi) karena terlalu muda, tidak memenuhi persyaratan umur perkawinan. Ini salah satu dugaan Ramai Kasus Perceraian. 

Beberapa pakar lain mempunyai hipotesa bahwa tingginya angka perceraian karena kurang kuatnya ikatan perkawinan. Sedikit saja ada tekanan atas perkawinan bisa mengakibatkan perkawinan jadi bubar. Sebagaimana kita ketahui banyak tekanan terhadap perkawinan, mertua yang terlalu ikut campur, tindakan kasar, tekanan pekerjaan, masalah ekonomi, dll. 

Yang menonjol akhir2 ini adalah masalah ekonomi. Akibat pendemi covid 19 banyak yang kehilangan pekerjaan. Pengangguran menjadi faktor melonggarkan ikatan buhul perkawinan. Pendemi covid 19 tidak hanya menyebabkan ekonomi keluarga berantakan, tapi juga memperburuk komunikasi pasangan. 

Aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) mengakibatkan suami menjalani hari2nya di rumah. Biasanya minimal 8 jam suami atau isteri yang bekerja menghabiskan waktu di luar rumah. Berpisah dan tidak bertemu minimal 8 jam membuat pasangan punya waktu privasi dan menimbulkan kerinduan. 

Sehingga hubungan selalu dilingkupi perasaan mesra. Akibat PSBB waktu bersama2 lebih intens, bersama2 di dalam rumah dalam waktu relatif lama, jalan ke dapur ketemu, di ruang keluarga ketemu lagi, di kamar apalagi. Pola L 4 ( Lu lagi lu lagi) bagi sebagian orang membosankan, atau membuat stress. Akibatnya komunikasi menjadi buruk atau terjadi misskomunikasi. Salah satu pasangan atau kedua pasangan bisa saja lebih melo, lebih sensi daripada biasanya. Tekanan pola komunikasi membuat tekanan terhadap ikatan perkawinan menjadi genting, terancam putus. Akhirnya mengakibatkan Ramai nya Kasus Perceraian.

Kok bisa ya, tekanan ekonomi, tekanan komunikasi menyebabkan ikatan perkawinan bubar. Bukankah ikatannya telah terjalin kuat, sakral dengan melibatkan Tuhan. Apakah rasa keyakinan atas kekuatan Tuhan telah bergeser, tergerus menipis. Atau memang dari awal tidak ada motivasi untuk melibatkan Tuhan dalam janji perkawinan. Apakah ikatan perkawinan hanya sekedar ikatan transaksional belaka? Ada uang abang sayang, tak ada uang abang ditendang?

Perumusan Perkawinan ideal hanya ada dalam Undang?

Perumusan perkawinan dalam Pasal 1 Undang2 Perkawinan rasanya terlalu ideal bila dibandingkan dengan video viral perceraian massal. Apakah memang nilai2 yang luhur perkawinan yang terkandung dalam Undang Perkawinan telah hilang atau bergeser? Pada waktu dibuat pada tahun 1974 memang begitulah nilai perkawinan adanya. Tapi berjalannya waktu terjadi perubahan atau pergeseran sehingga materi Undang2 yang ada tidak sesuai lagi dengan nilai dalam masyarakat. Sehingga sudah saatnya dibuat perubahan Undang2 Perkawinan?

Undang2 seharusnya mengandung konten yang up date. Apakah Undang Perkawinan Indonesia sudah usang ?
Apakah fenomena percerain massal ini sebatas gejala lokal? Hanya terjadi sebatas di Kabupaten Bandung saja?
Apakah masyarakat telat untuk dewasa secara mental untuk menikah?
Apakah usia dewasa menikah harus dinaikkan dari 21 tahun? Apakah Masyarakat tidak difasilitasi untuk paham dan dewasa tentang perkawinan? Perlukah pendidikan khusus menyiapkan masyarakat untuk dewasa memasuki perkawinan? Mengingat pentingnya arti keluarga bagi bangsa, siapa yang bertanggung jawab secara khusus tentang lembaga Perkawinan?

Apakah memang ada dalam kenyataannya perkawinan ideal sesuai perumusan Undang2 tersebut atau itu hanya illusi belaka? Bisakah ditangkal Ramai nya Kasus Perceraian dengan merubah ketentuan Undang2?
Masih banyak pertanyaan yang bisa dilontarkan. Ruangan ini tentu tak berdaya untuk menjawabnya. Tindakan ekstrim untuk merubah Undang2 Perkawinan bukanlah langkah yang bijaksana tanpa penelitian yang mendalam.

Saya optimis dan yakin bahwa perkawinan ideal sesuai perumusan Pasal 1 Undang2 Perkawinan memang ada dan masih ada serta akan ada.
Bagaimana dengan anda?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun