Mohon tunggu...
Hanom Bashari
Hanom Bashari Mohon Tunggu... Freelancer - wallacean traveler

Peminat dan penikmat perjalanan, alam, dan ceritanya

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Apakah Ada yang Mencari Kita Nanti?

4 Desember 2020   17:31 Diperbarui: 4 Desember 2020   18:24 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Teluk Tahuna dari bukit Langaneng (@HB) | dokpri

Saat itu kami cukup beruntung. Kami katakan beruntung, karena memang kemudahan-kemudahan yang Allah berikan bukanlah hasil rencana matang yang kami lakukan. Kami bertemu orang di kapal yang sangat baik, dan menawarkan tempat sementara kami tinggal di Manado. Kemudian kami bertemu senior sewaktu kami kuliah, dan di tempat kos inilah kami biasa numpang tinggal saat ke Manado. Semua seperti berjalan lancar tanpa perlu perencanaan matang.

Saat malam, teman saya menyatakan untuk kembali ke Sangihe esok sorenya, ikut jadwal kapal laut yang tersedia. Nah, saya sendiri kembali bingung, apa yang akan saya lakukan selama seminggu di Manado nanti, sendirian. Ide cemerlang munculah dari teman saya, “ayo ikut ke Sangir”. Bak dapat ilham di siang bolong, saya pun langsung mengiyakan. Jadilah sepakat, kami bersama ke Sangihe esok sore.

Sangihe atau Sangir, adalah sebuah pulau kecil, sekitar 250 km di utara Manado, yang masih menjadi bagian Provinsi Sulawesi Utara. Untuk mencapai ke sana, terdapat kapal yang hampir tiap hari pulang pergi Manado – Sangihe, berangkap setiap selepas maghrib dan akan tiba sekitar subuh di Pelabuhan Tahuna, Sangihe, begitu juga sebaliknya. Kalau sedikit berduit, ada juga pesawat kecil dari Bandara Sam Ratulangi Manado menuju Bandara Naha Sangihe, tentu tidak setiap hari.

Setelah membeli tiket kelas ekonomi di Pelabuhan Manado di pagi hari, kami pun menyiapkan perbekalan. Jam 5 sore kami sudah tiba di Pelabuhan, sedikit melihat sekeliling Pelabuhan yang asing bagi saya, dan kemudian masuk ke dek kapal untuk mencari lokasi nomor tempat tidur kami.

Jangan membayangkan ini adalah kapal Pelni seperi KM Ciremai, atau kapal-kapal ferry ASDP. Ini adalah kapal nanggung. Mungkin kalau bis, ini tergolong bis tiga perempat-nya metro mini. Tapi kapal ini Sudah dibuat dengan kontruksi besi dan terlihat kokoh. Namun entah berapa kapasitas kapal ini, mungkin dapat mencapai 200 penumpang lebih. Inilah pertama kali saya menaiki kapal penumpang model seperti ini.

Sesungguhnya tidak ada yang namanya kelas ekonomi, kelas 1, 2 dan seterusnya di kapal ini. Semua kelas ya kelas ekonomi. Di dalam dek kapal, berjejer rapi tempat tidur tingkat dua, dari besi, berpasang-pasangan sehingga satu pasang dapat ditempat oleh 4 penumpang. Semua tempat tidur berkasur, bernomor, dan dipasang paten pada lantai dek sehingga tidak dapat bergerak apalagi dipindahkan. Bayangkan jika dapat bergerak, saat menghadapi ombak bergulung, tentu ruang dek ini bisa jadi seperti arena bombomkar di Dufan sana.

Saat magrib tiba, kami mulai gelisah. Sholat maghrib di mana ini. Mau cari mushola atau masjid di Pelabuhan, jangan-jangan nanti ketinggalan kapal, berabe. Tapi sepertinya tidak ada mushola di kapal ini. Untunglah Alhamdulillah sebelah kami ternyata juga muslim. Mereka sholat duduk di kasur tempat tidur mereka. Ya, mungkin ini pilihan paling pas, daripada keluar namun hati was-was.

Tak seberapa lama selepas maghrib, berangkatlah kapal. Semua penumpang segera merapat di kasur masing-masing. Dan sial, di akhir sampai awal tahun di sini dikenal dengan istilah musim barat. Sebutan untuk waktu ketika angin dari arah daratan Asia (barat laut) yang lebih dingin, meluncur ke daerah lebih panas di daratan Australia. Belum lagi, angin dan ombak ketika keluar atau memasuki teluk Manado memang terkenal ganas. Ombak bergulung inilah yang menghantam kapal kami hanya sesaat setelah keluar Pelabuhan Manado.

Saya berusaha tenang. Ini memang pengalaman saya pertama bergulung dengan ombak di dalam kapal. Saya berusaha tidur, walau tentu belum bisa tertidur, karena masih terlalu sore. Beberapa penumpang lain tampak santai duduk dan ngobrol dalam hempasan gelombang ini. Sebagian lagi terlihat berbaring diam. Saya juga berbaring diam, tapi tentu sambal berdoa, semoga subuh segera tiba.

Saat itu memang sedikit menyeramkan bagi saya. Tapi alhamdulillah semua terlewati aman-aman saja. Bahkan saat itu saya tidak berpikir, bahwa suatu saat, kejadian dan pengalaman ini, akan berkali-kali saya hadapi dan alami lagi di dalam perjalanan lainnya.

Teluk Tahuna dari bukit Langaneng (@HB) | dokpri
Teluk Tahuna dari bukit Langaneng (@HB) | dokpri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun