Mohon tunggu...
Darrel Rondo
Darrel Rondo Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - CC'26

saya senang berpikir tentang berpikir dan juga tidur siang

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Apakah Ada yang Namanya Hati Nurani?

26 Maret 2024   18:46 Diperbarui: 26 Maret 2024   18:48 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Religion Dispatches

Hati nurani adalah sebuah konsep yang sangat familiar dalam kehidupan kita. Saya rasa setiap dari kita telah dididik dengan persepsi bahwa semua individu memiliki sebuah hati nurani. Pemahaman tersebut juga diiringi dengan wacana bahwa hati nurani tersebut sudah ada secara inheren. Ia dipahami sebagai suatu innate grace yang kelak menjadi kompas moral manusia.

Anggapan ini saya tidak terlalu permasalahkan saat kecil. Namun, saya kini agaknya memiliki pendapat yang berbeda. Pada hemat saya, hati nurani ini saya pandang sebagai suatu produk kombinasi yang unik. Pada artikel ini, saya akan mencoba membahas opini saya tentang asal-muasal dan perkembangan "hati nurani" yang tampak sebagai sesuatu yang innate bagi setiap manusia.

Pertama-tama, saya setuju pada pendapat para empiricist yang menyatakan bahwa manusia lahir dalam kondisi tabula rasa. Kondisi ini berarti setiap manusia hadir ke dalam dunia sebagai secarik kertas yang kosong. Segala pengetahuan kita tentang hidup dan realitas didapatkan lewat pengalaman seusai lahir. Hal ini dikarenakan kesadaran manusia juga muncul saat ia hadir ke dalam dunia. 

Sejauh para genetikawan mencari pula mereka sepakat bahwa tidak mungkin ada yang namanya innate knowledge tentang apapun itu (moralitas, fisika, dll.). Manusia hadir ke dalam dunia hanya dengan cetak biru genetikanya saja. Pelepasan potensi genetik juga tidak absolut, bahkan kontingen terhadap kondisi lingkungan dan kebiasaan hidup sang individu itu sendiri.

Konsepsi moral manusia dengan itu dikonstruksi oleh lingkungan sosial. Pertama, manusia dikodekan oleh keluarganya yang menjadi kerabat manusia terdekat sejak kecil. Saya yakin para pembaca saat masih berusia belia diajarkan oleh orang tua Anda masing-masing tentang hal apa yang baik dan buruk. 

Demikian juga saya dan manusia lain yang ada di muka bumi ini. Pengkodean moral saya sebut juga dengan penetapan norma di dalam seorang individu. Alasannya adalah nilai moral yang menjelma dalam norma konkret perlahan akan mengkristal dalam diri individu.

Manusia memiliki dua alam kesadaran. Pertama, manusia punya apa yang disebut alam kesadarannya yang memungkinkan mereka beroperasi dalam konteks kebebasan. Namun, alam bawah sadar manusia juga harus diperhatikan sebaga suatu lokus yang mengarahkan opsi bagi kebebasan alam sadar. Nilai moral yang telah ditanam sejak kecil akan mengejawantah sebagai "hati nurani" dalam alam bawah sadar manusia. 

Dengan begitu, suatu dorongan opsi tampak sebagai sesuatu yang alamiah hanya karena nilai-nilai nurani tersebut telah dikodekan sejak dahulu, jauh sebelum kita ditatoi nilai apapun. Begitulah kira-kira definisi hati nurani menurut mazhab konstruksi sosial. 

Saya merasa lebih puas dengan penjelasan tersebut ketimbang asumsi bahwa hati nurani bersifat innate tetapi saya rasa masih ada yang janggal. Mensituasikan perkembangan moral seseorang seakan membuka peluang bagi suatu individu untuk menjadi seorang psikopat seumur hidup. Bayangkan ada seorang bayi yang tumbuh di dalam lingkungan kriminal. Asal ia kukuh bak seorang penganut agama, ia dapat terus berjalan dengan kompas nurani yang jahat dan kejam.

Melihat kemungkinan ini, saya rasa bahwa ada satu unsur penting yang menjadikan manusia manusiawi. Saya percaya bahwa setiap dari kita mempunyai kapasitas empati. 

Bagi saya, empati tak sekadar melihat secara prihatin kondisi manusia lain. Empati adalah suatu tindakan melihat kondisi manusia lain melalui lensa manusia tersebut, bukan lensa pribadi kita, lalu meproyeksikan pengalaman orang lain itu ke dalam diri kita. Manusia yang satu dengan yang lainnya memiliki bentuk ekspresi keberadaan yang sama. Hal ini memampukan kita membayangkan kalau bencana yang dialami teman kita dialami oleh diri kita pada kemudian hari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun