Mohon tunggu...
Hanom Bashari
Hanom Bashari Mohon Tunggu... Freelancer - wallacean traveler

Peminat dan penikmat perjalanan, alam, dan ceritanya

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Apakah Ada yang Mencari Kita Nanti?

4 Desember 2020   17:31 Diperbarui: 4 Desember 2020   18:24 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Teluk Tahuna dari bukit Langaneng (@HB) | dokpri

Menjelang sore pada bulan November 2000 saya tiba di Manado dari Kotamobagu. Perjalanan sekitar 4 jam lebih untuk menempuh 180 km, menggunakan mobil travel minibus yang berdesakan. Kaki kami menekuk selama perjalanan, karena ruang duduk dipersempit oleh pemilik kendaraan, untuk memperbesar ruang bagasi di belakang. Istirahat makan satu kali di tengah perjalanan, akhirnya perjalanan menuju Manado selesai.

Manado merupakan kota pantai indah dengan dataran dekat pantai yang tidak terlalu lebar, menghadap ke barat, dipadu dengan permukiman di perbukitan sebelah timurnya. Dahulu, pantai Boulevard-nya sangat terkenal. Muda-mudi kere dapat nongkrong di situ sambil pesan saraba dan gorengan, duduk-duduk di pembatas pantai dan jalan yang sengaja dibuat sebagai lokasi santai oleh Pemerintah Kota saat itu. Kala itu, pantai dan pemandangan sunset masih milik umum. Pulau Manado Tua nun di seberang sana, terlihat jernih dari Boulevard.

Gereja Sentrum adalah patokan saya setiap berhenti menggunakan travel dari Kotamobagu ke Manado saat itu. Gereja yang selalu tampak tua ini memang merupakan gereja tertua di Manado. Konon dibangun sejak tahun 1677, tiga abad lebih umurnya. Gereja yang pernah bernama Oude Kerk (Gereja Besar) Manado ini, telah menjadi saksi sejarah kota ini, melewati berbagai pertempuran dalam perang dunia kedua, pernah hancur karena perang, kemudian dibangun kembali.

Nah, saya sendiri berhenti tepat di depan kedai KFC kecil di samping Gereja Sentrum, kemudian memasuki gang kecil berportal, sisi selatan gereja ini. Saya menuju rumah kosan senior kuliah saya dahulu, tempat biasa saya menumpang-inap ketika di Manado. Sekitar 50 meter sebelum sampai, saya lihat di balkon rumah kosan yang saya tuju, teman saya yang satu Kapal Pelni dahulu ketika menuju Manado ini, sedang duduk termenung. Sampai saya mendekat di depan kosan tersebut, dia tidak melihat saya.

Waktu itu, dia mendapat tugas di Tahuna, Kabupaten Sangihe Talaud (saat ini sudah menjadi Kabupaten Sangihe saja), sedangkan saya bertugas ke Kotamobagu, Kabupaten Bolaang Mongondow. Ini pertemuan pertama setelah hampir tiga bulan kami tidak pernah bertemu dalam perantauan. Handphone saat itu sudah mulai muncul, tapi tentu saja kami yang pas-pasan ini belum memilikinya. Jadi praktis, kami tidak dapat berkomunikasi.

Saya naik ke lantai atas menuju balkon dan akhirnya menyapa dia. Luar biasa senang dia. Singkat cerita, akhirnya saya tahu, kenapa dia begitu senang melihat saya waktu itu. Jelas bukan karena rindu lama tak bersua, namun karena saat itu tanggal tanggung bulan, waktu gajian kami masih lama namun keuangan telah menipis. Jadilah saya sasaran “pemalakan” olehnya saat itu. Untunglah, alhamdulillah, saya lagi ada kelebihan.

Sebenarnya kedatangan saya ke Manado benar-benar tidak ada urusan apa-apa. Saya hanya ada waktu untuk “membolos kantor” dan tak ada dalam pikiran saya saat itu untuk pergi ke tempat lain sebagai pelarian, selain Manado. Hanya di sinilah saya kenal orang lain, selain di Kotamobagu tempat saya bekerja.

Jadi ceritanya, sebenarnya saya sedang ditugaskan oleh pimpinan tepat saya bekerja untuk mendampingi perjalanan sebuah instansi pemerintah dari Manado untuk melakukan pekerjaan di area Bolaang Mongondow bagian utara (sekarang menjadi Kabupaten Bolaang Mongondow Utara). Saya tentu dengan polos senang hati ikut karena akan turun ke lapangan. Namun tanpa disangka, kerja yang jadwal seharusnya dua pekan, tidak sampai sepekan sudah dianggap selesai. Kami pun kembali ke Kotamobagu. Di kemudian hari, beberapa tahun setelahnya, saya baru sadar bahwa keadaan ini adalah salah satu modus “korupsi” yang paling lazim terjadi di instasi pemerintah. Efek korupsi ini, saya tidak akan bahas.

Sebelum berangkat, Saya diberikan uang yang cukup banyak menurut saya waktu itu, karena melebihi jumlah gaji saya sebulan. Jumlah pasti yang seharusnya diterima, saya sendiri tidak tahu. Setelah pekerjaan dinyatakan selesai (yang hanya beberapa hari itu), saya kembali diberikan uang. Saya tidak tahu sebenarnya, alokasi apa lagi saya diberi dua kali uang ini. Ya saat itu, tentu saya terima semuanya dengan bingung tapi senang.

Setelah tim kembali ke Manado, kemudian sayalah yang mulai bingung. Saya mau kembali ke kantor esok hari, namun saya sudah izin pergi dua pekan. Bahkan kepala tim kami sempat bilang sebelumnya, sebaiknya memang saya tidak masuk kantor sampai tanggal tugas telah selesai. Jika saya pulang ke kos, tapi ada bapak kos yang juga bekerja di kantor yang sama dengan saya. Maka pelarian yang paling terpikir oleh saya saat itu, saya harus ke Manado juga, menghabiskan sisa hari yang seharusnya saya berada di lapangan, dan nanti kembali ke kantor, tepat sesuai jadwal. Okelah, saya lagi banyak uang saat itu.

Kembali bersama teman saya. Setelah kami puas makan, jalan-jalan sedikit, beli Tabloid Bola untuk update posisi klasmen liga-liga dunia, akhirnya kami kembali ke kosan tadi. Sebenarnya, senior  kami yang kos tersebut sedang tugas luar, sehingga tidak akan pulang dalam beberapa hari. Untungnya, kami mendapat kunci cadangan kamar sehingga dapat puas-puas beristirahat gratis.

Saat itu kami cukup beruntung. Kami katakan beruntung, karena memang kemudahan-kemudahan yang Allah berikan bukanlah hasil rencana matang yang kami lakukan. Kami bertemu orang di kapal yang sangat baik, dan menawarkan tempat sementara kami tinggal di Manado. Kemudian kami bertemu senior sewaktu kami kuliah, dan di tempat kos inilah kami biasa numpang tinggal saat ke Manado. Semua seperti berjalan lancar tanpa perlu perencanaan matang.

Saat malam, teman saya menyatakan untuk kembali ke Sangihe esok sorenya, ikut jadwal kapal laut yang tersedia. Nah, saya sendiri kembali bingung, apa yang akan saya lakukan selama seminggu di Manado nanti, sendirian. Ide cemerlang munculah dari teman saya, “ayo ikut ke Sangir”. Bak dapat ilham di siang bolong, saya pun langsung mengiyakan. Jadilah sepakat, kami bersama ke Sangihe esok sore.

Sangihe atau Sangir, adalah sebuah pulau kecil, sekitar 250 km di utara Manado, yang masih menjadi bagian Provinsi Sulawesi Utara. Untuk mencapai ke sana, terdapat kapal yang hampir tiap hari pulang pergi Manado – Sangihe, berangkap setiap selepas maghrib dan akan tiba sekitar subuh di Pelabuhan Tahuna, Sangihe, begitu juga sebaliknya. Kalau sedikit berduit, ada juga pesawat kecil dari Bandara Sam Ratulangi Manado menuju Bandara Naha Sangihe, tentu tidak setiap hari.

Setelah membeli tiket kelas ekonomi di Pelabuhan Manado di pagi hari, kami pun menyiapkan perbekalan. Jam 5 sore kami sudah tiba di Pelabuhan, sedikit melihat sekeliling Pelabuhan yang asing bagi saya, dan kemudian masuk ke dek kapal untuk mencari lokasi nomor tempat tidur kami.

Jangan membayangkan ini adalah kapal Pelni seperi KM Ciremai, atau kapal-kapal ferry ASDP. Ini adalah kapal nanggung. Mungkin kalau bis, ini tergolong bis tiga perempat-nya metro mini. Tapi kapal ini Sudah dibuat dengan kontruksi besi dan terlihat kokoh. Namun entah berapa kapasitas kapal ini, mungkin dapat mencapai 200 penumpang lebih. Inilah pertama kali saya menaiki kapal penumpang model seperti ini.

Sesungguhnya tidak ada yang namanya kelas ekonomi, kelas 1, 2 dan seterusnya di kapal ini. Semua kelas ya kelas ekonomi. Di dalam dek kapal, berjejer rapi tempat tidur tingkat dua, dari besi, berpasang-pasangan sehingga satu pasang dapat ditempat oleh 4 penumpang. Semua tempat tidur berkasur, bernomor, dan dipasang paten pada lantai dek sehingga tidak dapat bergerak apalagi dipindahkan. Bayangkan jika dapat bergerak, saat menghadapi ombak bergulung, tentu ruang dek ini bisa jadi seperti arena bombomkar di Dufan sana.

Saat magrib tiba, kami mulai gelisah. Sholat maghrib di mana ini. Mau cari mushola atau masjid di Pelabuhan, jangan-jangan nanti ketinggalan kapal, berabe. Tapi sepertinya tidak ada mushola di kapal ini. Untunglah Alhamdulillah sebelah kami ternyata juga muslim. Mereka sholat duduk di kasur tempat tidur mereka. Ya, mungkin ini pilihan paling pas, daripada keluar namun hati was-was.

Tak seberapa lama selepas maghrib, berangkatlah kapal. Semua penumpang segera merapat di kasur masing-masing. Dan sial, di akhir sampai awal tahun di sini dikenal dengan istilah musim barat. Sebutan untuk waktu ketika angin dari arah daratan Asia (barat laut) yang lebih dingin, meluncur ke daerah lebih panas di daratan Australia. Belum lagi, angin dan ombak ketika keluar atau memasuki teluk Manado memang terkenal ganas. Ombak bergulung inilah yang menghantam kapal kami hanya sesaat setelah keluar Pelabuhan Manado.

Saya berusaha tenang. Ini memang pengalaman saya pertama bergulung dengan ombak di dalam kapal. Saya berusaha tidur, walau tentu belum bisa tertidur, karena masih terlalu sore. Beberapa penumpang lain tampak santai duduk dan ngobrol dalam hempasan gelombang ini. Sebagian lagi terlihat berbaring diam. Saya juga berbaring diam, tapi tentu sambal berdoa, semoga subuh segera tiba.

Saat itu memang sedikit menyeramkan bagi saya. Tapi alhamdulillah semua terlewati aman-aman saja. Bahkan saat itu saya tidak berpikir, bahwa suatu saat, kejadian dan pengalaman ini, akan berkali-kali saya hadapi dan alami lagi di dalam perjalanan lainnya.

Pagi hari yang cerah, tibalah kami di Tahuna, ibukota Kabupaten Sangihe-Talaud (saat itu). Kota kecil dalam teluk kecil yang tenang dan berbentuk hampir persegi. Rumah-rumah penduduk di tepi pantai. Hamparan pasir pantai tidak terlalu terlihat, menandakan teluk ini cukup dalam. 

Suatu saat nanti saya baru tahu, setelah akhirnya saya kembali ke pulau ini bertahun-tahun kemudian beberapa kali, bahwa Sangihe ini sungguh luar biasa. Pulau yang penuh dengan sejarah geologi, biodiversity, dan budaya. 

Salah satu pulau terpenting di dunia dalam bidang ornithology. Pulau kecil dengan dua gunung api, satu masih aktif, satunya lagi merupakan gunung api purba yang kawahnya telah menjadi permukiman.  Gunung api purba inilah, tempat suatu saat nanti saya berkunjung dan menelusuri setiap lembah-lembahnya.

Kami berdua naik angkot menuju tempat kos teman saya, di daerah Akembuala, Desa Santiago, sedikit ke utara dari Teluk Tahuna. Tepat di depan masjid di pinggir lapangan sepakbola, kami berhenti. Kemudian menyeberang lapangan dan tiba di rumah kosan teman saya.

Alhamdulillah ternyata teman saya juga mendapat kos pada sebuah rumah dalam keluarga muslim, dengan anggota keluarga yang ramah dan hangat. Kami ngobrol ringan. Ibu pemilik rumah yang sangat ramah, dan anak-anaknya yang hampir seumuran kami juga sangat baik.

Hari-hari saya di Sangihe cukup menyenangkan. Tidak salah saya memutuskan untuk ke sini mengisi waktu. Hari terakhir, Kami sempat pergi ke kebun durian keluarga, makan durian lokal yang luar biasa enak. Ya, durian jatuhan pohon memang selalu enak, apapun jenisnya dan dimanapun.  

Teman saya yang satu ini memang selalu punya pikiran-pikiran baik untuk kebahagiaan orang lain. Karena saya akan kembali ke Manado esok hari, maka tak lupa dia membungkuskan beberapa buah durian untuk dititipkan ke senior kami, yang tempat kos-nya selalu kami gunakan jika ke Manado.

Satu hal yang saya ingat ketika akan membeli tiket kembali ke Manado di Pelabuhan. Kami berdiri di dermaga. Kami berada di negeri asing yang tidak pernah sebelumnya kami pikirkan sebelumnya, bahkan tidak pernah mendengar atau terlintas dalam angan-angan sekalipun. Angin barat memang sangat kencang dan terasa di Pelabuhan ini. Tak jauh dari dermaga bahkan terlihat onggokan kapal kayu yang tenggelam atau sengaja ditenggelamkan, sepertinya telah lama. Hanya sedikit bagian kapal yang terliat di permukaan air, itupun sudah tak berbentuk.

Kami berbincang. “Jika sewaktu kita berangkat dari Manado lalu, kapal kita tenggalam, apa yang terjadi dengan keluarga kita ya”. Teman saya ke Manado dari Tahuna beberapa hari lalu itu, tanpa bilang kapan akan kembali. Sedangkan saya ke Manado juga tidak ada yang tahu, teman sekantor hanya tahu saya ke lapangan di daerah Bolaang Mongondow. Sedangkan di tempat kosan senior kami di Manado, karena dia tidak ada saat itu, maka tidak ada juga yang tahu bahwa kami berdua ke Sangihe.

“Jika kapal itu tenggelam saat itu, apakah ada yang mencari kita nanti?”, begitu pertanyaan saya. Kami terdiam. Kemungkinan itu bisa terjadi, dan kami bisa saja hilang tanpa bekas. Begitu pikiran kami saat itu. Tentu yang kami syukuri, kami tetap selamat, sehat wal afiat. Dan saya tinggal menunggu sore untuk kembali menahan guncangan kapal kembali di malam nanti. (4/12/20)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun