Konsep negara bukan hanya tentang batas wilayah atau kekuasaan politik, tetapi juga tentang bagaimana sebuah bangsa diatur dan dirawat. Dari Barat hingga dunia Islam, pemikir besar telah menawarkan pandangannya yang unik. George H. Smith dan Ibnu Khaldun, dua tokoh dari tradisi yang berbeda, memberikan perspektif yang menarik untuk dipahami, terutama dalam konteks Indonesia. Bagaimana kita dapat memadukan pemikiran mereka untuk membangun negara yang kokoh dan adil?
George H. Smith: Negara Sebagai Pelayan Hukum
Dalam teori negara yang ditawarkan oleh George H. Smith, supremasi hukum menjadi landasan utama. Negara, menurutnya, bukanlah alat kekuasaan semata, tetapi instrumen untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan. Smith menolak absolutisme kekuasaan dan menegaskan bahwa hukum harus rasional dan netral, bebas dari intervensi moralitas subjektif atau kepentingan politik.
Gagasan Smith relevan dalam konteks negara modern seperti Indonesia. Sebagai negara demokratis yang mendasarkan diri pada konstitusi, supremasi hukum adalah pilar utama. Namun, dalam praktiknya, tantangan besar seperti korupsi, nepotisme, dan ketidakadilan struktural masih menguji komitmen kita pada prinsip ini. Pandangan Smith mengingatkan bahwa tanpa hukum yang kuat dan transparansi, negara akan mudah terjebak dalam otoritarianisme terselubung.
Ibnu Khaldun: Negara dan Jiwa Sosial
Sebaliknya, Ibnu Khaldun menawarkan perspektif yang lebih sosiologis melalui karyanya, Muqaddimah. Baginya, negara adalah entitas yang hidup, tumbuh, dan bertransformasi. Konsep asabiyah atau solidaritas sosial adalah inti dari stabilitas negara. Tanpa solidaritas, negara mudah runtuh meskipun memiliki hukum yang sempurna.
Pandangan ini menyoroti pentingnya hubungan sosial antara penguasa dan rakyat. Kepemimpinan yang adil dan kepercayaan masyarakat menjadi modal utama sebuah negara untuk bertahan menghadapi tantangan. Dalam konteks Indonesia, asabiyah relevan untuk menjawab masalah disintegrasi sosial, polarisasi politik, dan ketimpangan ekonomi yang semakin akut.
Menyelaraskan Hukum dan Solidaritas
Smith dan Ibnu Khaldun mungkin berasal dari tradisi pemikiran yang berbeda, tetapi keduanya sepakat bahwa legitimasi kekuasaan adalah kunci keberlanjutan negara. Smith melihat legitimasi melalui supremasi hukum, sementara Ibnu Khaldun menekankan pentingnya legitimasi sosial. Perbedaan ini bukanlah penghalang, melainkan peluang untuk saling melengkapi.
Dalam konteks Indonesia, kedua pandangan ini dapat dijadikan pedoman. Supremasi hukum harus ditegakkan untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas pemerintahan, sementara solidaritas sosial harus dipupuk untuk menjaga persatuan di tengah keberagaman. Hanya dengan kombinasi keduanya, Indonesia dapat menjadi negara yang tidak hanya kuat secara struktural, tetapi juga harmonis secara sosial.
Pelajaran untuk Masa Depan
Pemikiran George H. Smith dan Ibnu Khaldun mengajarkan bahwa membangun negara bukan hanya soal hukum atau struktur politik, tetapi juga tentang manusia. Negara adalah refleksi dari hubungan sosial yang terjadi di dalamnya. Seperti yang dikatakan Ibnu Khaldun, sebuah bangsa yang kuat adalah bangsa yang bersatu dalam keadilan. Sementara itu, Smith mengingatkan bahwa kekuasaan harus selalu berjalan dalam koridor hukum.
Indonesia berada pada persimpangan penting. Di satu sisi, kita membutuhkan supremasi hukum untuk melawan korupsi dan meningkatkan kepercayaan publik. Di sisi lain, kita juga memerlukan solidaritas sosial untuk mengatasi kesenjangan dan memperkuat persatuan. Dengan memadukan kedua konsep ini, Indonesia dapat membangun masa depan yang lebih baik, di mana hukum dan keadilan berjalan beriringan.
Penulis : Hamim fauzi rochiman
Nim : 24200009
Universitas nahdlatul ulama indonesia fakultas hukum prodi ilmu hukum
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI