"Baik, Pak," Sinta menganggukkan kepalanya, sambil menerima surat dengan tangan kanannya.
Saya menjadwalkan pertemuan esok hari dengan orangtua atau wali murid Nina.
Esok hari tiba, saya menunggu. Orangtua Nina, dalam hal ini, ibunya, datang, tepat pukul sembilan, sesuai jadwal.
"Pak Anton ya? Saya ibunya Nina."
"Iya, Bu. Saya Pak Anton. Silakan masuk, Bu."
Setelah duduk, ibu itu langsung bertanya, "Ada masalah apa dengan anak saya, Pak?"
"Sebelumnya saya minta maaf kalau mengganggu aktivitas Anda. Begini, Bu. Anak ibu, Nina, sudah tiga kali tidak membuat PR dan juga sudah tiga kali absen tanpa berita. Alasan tidak membuat PR, karena tidak punya buku pelajarannya. Saya tidak memaksa murid-murid harus mempunyai buku pelajaran. Pihak sekolah juga tidak memaksa para murid untuk mempunyai buku pelajaran. Namun, bukan berarti, perilaku tidak membuat pr tersebut bisa ditolerir.
"Apalagi, Nina sudah kelas enam. Saya sudah mengatakan pada para murid, kalau tidak mempunyai buku paket, bisa meminjam dari teman sekelas atau teman yang dekat dengan rumah mereka. Atau, yang lebih baik lagi, mereka bisa belajar bersama, mengerjakan bersama-sama. Namun Nina mengatakan bahwa dia lupa mengerjakan, selain alasan tidak punya buku," Saya menjelaskan duduk permasalahan.
"Ya, saya minta maaf, Pak. Saya yang salah, karena ada masalah dengan ayah Nina, suami saya, jadi Nina tidak terlalu saya perhatikan," Bu Rosi, bukan nama sebenarnya, nama dari ibunya Nina, berkata. Raut wajahnya memang sejak awal masuk ke ruangan menampakkan kepiluan.
"Memangnya ada masalah apa dengan suami ibu?" Alis saya mengernyit.
"Suami saya dipenjara, Pak."