Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pengalaman yang Takkan Terlupakan Seumur Hidup Saya

8 Juni 2019   21:34 Diperbarui: 8 Juni 2019   21:48 507
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selama 21 tahun mengajar, baik itu di sekolah-sekolah, bimbel, atau les privat, ada banyak sekali pengalaman yang saya dapatkan, baik itu suka maupun duka. 

Tentu saja, ada beberapa yang masih membekas di ingatan, meskipun saya tak menuliskan di buku jurnal. Beberapa pengalaman berkesan itu dapat Anda baca di artikel sebelumnya disini. 

Namun, ada satu pengalaman yang paling berkesan selama saya mengajar. 

Saya lupa tanggal, bulan, dan tahunnya.

Mungkin sekitar sepuluh tahun yang lalu, peristiwa ini terjadi.

Yang jelas, pengalaman ini terjadi di SD @nomention. Saya memanggil orangtua murid dari Nina (bukan nama sebenarnya).

Bagi Anda yang sudah membaca pengalaman-pengalaman saya di artikel sebelumnya, pasti sudah tahu, kalau saya memanggil orangtua murid, biasanya karena dua hal.

Pertama, karena sang murid tidak membuat PR sampai tiga kali.

Kedua, karena sang murid absen tanpa berita sebanyak tiga kali.

Karena Nina sudah tiga kali tidak membuat PR, dan juga tiga kali absen tanpa berita (istilah saya, Double Combo ^_^), maka saya melayangkan surat panggilan. Saya meminta tolong Sinta (bukan nama sebenarnya), teman Nina yang tinggal dekat rumah Nina untuk menyerahkan surat panggilan ke orangtua Nina.

"Ingat ya, Sinta. Berikan langsung ke orangtua Nina ya. Jangan ke Ninanya," pesan saya pada Sinta.

"Baik, Pak," Sinta menganggukkan kepalanya, sambil menerima surat dengan tangan kanannya.

Saya menjadwalkan pertemuan esok hari dengan orangtua atau wali murid Nina.

Esok hari tiba, saya menunggu. Orangtua Nina, dalam hal ini, ibunya, datang, tepat pukul sembilan, sesuai jadwal.

"Pak Anton ya? Saya ibunya Nina."

"Iya, Bu. Saya Pak Anton. Silakan masuk, Bu."

Setelah duduk, ibu itu langsung bertanya, "Ada masalah apa dengan anak saya, Pak?"

"Sebelumnya saya minta maaf kalau mengganggu aktivitas Anda. Begini, Bu. Anak ibu, Nina, sudah tiga kali tidak membuat PR dan juga sudah tiga kali absen tanpa berita. Alasan tidak membuat PR, karena tidak punya buku pelajarannya. Saya tidak memaksa murid-murid harus mempunyai buku pelajaran. Pihak sekolah juga tidak memaksa para murid untuk mempunyai buku pelajaran. Namun, bukan berarti, perilaku tidak membuat pr tersebut bisa ditolerir.

"Apalagi, Nina sudah kelas enam. Saya sudah mengatakan pada para murid, kalau tidak mempunyai buku paket, bisa meminjam dari teman sekelas atau teman yang dekat dengan rumah mereka. Atau, yang lebih baik lagi, mereka bisa belajar bersama, mengerjakan bersama-sama. Namun Nina mengatakan bahwa dia lupa mengerjakan, selain alasan tidak punya buku," Saya menjelaskan duduk permasalahan.

"Ya, saya minta maaf, Pak. Saya yang salah, karena ada masalah dengan ayah Nina, suami saya, jadi Nina tidak terlalu saya perhatikan," Bu Rosi, bukan nama sebenarnya, nama dari ibunya Nina, berkata. Raut wajahnya memang sejak awal masuk ke ruangan menampakkan kepiluan.

"Memangnya ada masalah apa dengan suami ibu?" Alis saya mengernyit.

"Suami saya dipenjara, Pak."

Saya kaget. Wah, apakah suami ibu ini termasuk preman? Apakah pencuri?

Di dalam pikiran saya sudah berseliweran hal-hal negatif yang kemungkinan dilakukan oleh suami dari Bu Rosi ini.

Setelah bisa meredakan kekagetan yang sempat memakan waktu beberapa detik, saya pun bertanya kembali, "Kalau saya boleh tahu, kalau Anda tidak keberatan memberitahu saya, kenapa suami Anda dipenjara, Bu? Apa yang bapak lakukan sehingga dia harus mendekam dalam penjara?"

Beberapa saat, Bu Rosi hanya menitikkan air mata. Mungkin dia sangat malu untuk mengungkapkan aib yang sudah mencoreng nama baik keluarganya.

Karena ada keheningan yang cukup lama, tidak ada suara yang keluar dari mulut Bu Rosi, saya kira beliau keberatan untuk memberitahu, saya pun berkata, "Baiklah, Bu. Kalau ibu keberatan, ...."

"Oh, tidak, Pak. Saya tidak keberatan," setelah menyusut air mata dengan tisu yang saya berikan padanya, Bu Rosi berkata, "Semua orang sudah tahu masalah suami saya. Untuk apa saya tutup-tutupi?

"Suami saya dipenjara, karena menggunakan narkoba, Pak. Dia tertangkap sedang menggunakan narkoba dengan teman-temannya di salah satu rumah kosong di dekat lapangan, tak jauh dari sekolah ini, Pak."

"Jadi suami ibu sekarang sudah divonis oleh pengadilan?"

"Sudah, Pak. Satu tahun penjara," Bu Rosi mulai meneteskan air mata lagi.

Saya pun mengangsurkan tisu ke Bu Rosi. Bu Rosi mengambil tisu, mengelap butir-butir air mata yang mengalir di pipinya.

"Saya terpaksa harus menjadi tulang punggung keluarga, Pak. Selain Nina, ada lagi adiknya yang masih kecil."

"Ada berapa anak Ibu?"

"Hanya dua, Pak. Nina, anak pertama; yang bungsu belum sekolah. Laki-laki. Namanya Adi," Bu Rosi mulai bisa meredakan tangisnya. Mungkin karena membicarakan buah hati, jadi dia mulai bisa mengendalikan diri.

"Tadi ibu bilang, ibu yang menjadi tulang punggung keluarga. Apa yang ibu lakukan untuk mencari nafkah?"

"Saya kerja serabutan, Pak. Yang penting halal dan dapat uang. Pagi-pagi, saya mengambil kue dari kenalan, lalu saya mengantar kue-kue itu ke warung-warung, dimana kenalan saya menjalin kerjasama. Kalau sudah selesai mengantar, baru saya mengambil lagi kue-kue yang lain, untuk saya jual berkeliling."

"Hasilnya, Bu?"

"Yah, lumayan, Pak. Cukup untuk hidup kami sehari-hari. Untuk menambah penghasilan, saya juga jadi tukang ojek, antar jemput anak sekolah. Jadi setelah mengantar kue-kue ke warung-warung tadi, sebelum jualan keliling, saya jadi tukang ojek, antar anak orang ke sekolah. Setelah itu jualan kue keliling kota, kemudian siangnya, saya jadi tukang ojek lagi, jemput anak sekolah."

Saya melihat bola mata ibu itu menatap bola mata saya.

Menurut salah satu buku yang pernah saya baca (saya lupa judul bukunya), kita bisa tahu orang yang kita ajak bicara itu berkata jujur atau tidak, bilamana ada kontak mata.

Jika ada kontak mata, berarti dia tidak berbohong.

Meskipun begitu, saya tidak sepenuhnya percaya dengan pendapat di buku itu, meskipun dalam hati, saya meyakini kalau ibu ini berkata yang sejujurnya. Terlalu bagus kalau dikatakan sandiwara.

"Makanya, Pak, saya tidak bisa membelikan buku-buku pelajaran untuk Nina. Kondisi keuangan kami benar-benar minim, karena suami saya dipenjara, sehingga otomatis tidak ada pemasukan sama sekali. Saya terpaksa harus bekerja. Apa saja. Yang penting halal. Supaya anak-anak tetap bisa makan, dan Nina tetap bisa sekolah," Suara Bu Rosi terdengar bersemangat, karena mengucapkan perjuangan yang dia lakukan, semua itu untuk anak-anak tercinta.

"Kalau masalah dengan PR," Bu Rosi melanjutkan, "Saya akan membelikan buku pelajaran Bahasa Inggris untuk Nina."

"Tidak perlu, Bu. Saya akan memberikan bukunya pada Nina. Gratis. Anda tidak perlu membayar untuk itu."

"Tidak apa, Pak. Saya malah jadi tidak enak dengan bapak. Bapak kan guru honor. Honor bapak kan tidak seberapa," Bu Rosi bersikeras.

"Tidak masalah, Bu. Saya ikhlas memberikan pada anak ibu. Tapi, cuma fotokopi, karena semua buku sudah ditarik sama penerbit. Tapi paling tidak, bisa membantu Nina untuk belajar bahasa Inggris. Maaf, Bu. Saya cuma bisa membantu memberikan buku bahasa Inggris saja," Saya tersenyum.

"Itu sudah sangat membantu, Pak. Terima kasih banyak," Bu Rosi meneteskan air mata kembali. Kelihatan terharu.

"Sama-sama, Bu. Saya salut dengan Anda," kata saya.

"Kenapa Bapak salut dengan saya? Saya cuma perempuan biasa, tidak mempunyai ketrampilan apa-apa, dan suami saya juga masuk penjara. Saya malu, Pak. Semua orang, tetangga saya, menjauhi saya dan anak-anak saya. Tetangga-tetangga saya melarang anak-anak mereka untuk bergaul dengan anak-anak saya. Kami dikucilkan, Pak. Makanya, Nina tidak bisa meminjam buku dari teman-temannya, karena tak ada yang mau meminjamkan. Dilarang oleh orangtua mereka," Bu Rosi berkata dengan getir. Terdengar ada rasa sakit di perkataannya.

"Tidak semua orang seperti itu, Bu. Kenalan ibu kan mau menerima ibu sebagai pengantar kue-kuenya ke warung-warung. Ibu juga bisa jadi tukang ojek, antar jemput anak sekolah. Berarti ada orang-orang yang berempati pada Anda," saya berusaha memberikan semangat pada Bu Rosi, bahwa dia tidak sendiri di dunia ini. Ada orang-orang yang peduli padanya.

"Saya salut dengan Anda," saya menyambung, "Mungkin istri-istri yang lain akan minta cerai, kalau suami-suami mereka tersangkut masalah. Apalagi masalah hukum. Tapi Anda tetap setia, menanti suami Anda bebas dari penjara, setelah selesai menjalani hukuman. Anda juga mau melakukan pekerjaan apa saja, yang penting halal, meskipun Anda tahu, bahwa resiko antar jemput atau jualan kue keliling kota ini sangat berbahaya, karena Anda berada di jalanan, penuh dengan bahaya kecelakaan sewaktu-waktu.

"Kalau saya dalam posisi Anda, belum tentu saya akan berpikiran seperti itu. Mudah-mudahan Anda tetap diberi kekuatan dan kesehatan dari Tuhan, supaya tetap tabah menjalani ujian ini, Bu."

"Amin. Terima kasih, Pak."

Tak lama kemudian, setelah membuat catatan di buku penghubung, saya pun mengakhiri pertemuan. Jabat tangan Bu Rosi begitu kencangnya, seakan dia mendapat kekuatan ekstra dari saya setelah pertemuan. Kekuatan untuk menjalani ujian hidup yang luar biasa.

Bu Rosi layak mendapat dukungan, di saat kebanyakan orang mencercanya.

Nilai Moral yang Saya Petik dari Pengalaman Ini

Di dalam setiap peristiwa, selalu ada hikmah yang bisa diambil.

Ada nilai-nilai moral dalam pengalaman ini yang tak mungkin akan saya lupakan seumur hidup saya.

1. Bagi para suami, jangan rusak diri dan keluarga dengan narkoba

Para bapak-bapak yang saya hormati, jika Anda membaca tulisan saya ini, kiranya Anda semua jangan merusak diri dan keluarga, jangan meracuni diri dan keluarga dengan narkoba.

Apalagi kalau sudah mempunyai anak.

Kasihan keluarga Anda.

Mereka akan mendapat "getah" akibat dari perbuatan Anda, seperti yang Bu Rosi alami di atas.

Dijauhi oleh para tetangga.

Anak-anak tidak bisa bebas bergaul dengan teman-teman, karena para orangtua teman melarang hubungan pertemanan dengan anak-anak Anda.

Stigma negatif akan melekat pada keluarga Anda. 

Dan mungkin juga perlu diwaspadai kalau sekarang ini, candu tidak mesti narkoba. Game online bisa dikategorikan sebagai candu, karena bisa membuat orang lupa diri, baik lupa makan, maupun lupa pada tanggung jawab dan bersosialisasi, serta lupa berinteraksi dengan keluarga dan orang lain.

Saya mempunyai kenalan. Sepasang suami istri yang bercerai, karena sang suami kecanduan bermain game online dan tak memperhatikan keluarga. Sang istri minta cerai.

Mungkin Anda tertawa, karena menganggap cuma gara-gara kecanduan game online, bisa cerai, namun ini nyata, dan bisa saja terjadi dalam keluarga Anda. Jadi waspadalah dengan candu game online!

2. Bagi para istri, jangan putus asa, kalau suami tersandung masalah atau dalam kondisi keuangan yang tidak baik

Yah, seperti yang saya bilang ke Bu Rosi, kebanyakan istri akan minta cerai, kalau suami terkena masalah. Saya memang tidak punya datanya, namun dari pengalaman saya sebagai guru di sekolah, saya mendapati beberapa ibu minta cerai, karena suami tidak bisa menafkahi keluarga secara layak, mencuri, selingkuh, dan lain sebagainya.

Namun mayoritas, karena faktor ekonomi.

Intinya, jangan menyerah dengan keadaan. Anggaplah masalah atau keadaan buruk sebagai ujian dari Tuhan, yang mempersiapkan kita untuk naik ke kelas yang lebih tinggi lagi.

3. Bagi masyarakat, jangan memandang rendah orang lain atau anggota keluarganya, disebabkan adanya masalah hukum atau aib dari orang tersebut.

Terkadang penilaian manusia tidak adil terhadap sesamanya. Kepala keluarga, dalam hal ini, suami yang melakukan, namun istri dan anak-anaknya mendapat getahnya.

Seperti Bu Rosi dan anak-anaknya.

Mereka mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari beberapa tetangga, mereka tersisihkan dari lingkungan, mereka mendapat pandangan negatif dari sekitar.

Setiap kita adalah manusia biasa.

Siapa di antara kita yang tidak pernah berbuat kesalahan?

Janganlah ada sanksi sosial disematkan pada pelaku dan keluarganya.

Pikirkan, bagaimana kalau seandainya Anda atau keluarga Anda yang terkena masalah hukum dan terkena sanksi sosial?

Jika Anda tidak suka diperlakukan secara diskriminatif, maka janganlah memperlakukan orang lain secara diskriminatif.

* * *

Demikianlah salah satu dari sekian banyak pengalaman hidup yang tak akan saya lupakan dalam hidup.

Kiranya bisa memberikan inspirasi dan pencerahan, serta bermanfaat bagi Anda semua, bahwa inti dari pengalaman saya ini adalah setiap manusia itu berharga di mata Tuhan. Apabila manusia berbuat salah, maka Tuhan senantiasa mau membukakan pintu maaf bagi setiap insan di kala dia bertobat dan kembali ke jalan-Nya.

Tuhan saja mau memaafkan, masa kita tidak ^_^.

Selamat menikmati akhir pekan bersama keluarga. 

Salam Kompasiana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun