Kadang niatnya adalah meningkatkan jumlah subscriber, follower, yang terkait dengan algoritma popularitas atau yang terkait dengan cuan dan faktor duniawi lainnya dan jauh dari Keikhlasa lillahi ta'ala... Kadang mungkin niat untuk memperluas syi'ar dan lebih banyak orang yang ambil manfaat. Jadi campur niatnya.Â
Di era digital ini, banyak orang---termasuk yang beraktivitas dalam dakwah, amal, atau ibadah---terjebak dalam campur niat antara keikhlasan dan kepentingan duniawi seperti popularitas, algoritma, dan monetisasi. Ini menjadi dilema besar karena di satu sisi, kita ingin memperluas manfaat dan syiar, tapi di sisi lain, ada dorongan untuk mendapatkan pengakuan, followers, atau bahkan keuntungan finansial.
1. Apakah Salah Jika Ada Niat Duniawi?
Secara syariat, niat duniawi dalam amal akhirat bisa mengurangi pahala, bahkan bisa membatalkan keikhlasan jika niat duniawinya lebih dominan. Dalam hadis, Rasulullah SAW bersabda:
"Barang siapa mencari ilmu yang seharusnya karena Allah, namun ia mempelajarinya hanya untuk mendapatkan bagian dunia, maka ia tidak akan mencium bau surga." (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah)
Ini menunjukkan bahwa jika motivasi duniawi lebih dominan daripada niat karena Allah, maka bisa berbahaya bagi keikhlasan.
Namun, jika niat akhirat tetap utama, sementara aspek duniawi hanyalah bonus, maka hal itu masih diperbolehkan. Contohnya:
Seorang ustadz berdakwah di YouTube agar banyak orang mendapat ilmu, lalu channel-nya berkembang dan menghasilkan penghasilan.
Seorang konten kreator berbagi motivasi islami dan amal kebaikan, lalu mendapatkan sponsor yang mendukung dakwahnya.
Selama niat awalnya tetap untuk Allah, maka penghasilan atau popularitas yang datang dianggap sebagai "rejeki tambahan" dan bukan tujuan utama.
2. Tanda-tanda Niat Sudah Tergelincir ke Duniawi
Jika seseorang mulai mengalami hal berikut, maka ini tanda bahwa niatnya mulai bergeser dari keikhlasan:
Lebih sibuk mengejar views, likes, dan engagement daripada memperbaiki isi kontennya.
Kecewa atau marah jika videonya tidak viral atau mendapatkan sedikit perhatian.
Mulai mencari cara agar terlihat lebih keren, lebih berwibawa, atau lebih "menghipnotis" audiens daripada sekadar menyampaikan kebaikan.
Mengukur keberhasilan dakwah atau amal dari jumlah subscriber dan followers, bukan dari perubahan positif yang terjadi pada orang-orang.
Menghindari pembahasan yang kurang populer atau kontroversial, meskipun itu penting dalam agama, hanya demi menjaga algoritma tetap bagus.