Mohon tunggu...
Hadi Tanuji
Hadi Tanuji Mohon Tunggu... Praktisi Pendidikan, Analis Data, Konsultan Statistik, Pemerhati Hal Remeh Temeh

Aktivitas sehari-hari saya sebagai dosen statisika, dengan bermain tenis meja sebagai hobi. Olah raga ini membuat saya lebih sabar dalam menghadapi smash, baik dari lawan maupun dari kehidupan. Di sela-sela kesibukan, saya menjadi pemerhati masalah sosial, mencoba melihat ada apa di balik fenomena kehidupan, suka berbagi meski hanya ide ataupun hanya sekedar menjadi pendengar. Sebagai laki-laki sederhana moto hidup pun sederhana, bisa memberi manfaat kepada sesama.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Que Sera Sera: Yang akan Terjadi Terjadilah

20 April 2025   22:14 Diperbarui: 20 April 2025   22:14 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi tadi, seperti biasa, saya membaca tulisan Dahlan Iskan. Ada satu bagian yang mencuri perhatian. Bukan karena argumennya. Bukan pula karena analisisnya. Tapi karena satu frasa yang muncul di tengah tulisan itu: que sera sera. Sebuah frasa yang dulu pernah saya dengar. Lama sekali. Saat pertama kali merantau, jauh dari kampung.

Frasa ini mengingatkan saya pada sebuah lagu berjudul Che Sara, yang saya dengar pertama kali saat kuliah di Bogor. Lagu ini dinyanyikan Jose Feliciano. Suaranya khas. Serak, tapi dalam. Ada getaran di balik petikan gitarnya. Lagu ini bercerita tentang seseorang yang harus meninggalkan kampung halamannya. Ada rindu, ada kesedihan, ada harapan. Tapi juga ada ketidakpastian. Sangat manusiawi. Lagu ini menyentuh banyak orang karena menggambarkan pengalaman universal, terutama mereka yang pernah merantau. Atau mereka yang pernah meninggalkan sesuatu yang berharga dalam hidupnya. Termasuk saya.

Ada satu baris dalam lagu Che Sara yang jadi favorit saya: "E sara sara quel che sara." Kurang lebih maknanya sama dengan que sera sera dalam bahasa Spanyol, atau whatever will be, will be dalam bahasa Inggris. Dalam bahasa Indonesia, bisa diartikan: apa pun yang akan terjadi, terjadilah. Dan kalau pakai kamus Jawa bebas saya, maknanya kira-kira: "wes mbuh, pikir keri..." Hehe.

Tapi jangan salah. Ini bukan bentuk kepasrahan yang putus asa. Bukan juga alasan untuk menyerah. Justru sebaliknya. Que sera sera bagi saya, terutama di masa muda, adalah simbol keberanian. Keberanian untuk mengambil sikap. Keberanian untuk meninggalkan zona nyaman. Keberanian untuk memutuskan. Untuk bertindak. Untuk berkata "ya" atau "tidak". Untuk melangkah meski belum tahu apa yang akan terjadi di depan.

Hidup ini memang penuh tanda tanya. Kita bisa saja menimbang, menganalisis, berdoa, meminta saran, dan mempertimbangkan segalanya. Tapi tetap saja, tak ada yang pasti. Tidak semua bisa diprediksi. Tidak semua bisa dihitung dengan rumus. Dan di titik itu, kadang kita hanya bisa berkata: "saya sudah berpikir, sekarang saya akan jalan... que sera sera, yang terjadi terjadilah"

Prinsip ini sering hadir dalam banyak peristiwa kehidupan sehari-hari. Bahkan dalam hal-hal yang tampak sederhana. Misalnya, ketika lulus kuliah. Banyak yang bingung mau lanjut S2, kerja, atau membuka usaha. Semuanya masuk akal. Semuanya punya risiko. Tapi hidup menuntut kita memilih. Dan saat sudah memutuskan, yang terbaik adalah melangkah dengan yakin. Bukan terus-menerus dihantui "bagaimana kalau nanti...". Ambil keputusan, lalu que sera sera.

Atau saat melamar kerja. Kita kirim CV ke banyak tempat. Ada yang membalas, ada yang tidak. Kita wawancara, ada yang lolos, ada yang tidak. Kita tak bisa mengendalikan semua proses itu. Yang bisa kita lakukan adalah berusaha semaksimal mungkin, lalu melepaskan sisanya. Que sera sera.

Atau dalam keputusan menikah. Kita tak pernah benar-benar tahu siapa yang terbaik untuk kita. Kita hanya tahu sebagian. Kita berusaha mengenal. Mencari yang sejalan. Yang cocok dengan nilai dan visi hidup kita. Kadang kita jatuh cinta sejak pandangan pertama. Lalu fokus pada kelebihannya. Kekurangannya kita abaikan. Itu wajar. Kita pertimbangkan semuanya. Karakter, keluarga, masa depan. Kita tanya hati. Kita tanya orang tua. Kita timbang pakai akal, kita sertakan doa. Lalu pada satu titik, kita harus berani melangkah. Menuju proses berikutnya: menikah. Selebihnya... que sera sera.

Momen-momen seperti ini sangat banyak dalam hidup. Merantau ke kota baru. Membuka usaha dengan modal terbatas. Pindah kerja dari zona nyaman ke tempat baru yang menantang. Bahkan keputusan untuk berhenti dari pekerjaan yang sudah lama dijalani---demi keluarga, demi kesehatan, demi orang tua atau demi prinsip hidup---juga bisa menjadi salah satu bentuk keberanian yang hanya bisa dilengkapi dengan prinsip "que sera sera".

Bahkan untuk hal yang tampak kecil, seperti berkata "tidak" kepada ajakan atau tawaran orang lain, butuh keberanian. Kita takut mengecewakan, takut dicap sok, atau takut dianggap tidak setia kawan. Padahal, kalau kita tahu itu bukan jalan yang cocok untuk kita, ya tolak saja. Dengan baik. Dengan yakin. Dan biarkan selebihnya terjadi. Que sera sera.

Keberanian juga dibutuhkan saat kita ingin berkarya. Menulis. Bicara di depan umum. Muncul di media sosial. Kita takut dikritik. Takut salah. Takut tidak sempurna. Tapi kalau semua orang menunggu sampai segalanya sempurna, tak akan ada karya yang lahir. Berani tampil adalah bentuk keberanian lain. Sekali lagi, que sera sera.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun