Mohon tunggu...
Habibah Nur Shober
Habibah Nur Shober Mohon Tunggu... Lainnya - No

............

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Aspek Sosial Pengarang dalam Pementasan Drama Dukun Karya Puthut Buchori oleh IAIN Surakarta Desember 2020

15 April 2021   20:00 Diperbarui: 15 April 2021   20:00 1114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

A.PENDAHULUAN

Sastra adalah cermin masyarakat. Sastra sebagai cabang seni telah menjadi bagian dari pengalaman hidup manusia, baik dari aspek manusia yang memanfaatkannya bagi pengalaman hidup maupun dari aspek penciptanya yang mengapresiasikan pengalaman batinnya ke dalam karya sastra. Menurut Taine (dalam Anwar, 2010:20), sastra adalah refleksi dari beberapa fakta yang dapat diketahui selain dari sekadar perasaan-perasaan yang bersifat spesifik di dalamnya. Taine (dalam History of English Literature yang diterbitkan pada 1863) melakukan studi terhadap karya sastra Inggris menyimpulkan bahwa hanya secara individual imajinasi dimainkan, sementara berbagai bentuk transkripsi tentang gaya atau bentuk kontemporer pada karya sastra merupakan manifestasi dari beberapa macam pikiran.

Sebuah karya sastra pada dasarnya mengungkapkan masalah-masalah manusia dan kemanusiaan, tentang makna hidup dan kehidupan. Karya sastra menggambarkan penderitaan-penderitaan manusia, perjuangan, kasih sayang, kebencian, nafsu, dan segala yang dialami manusia. Hal ini sesuai dengan pendapat Esten (1989:8), bahwa pengarang ingin menampilkan nilai-nilai yang lebih tinggi dan lebih agung, serta ingin menafsirkan makna hidup dan hakikat hidup melalui karya sastra. Pengarang melalui indra penghayatannya terhadap kehidupan di sekitarnya yang selanjutnya diolah dalam imajinasi dan di implementasikan dalam bentuk kreativitas. Sastra membaca fakta yang ada, sehingga karya sastra adalah kenyataan (realitas) sosial yang mengalami proses pengolahan oleh pengarang (Sumardjo, 1982:30). Sastra menjadi dunia yang dinamik dalam persentuhannya antara pengarang dengan masyarakat. Perubahan demi perubahan membentuk konstruksi sosial yang lahir dari persoalan hidup manusia. Dapat dikatakan bahwa karya sastra bukan hanya merupakan curahan perasaan dan hasil imajinasi pengarang saja, namun karya sastra juga merupakan sebagai fungsi sosial sastra dan cermin kehidupan, yaitu pantulan respon pengarang dalam menghadapi masalah kehidupan dan peran karya sastra di masyarakat yang diolah secara estetis melalui kreativitas yang dimilikinya, kemudian hasil tersebut disajikan kepada pembaca. Dengan demikian, pembaca dapat merenungkan dan menghayati kenyataan dan masalah-masalah kehidupan di dalam bentuk karya sastra. Karya Sastra sebagai hasil perenungan manusia terwujud dalam berbagai bentuk yaitu puisi, prosa fiksi, dan drama, sehingga dapat memberikan respon terhadap kenyataan atau masalah yang disajikan tersebut.

Drama sebagai salah satu bentuk karya sastra merupakan karya sastra yang rumit dan kompleks sehingga disebut collective art, tetapi salah satu ciri khas drama adalah bentuknya yang berisfat dialog. Melalui naskah drama tersebut, seakan-akan pengarang berusaha menguraikan seluruh ungkapan perasaan dan pikirannya secara terperinci.

Dalam penelitian ini, penulis akan menganalisis Pementasan drama Dukun Dukunan Karya Puthut Buchori yang dibawakan oleh Iain Surakarta Desember 2020 dengan muatan filosofis dan kritik terhadap kehdupan/kepincangan sosial tokoh dalam naskah tersebut serta menyiratkan pesan moral kepada penontonnya. Aspek kehidupan sosial dan cara/bentuk penyajian yang menampilkan kenyataan dalam masalah-masalah kehidupan sosial yang membuat penulis berinisiatif untuk menganalisis lebih dalam pementasan drama tersebut. Selain itu, penelitian terhadap karya sastra drama khususnya pementasan drama Dukun Dukunan Karya Puthut Buchori masih sangat jarang dilakukan sebelumnya oleh peneliti lain. Oleh karena itu, penulis akan menfokuskan kajian pada aspek sosial dengan menggunakan pendekatan sosiologi. Berkenaan dengan pendekatan sosiologi, penulis lebih memilih menggunakan bentuk pemikiran sosiologi sastra dari Ian Watt, karena Pendekatan sosiologi sastra Ian Watt lebih sederhana tetapi tetap detail dalam mengupas aspek sosial di dalam pementasan drama tersebut.

Pendekatan sosiologi sastra Ian Watt membahas klasifikasi dalam sosiologi sastra. Konteks sosial pengarang yang berhubungan dengan posisi sosial sastrawan dan pengaruh sosial sekitar penciptaan karya sastra karena menurut peneliti terjadi ketimpangan sosial, maka dengan pendekatan sosiologi sastra Ian Watt peneliti dapat mengetahui karya Puthut Buchori tersebut mencerminkan kehidupan sosial pada masa karya sastra itu diciptakan.

B. Tinjauan Pustaka 

1. Karya Sastra

Karya sastra dalam bahasa Inggris adalah literature. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diuraikan bahwa sastra adalah: (1) seni menciptakan karya tulis yang indah bahasanya, (2) karangan-karangan berupa karya sastra, (3) pengetahuan tentang segala yang bertalian dengan seni sastra pendefinisian sastra atau meletakkan batas-batas tertentu sebagai sesuatu yang disebut sebagai sastra sifatnya sangat bergantung pada cara pandang tertentu. Artinya, definisi tentang sastra dalam suatu penelitian sastra bergantung pada analisa yang digunakan. Banyak ahli yang meletakkan pijakan definisi tentang sastra. Namun, harus dipahami bahwa sastra adalah sebuah nama yang dengan alasan tertentu diberikan kepada sejumlah hasil tertentu dalam suatu lingkungan kebudayaan (Luxemburg, dkk, 1984: 9).

Argumentasi tersebut cukup beralasan mengingat konstelasi zaman yang memiliki cara pandang serta konteks kebudayaan yang dihadapi berbeda-beda. Namun demikian, bukan berarti bahwa sebagai suatu kajian sastra tidak memiliki kekhususan untuk menjadi penanda pembeda dengan kajian lain. Rene Wallek dan Austin Warren (1989) memberikan beberapa batasan tentang sastra, yakni pertama, sastra sebagai segala sesuatu yang tertulis atau tercetak. Kedua,bertolak pada mahakarya (greatbooks), yakni buku-buku yang dianggap menonjol karena bentuk dan ekspresi sastranya (penilaian estetis atas gaya bahasa, komposisi, dan kekuatan penyampaian). Ketiga, seni sastra sebagai karya imajinatif. Keempat, mengidentifikasi dengan merinci penggunaan bahasa yang khas sastra. Pembagian genre sastra imajinatif dapat dirangkumkan dalam bentuk puisi, fiksi atau prosa naratif, dan drama, serta seiring perkembangannya teknologi karya sastra juga biasa dalam bentuk film.

2. Drama 

Istilah drama datang dari khazanah kebudayaan Barat. Asal istilah drama adalah dari kebudayaan atau tradisi bersastra di Yunani. Pada awalnya di Yunani, baik "drama" maupun "teater" muncul dari rangkaian upacara keagamaan, suatu ritual pemujaan terhadap para dewa Domba/Lembu. Istilah drama berasal dari bahasa Yunani, dromai yang berarti berbuat, bertindak dan bereaksi (Budianta,dkk, 2002:99). Pengertian drama yang menyebutkan bahwa drama adalah cerita atau tiruan perilaku manusia yang dipentaskan adalah benar adanya. Hal ini disebabkan jika ditinjau dari makna kata drama itu sendiri yang berarti berbuat, bertindak, dan bereaksi menunjukkan bahwa drama adalah sebuah tindakan atau perbuatan (Hasanuddin, 1996:2). 

Sebagai sebuah karya, drama mempunyai karakteristik khusus, yaitu berdimensi sastra pada satu sisi dan berdimensi seni pertunjukkan pada sisi yang lain (Damono dalam Hasanuddin, 1996:7). Selama ini, pembicaraan tentang drama biasanya lebih banyak terfokus pada produk pementasan atau pertunjukannya. Resensi dan kritik di media massa rata-rata hanya berhenti pada pemaknaan terhadap nilai estetika drama ketika dieksekusi di atas panggung. Dengan demikian, keberhasilan drama seolah-olah hanya digenggaman para aktor, sutradara, dan penata pentas sebagai eksekutornya. Padahal, selain action nyawa drama juga terdapat pada textplay atau teks dramanya. 

Sebuah drama diciptakan selain bertujuan untuk menghibur juga memberikan kegunaan kepada pembaca (jika drama tersebut ditulis) dan kepada penonton (jika drama tersebut dipentaskan). Sayangnya, hingga kini, kritik teks drama sebagai bagian kritik sastra tidak begitu popular, terkesan jalan di tempat, dan terkurung di ranah akademik. Pada dasarnya genre puisi, prosa, dan drama mempunyai kedudukan yang sama penting dalam jagad kesusastraan. Plato dan Aristoteles membagi genre sastra itu pada tiga kelompok utama, yakni lirik, epik, dan dramatik (Wellek dan Warren, 1989:325). Oleh karena itu, pembicaraan mengenai ketiga genre itu seharusnya berimbang. Selama ini, penelitian mengenai drama sebagai genre sastra masih tidak memadai jika dibandingkan dengan kedua genre lainnya. Hal ini dapat dibuktikan pada jumlah penelitian terhadap genre drama yang sangat terbatas jumlahnya. 

Pembicaraan tentang drama yang muncul di tengah masyarakat lebih banyak terfokus pada pementasan atau seni lakonnya. Padahal, sesungguhnya drama sendiri mempunyai dua dimensi, yakni dimensi sastra dan dimensi pemanggungan. Masing-masing dimensi dalam drama tersebut dapat dibicarakan secara terpisah untuk kepentingan analisis (Hassanudin, 1996 : 9). 

Damono dalam Kesusastraan Indonesia modern mengemukakan bahwa drama mempunyai 3 unsur yang sangat penting yakni unsur teks drama, unsur pementasan, dan unsur penonton. Selain itu Sapardi Djoko Damono (1983:149) menyebutkan bahwa paling sedikit ada tiga pihak yang saling berkaitan dalam pementasan, yaitu: sutradara, pemain, dan penonton. Mereka tidak mungkin bertemu jika tidak ada naskah (teks). Secara praktis, pementasan bermula dari naskah yang dipilih oleh sutradara, tentunya setelah mulai proses studi. Lebih lanjut, Damono juga mengungkapkan bahwa apresiasi masyarakat yang sangat minim terhadap sastra drama disebabkan oleh para penonton drama yang biasanya datang pada pementasan tanpa bekal pembacaan teks drama itu sebelumnya.

Drama sebagai tiruan (mimetik) terhadap kehidupan, berusaha memotret kehidupan secara riil. Hal tersebut juga berlaku terhadap drama Dukun Dukunan. Drama ini mencerminkan keadaan sosial masyarakat pada zaman itu, dimana masyarakat pada zaman itu tidak puas dengan keadaan strata yang ada. sehingga banyak terjadi perlawanan. Perlawanan yang dilakukan untuk menentang sistem pemerintahan absolut yang banyak menimbulkan terjadinya penindasan, kemiskinan serta pertentangan kelas, pada masa itu terjadi krisis ekonomi.

3. Sastra dan Masyarakat 

Karya sastra diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati, dipahami dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat, antara masyarakat dengan orang-seorang, antar manusia, dan antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Bagaimanapun juga, peristiwa yang terjadi di dalam batin seseorang, yang sering menjadi bahan sastra, adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang lain atau dengan masyarakat. Sederet pernyataan di atas menunjukkan bahwa sastra tidak jatuh begitu saja dari langit, bahwa hubungan yang ada antara sastrawan, sastra dan masyarakat bukanlah sesuatu yang dicari-cari (Damono,1984: 1).

4. Sosiologi Sastra 

Sosiologi merupakan ilmu yang menyelidiki persoalan-persoalan umum dalam masyarakat dengan maksud menentukan dan menafsirkan kenyataan-kenyataan kehidupan kemasyarakatan, di dalamnya ditelaah gejala-gejala yang wajar dalam masyarakat, seperti norma-norma, kelompok sosial, lapisan dalam masyarakat, proses sosial, perubahan-perubahan sosial, lembaga-lembaga kemasyarakatan, dan kebudayaan serta perwujudannya (Soekanto, 1982:367). Secara singkat Sapardi Djoko Damono mengatakan bahwa sosiologi adalah telaah objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat, tentang sosial dan proses sosial (Damono, 1978:6).

Sebagaimana sosiologi, sastra pun erat berurusan dengan manusia dalam masyarakat. Sastra diciptakan oleh anggota masyarakat untuk dinikmati dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Sastra itu berada dan berasal dari masyarakat. Sastra dibentuk oleh anggota masyarakat berdasarkan desakan emosional atau rasional dari masyarakat. Karena itulah mengapa kesusastraan harus dipelajari berdasarkan ilmu sosial atau sosiologi (Sumardjo, 1982:14). Antara sosiologi dan sastra sesungguhnya berbagi masalah yang sama. Sebab, sebuah karya sastra merupakan suatu keseluruhan kata-kata yang kait-mengait secara masuk akal. Sastra dipahami seperti halnya sosiologi yang juga berurusan dengan manusia dan masyarakat tertentu yang memperjuangkan masalah-masalah yang sama, yaitu tentang sosial budaya, ekonomi, dan politik. Keduanya merupakan bentuk sosial yang mempunyai objek manusia. Perbedaan diantara keduanya adalah bahwa sosiologi melakukan analisis yang ilmiah dan objektif, sedangkan sastra menyusup menembus permukaan kehidupan sosial dan menunjukkan cara-cara manusia menghayati masyarakat dengan perasaannya (Damono, 1978: 7). Dengan adanya kesamaan objek, maka pendekatan sosiologi sastra menjadi pertimbangan bagi sebuah karya sastra.

Sosiologi sastra sebagai suatu jenis pendekatan terhadap sastra memiliki paradigma dengan asumsi dan implikasi epistemologis yang berbeda dari pada yang telah digariskan oleh teori sastra berdasarkan prinsip otonomi sastra. Penelitian-penelitian sosiologi sastra menghasilkan pandangan bahwa karya sastra adalah ekspresi dan bagian dari masyarakat, dan dengan demikian memiliki keterkaitan resiprokal dengan jaringan-jaringan sistem dan nilai dalam masyarakat tersebut. Sebagai suatu bidang teori, maka sosiologi sastra dituntut memenuhi persyaratan-persyaratan keilmuan dalam menangani objek sasarannya.

5. Pendekatan Sosiologi Sastra Ian Watt 

Pendekatan sosiologi sastra memandang sastra sebagai pencerminan kehidupan masyarakat atau cerminan kenyataan dan bukan sebagai kenyataan atau peristiwa yang benar-benar terjadi juga sebagai sarana kritik dalam kehidupan sosial. Meskipun kenyataan atau peristiwa yang terjadi dalam suatu karya sastra tidak dengan tepat mencerminkan kejadian yang ada dilingkungan pengarangnya dan fungsi sosial sastra tidak terlalu berpengaruh, tetapi lewat karya sastra dapat ditafsirkan maksud pengarang menciptakan karyanya tersebut. Sebab, kita ketahui bersama bahwa karya sastra tidak mungkin dibuat tanpa tujuan.

Pendekatan Sosiologi Sastra Ian Watt Pendekatan sosiologi sastra memandang sastra sebagai pencerminan kehidupan masyarakat atau cerminan kenyataan dan bukan sebagai kenyataan atau peristiwa yang benar-benar terjadi juga sebagai sarana kritik dalam kehidupan sosial. Meskipun kenyataan atau peristiwa yang terjadi dalam suatu karya sastra tidak dengan tepat mencerminkan kejadian yang ada dilingkungan pengarangnya dan fungsi sosial sastra tidak terlalu berpengaruh, tetapi lewat karya sastra dapat ditafsirkan maksud pengarang menciptakan karyanya tersebut. Sebab, kita ketahui bersama bahwa karya sastra tidak mungkin dibuat tanpa tujuan.

Sehubungan dengan karya sastra dan konteks pengarangnya, Ian Watt menemukan klasifikasi dalam sosiologi sastra yang berbeda. Konteks sosial pengarang yang berhubungan dengan posisi sosial sastrawan dan pengaruh sosial sekitar penciptaan karya sastra. Dalam hal ini, penelitian perlu memperhatikan: (a) bagaimana pengarang mendapatkan mata pencahariannya, (b) sejauh mana pengarang menganggap pekerjaannya sebagai profesi, dan (c) masyarakat apa yang dituju oleh pengarang.

Dalam teori kajiannya Ian Watt menjelaskan beberapa aspek tentang Sosiologi Sastra yang tentunya menjadi kunci langkah-langkah dalam melakukan penelitian menggunakan kajian sosiologi, yaitu sebagai berikut: 

Konteks Sosial Pengarang Konteks sosial pengarang adalah yang menyangkut posisi sosial masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca, termasuk di dalamnya faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi diri pengarang sebagai perseorangan di samping mempengaruhi isi karya sastranya. Sastra sebagai cermin masyarakat menelaah sampai sejauh mana sastra dianggap sebagai pencerminan keadaan masyarakat. Fungsi sosial sastra, dalam hal ini ditelaah sampai berapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial, dan sampai seberapa jauh pula sastra dapat berfungsi sebagai alat penghibur dan sekaligus sebagai pendidikan masyarakat bagi pembaca. 

Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang serta refleksi terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya. Kehadiran karya sastra merupakan bagian dari kehidupan masyarakat. Pengarang sebagai objek individual mencoba menghasilkan pandangan dunianya kepada objek kolektifnya. Penggabungan objek individual terhadap realitas sosial yang ada di sekitarnya menunjukkan sebuah karya sastra berakar pada kultur masyarakat tertentu. Keberadaan sastra yang demikian, menjadikan sastra dapat diposisikan sebagai dokumen. (Pradopo dalam Jabrohim 2001: 59).

Pengarang menciptakan karya sastra berdasarkan kenyataan yang terjadi di sekitarnya. Oleh karena itu, karya sastra dapat diartikan sebagai suatu gambaran mengenai kehidupan sehari-hari di masyarakat. Adanya realitas sosial dan lingkungan yang berada di sekitar pengarang menjadi bahan dalam menciptakan karya sastra sehingga karya sastra yang dihasilkan memiliki hubungan yang erat dengan kehidupan pengarang maupun dengan masyarakat yang ada di sekitar pengarang.

Pementasan drama tersebut dipahami sebagai kondisi realitas masyarakat yang digambarkan oleh pengarang dalam melahirkan karya sastra yang kreatif. Secara spesifik penulis akan menganalisis pementasan drama Dukun Dukunan peneliti memfokuskan penelitian ini pada kehidupan sosial masyarakat dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra Ian Watt.

Hasil Penelitian Dan Pembahasan

Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data adalah cara yang dilakukan untuk memperoleh dan memilah data yang dibutuhkan. Dalam penelitian ini ada dua teknik yang digunakan, yaitu teknik mendengarkan, teknik catat.

Teknik Mendengarkan

Teknik Audio visual dilakukan dengan cermat dan seksama dalam mengamati bentuk-bentuk yang ada pada ujaran -- ujaran pementasan drama Dukun Dukunan Karya Puthut Buchori yang dilakukan oleh Iain Surakarta Desember 2020.

Teknik catat 

Mencatat kutipan dialog dan peristiwa terkait fokus penelitian dari hasil pengamatan kemudian dilakukan inventarisasi data sebagai bahan yang akan diolah dalam penelitian ini, sumber data utama yakni pementasan drama Dukun Dukunan Karya Puthut Buchori yang dilakukan oleh Iain Surakarta Desember 2020.

Penyajian Hasil Analisis Data 

Pada bagian ini dijelaskan secara rinci tujuan penelitian, yakni menganalisis aspek sosial dalam pementasan drama drama Dukun Dukunan Karya Puthut Buchori dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra Ian Watt yang terdiri atas; penyajian hasil analisis data yang mengungkapkan konteks sosial pengarang. 

Konteks Sosial Pengarang 

Konteks sosial pengarang adalah posisi sosial pengarang dan kaitannya dengan masyarakat pembaca, termasuk di dalamnya faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi diri pengarang sebagai perseorangan di samping mempengaruhi isi karya sastranya. Peneliti tidak hanya menentukan bagaimana pengarang menampilkan jaringan sosial dalam karyanya. Konteks sosial pengarang yang berhubungan dengan posisi sosial sastrawan dan pengaruh sosial sekitar penciptaan karya sastra. Dalam hal ini, penelitian perlu memperhatikan: (a) bagaimana pengarang mendapatkan mata pencariannya, (b) sejauh mana pengarang menganggap pekerjaannya sebagai profesi, dan (c) masyarakat apa yang dituju oleh pengarang.

Puthut Buchori dalam pementasan drama ini adalah sosial masyarakat. Dengan sangat rapih menyusun alur ceritanya sehingga penonton sangat mudah untuk memahami peristiwa -- peristiwa yang terjadi pada pementasan drama Dukun dukunan. Karena pada awal pertunjukan terjadinya konflik suami dan istri yang disebabkan faktor seorang kepala rumah tangga yang tidak bekerja, seorang yang pemalas dan egois tidak memikirkan pekerjaan hobinya hanya memancing disungai sehingga tidak menghasilkan uang untuk kehidupan sehari -- hari, serta kurangnya lapangan pekerjaan sehingga membuat suami dan istri ini bertengkar. Terlihat dari percakapan berikut :

ISTRI : Mas... Mas. oalah Mas.. Mas mbo ya sekali -- sekali ke kerja yang bener yang menghasilkan duit biar bisa untuk beli beras, untuk makan, untuk hidup sehari -- hari.

SUAMI : Kerja apa to dek... dek. Jaman sekarang itu cari kerja ya sulit wong yang sarjana saja loh, yang nganggur banyak, Apa lagi saya ? yang sama sekali ndak pernah sekolah.

ISTRI : Dalah!!! Dasar kamu saja yang males, Pekerjaan itu buannyyak Mas asal kita gigih, kita rajin cari kayu bakar ke, berkebun kecil -- kecilan ke, bantu -- bantu kuli ke, jadi Pak RT ke, jadi siapa saja ke.

SUAMI : kakekake, memangnya aku ini kakek mu? Dek... Dek

ISTRI : Ndalem...

SUAMI : Ojo galak. Kamu itu jadi istri yang baik dan bener, jadi istri yang setia melayani, mengurus suami.

ISTRI : kamu itu kalo jadi sumai yang bener -- bener suamiyang pasti aku mau melayani, lah kamu loh jadi suami. Hanya suami Imitasi! Sorry sorry saja kalau aku ndak sudi melayani !

SUAMI : Laaaaahhh .... ko imitasi dek ? imitasi piye? 

konflik yang sangat menonjol yang dialami oleh pelaku utamanya yaitu seorang ibu rumah tangga yang kehidupannya sangat miskin. bekerja sebagai tukang cuci untuk memenuhi kebutuhan hidupnya karena dia memiliki seorang suami yang malas sehingga mengharuskan ia untuk bekerja Hal yang menimpa Istri masih sering dijumpai dalam masyarakat, strata sosial seringkali diukur dengan harta dan jabatan, miskin dan kaya tidak pantas untuk menjalin hubungan.. Terlihat dalam percakapan berikut :

ISTRI : Loh bagus apanya ? cakep apanya ? tampan apanya? kamu ini jadi suami sesatnya minta ampun!!! Pagi -- pagi semua orang bekerja kamu malah enak -- enakan leha -- leha. Apa itu yang namanya suami ? saat istrinya bekerja membanting tulang jadi tukang cuci, jadi tukang bersih -- bersih rumah, mencari kayu bakar buat dijual. kamu malah enak -- enakan duduk dipinggir kali macing, santai -- santai apa itu bukan namanya suami imitasi ? suami palsu ! insyaf masss, sadar! eling mas. Sebel aku, Rasanya pingin aku kruwes -- kruwes raimu mas.

SUAMI : Sek dek... menurut ku wong iso leha -- leha, sikasik, santai -- santai itu adalah sebuah anugrah bagi umat manusia. Jarang loh bisa ada orang seperti itu hanya satu banding sejuta umat, salah satunya ikan emas ku ini jadi itu bukan perbuatan tercela, yo jangan dihina toh!

Kritik sosial terhadap pemerintah terkait ekonomi bahwa hanya para pejabatlah yang merasa senang karena memiliki asset negara sedangkan rakyatnya tertindas, terlihat pada percakapan berikut :

ISTRI : Hey mas kalo kita murah -- murah duit, kalo kita sudah kaya seperti Bapak -- bapak pemimpin kita yang punya kekayaan ratusan miliar, punya warisan tujuh turunan, kita leha -- leha boleh -- boleh saja, kita asik -- asikan boleh -- boleh saja, kita santai -- santai sah -- sah saja. lah ini duit sepeserpun ga punya, pekerjaan ga ada, besok makan apa juga engga pasti eh ko masih bisa leha -- leha. itu namanya kebangetan.

SUAMI : Lohhh ... kalo memang besok belum ada yang dimakan yo puasa dulu, gitukan ajaran agama kita.

ISTRI : Puasa loh ko setiap hari, puasa itu bagi yang mampu memang ajaran agama mas tapi bagi kita kaum duafa puasa karena keadaan, karena memang tidak ada yang dimakan.

SUAMI : wahhh ini dek. kamu ini ga tau, tak kasih tau ya dek berarti kita itu sudah termasuk orang -- orang yang mampu, orang- orang yang sakti. Buktinya kita itu sudah duafa ditambah puasa itu kan sudah menjadi contoh yang bagus bagi orang -- orang yang suka makan jatah kita.

Pengarang juga menggambarkan kehidupan orang-orang miskin yang serba kekurangan bahkan makan sekalipun susah untuk mendapatkannya sehingga ia menganggap dirinya sebagai orang yang ahli padahal tidak ahli. Dengan kelakuan istrinya yang licik saat seorang menghampirinya, sedang mencari seorang dukun ia langsung memanfaatkan situasi tersebut. Terlihat pada percakapan berikut :

SURTI PRT : Jadi begini loh Bu Asri ranjang saya kemarin ingin bertanya konon katanya didesan ini ada dukun ampuh menyembuhkan apaaa aja, mulai dari penyakit gudik, segala macam penyakit dada, hati, kepala, mata, kemaluan wanita dan pria, konon katanya si Eyang Suro.

IBU ASTI RANJANG : Eyang Suro ??? bentar -- bentar Eyang Suro. Aha ohhh sudah dekat itu sudah berada didekatnya.

IBU ASTI RANJANG : Wohh jangan khawatir karena dia itu ampuh, sampean tidak usah mencari biar dia mencari sampeyan. Pas sampeyan cerita penyakitnya dia sudah tau dengan sendirinya tetapi untuk bertemu dengan beliau ada syaratnya.

SURTI PRT : Apapun syaratnya akan saya penuhi, apapun pokonya.

IBU SURTI RANJANG : Syaratnya dia ini harus dipukuli terlebih dahulu, ini lah guna dan anehnya Mbah Dukun Eyang Suro sangsuperstar. Beliau ini tak mau mengakui duku kalau tidak dipukuli terlebih dahulu, tak mau memeriksa jika tidak dipukuli terlebih dahulu, tidak mau mengeluarkan kepandaiannya kalau tidak dipukuli terlebih dahulu, jangan disembah -- sembah seperti saya tadi dia tak mau mengaku.

SIMPULAN

 Berdasarkan hasil analisis konteks sosial pengarang dalam pementasan drama dukun -- dukunan karya Puthut Buchori menjelaskan masalah sosial masyarakat yang cukup besar. Puthut Buchori menyusun jalan cerita yang sangat rapih, sehingga penonton sangat mudah memahami peristiwa -- peristiwa yang terjadi. Latar pendidikan Putut Buchori yang sangat mendukung dalam menciptakan karya -- karyanya. Dia Alumni Jurusan teater ISI Yogyakarta, seorang Direktur Artistik di teater MASA Jokjakarta, dia mengasah bakat teater sejak kelas satu SMP di Teater JIWA Yogyakarta. Sebagai seorang seniman ia sangat aktif di dunia teater. Sebagai seorang sutradra, pemain, tata artistik maupun tata lampu dan pernah membina kelompok teater dan menulis drama. Hingga saat ini hidupnya diabadikan untuk dunia teater.

Dalam drama ini, cerminan sosial masyarakat digambarkan dengan situasi dan suasana sosial masyarakat kaum menengah kebawah yang hidupnya menderita. Sebagai mahluk sosial harus hidup bermasyarakat, sebab kita saling membutuhkan satu sama lain. Dalam percakapan drama ini banyak mengungkap tentang penderitaan orang miskin dan kritik terhadap pemerintah. Drama ini merupakan drama yang mengandung kritik tajam terhadap ketimpangan sosial sehingga Dukun -- Dukunan karya Puthut Buchori merupakan refleksi dari aspek kehidupan sosial.

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Ahyar. 2010. Teori Sosial Sastra. Yogyakarta: Ombak.

Budianta, Melani, dkk. 2002. Membaca Sastra (Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi). Magelang: Indonesia Tera. 

Damono, Sapardi, Djoko. 1978. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas.

Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

1983. Kesusastraan Indonesia Modern: Beberapa Catatan.Jakarta: Gramedia1984.

Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Luxemburg, Dkk. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia.

Marselli, Sumarno. 1996. Dasar-dasar Apresiasi Film. Jakarta: Gramedia.

Wellek, Rene & Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.

Soekanto, Soerjono. 1981. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Moleong, Lexy. J. 2004. Metode Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya. Bandung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun