Mohon tunggu...
Habibah Nur Shober
Habibah Nur Shober Mohon Tunggu... Lainnya - No

............

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Aspek Sosial Pengarang dalam Pementasan Drama Dukun Karya Puthut Buchori oleh IAIN Surakarta Desember 2020

15 April 2021   20:00 Diperbarui: 15 April 2021   20:00 1114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Istilah drama datang dari khazanah kebudayaan Barat. Asal istilah drama adalah dari kebudayaan atau tradisi bersastra di Yunani. Pada awalnya di Yunani, baik "drama" maupun "teater" muncul dari rangkaian upacara keagamaan, suatu ritual pemujaan terhadap para dewa Domba/Lembu. Istilah drama berasal dari bahasa Yunani, dromai yang berarti berbuat, bertindak dan bereaksi (Budianta,dkk, 2002:99). Pengertian drama yang menyebutkan bahwa drama adalah cerita atau tiruan perilaku manusia yang dipentaskan adalah benar adanya. Hal ini disebabkan jika ditinjau dari makna kata drama itu sendiri yang berarti berbuat, bertindak, dan bereaksi menunjukkan bahwa drama adalah sebuah tindakan atau perbuatan (Hasanuddin, 1996:2). 

Sebagai sebuah karya, drama mempunyai karakteristik khusus, yaitu berdimensi sastra pada satu sisi dan berdimensi seni pertunjukkan pada sisi yang lain (Damono dalam Hasanuddin, 1996:7). Selama ini, pembicaraan tentang drama biasanya lebih banyak terfokus pada produk pementasan atau pertunjukannya. Resensi dan kritik di media massa rata-rata hanya berhenti pada pemaknaan terhadap nilai estetika drama ketika dieksekusi di atas panggung. Dengan demikian, keberhasilan drama seolah-olah hanya digenggaman para aktor, sutradara, dan penata pentas sebagai eksekutornya. Padahal, selain action nyawa drama juga terdapat pada textplay atau teks dramanya. 

Sebuah drama diciptakan selain bertujuan untuk menghibur juga memberikan kegunaan kepada pembaca (jika drama tersebut ditulis) dan kepada penonton (jika drama tersebut dipentaskan). Sayangnya, hingga kini, kritik teks drama sebagai bagian kritik sastra tidak begitu popular, terkesan jalan di tempat, dan terkurung di ranah akademik. Pada dasarnya genre puisi, prosa, dan drama mempunyai kedudukan yang sama penting dalam jagad kesusastraan. Plato dan Aristoteles membagi genre sastra itu pada tiga kelompok utama, yakni lirik, epik, dan dramatik (Wellek dan Warren, 1989:325). Oleh karena itu, pembicaraan mengenai ketiga genre itu seharusnya berimbang. Selama ini, penelitian mengenai drama sebagai genre sastra masih tidak memadai jika dibandingkan dengan kedua genre lainnya. Hal ini dapat dibuktikan pada jumlah penelitian terhadap genre drama yang sangat terbatas jumlahnya. 

Pembicaraan tentang drama yang muncul di tengah masyarakat lebih banyak terfokus pada pementasan atau seni lakonnya. Padahal, sesungguhnya drama sendiri mempunyai dua dimensi, yakni dimensi sastra dan dimensi pemanggungan. Masing-masing dimensi dalam drama tersebut dapat dibicarakan secara terpisah untuk kepentingan analisis (Hassanudin, 1996 : 9). 

Damono dalam Kesusastraan Indonesia modern mengemukakan bahwa drama mempunyai 3 unsur yang sangat penting yakni unsur teks drama, unsur pementasan, dan unsur penonton. Selain itu Sapardi Djoko Damono (1983:149) menyebutkan bahwa paling sedikit ada tiga pihak yang saling berkaitan dalam pementasan, yaitu: sutradara, pemain, dan penonton. Mereka tidak mungkin bertemu jika tidak ada naskah (teks). Secara praktis, pementasan bermula dari naskah yang dipilih oleh sutradara, tentunya setelah mulai proses studi. Lebih lanjut, Damono juga mengungkapkan bahwa apresiasi masyarakat yang sangat minim terhadap sastra drama disebabkan oleh para penonton drama yang biasanya datang pada pementasan tanpa bekal pembacaan teks drama itu sebelumnya.

Drama sebagai tiruan (mimetik) terhadap kehidupan, berusaha memotret kehidupan secara riil. Hal tersebut juga berlaku terhadap drama Dukun Dukunan. Drama ini mencerminkan keadaan sosial masyarakat pada zaman itu, dimana masyarakat pada zaman itu tidak puas dengan keadaan strata yang ada. sehingga banyak terjadi perlawanan. Perlawanan yang dilakukan untuk menentang sistem pemerintahan absolut yang banyak menimbulkan terjadinya penindasan, kemiskinan serta pertentangan kelas, pada masa itu terjadi krisis ekonomi.

3. Sastra dan Masyarakat 

Karya sastra diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati, dipahami dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat, antara masyarakat dengan orang-seorang, antar manusia, dan antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Bagaimanapun juga, peristiwa yang terjadi di dalam batin seseorang, yang sering menjadi bahan sastra, adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang lain atau dengan masyarakat. Sederet pernyataan di atas menunjukkan bahwa sastra tidak jatuh begitu saja dari langit, bahwa hubungan yang ada antara sastrawan, sastra dan masyarakat bukanlah sesuatu yang dicari-cari (Damono,1984: 1).

4. Sosiologi Sastra 

Sosiologi merupakan ilmu yang menyelidiki persoalan-persoalan umum dalam masyarakat dengan maksud menentukan dan menafsirkan kenyataan-kenyataan kehidupan kemasyarakatan, di dalamnya ditelaah gejala-gejala yang wajar dalam masyarakat, seperti norma-norma, kelompok sosial, lapisan dalam masyarakat, proses sosial, perubahan-perubahan sosial, lembaga-lembaga kemasyarakatan, dan kebudayaan serta perwujudannya (Soekanto, 1982:367). Secara singkat Sapardi Djoko Damono mengatakan bahwa sosiologi adalah telaah objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat, tentang sosial dan proses sosial (Damono, 1978:6).

Sebagaimana sosiologi, sastra pun erat berurusan dengan manusia dalam masyarakat. Sastra diciptakan oleh anggota masyarakat untuk dinikmati dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Sastra itu berada dan berasal dari masyarakat. Sastra dibentuk oleh anggota masyarakat berdasarkan desakan emosional atau rasional dari masyarakat. Karena itulah mengapa kesusastraan harus dipelajari berdasarkan ilmu sosial atau sosiologi (Sumardjo, 1982:14). Antara sosiologi dan sastra sesungguhnya berbagi masalah yang sama. Sebab, sebuah karya sastra merupakan suatu keseluruhan kata-kata yang kait-mengait secara masuk akal. Sastra dipahami seperti halnya sosiologi yang juga berurusan dengan manusia dan masyarakat tertentu yang memperjuangkan masalah-masalah yang sama, yaitu tentang sosial budaya, ekonomi, dan politik. Keduanya merupakan bentuk sosial yang mempunyai objek manusia. Perbedaan diantara keduanya adalah bahwa sosiologi melakukan analisis yang ilmiah dan objektif, sedangkan sastra menyusup menembus permukaan kehidupan sosial dan menunjukkan cara-cara manusia menghayati masyarakat dengan perasaannya (Damono, 1978: 7). Dengan adanya kesamaan objek, maka pendekatan sosiologi sastra menjadi pertimbangan bagi sebuah karya sastra.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun