Perppu tentang Ormas. E-KTP dan Ketua DPR. Hak Angket. Dan lain-lain. Itulah bahan obrolan tiga arsitek, yaitu Oji, Demun dan Sarwan, di sebuah kedai kopi pada suatu malam yang basah.
Demokrasi. Komunisme. Kapitalisme. Radikalisme. Sekulerisme. Dan seterusnya. Pokoknya bahan obrolan seputar kondisi politik terkini.
"Orang-orang cerdas macam kita ini memang dibutuhkan negara ini," ujar Oji. "Iya dong! Jangan sekali-sekali melupakan sejarah!" seru Demun. "Jass merah!" timpal Sarwan.
Ketiga arsitek itu merasa sudah seperti tokoh-tokoh penting dalam sebuah pergerakan kebangsaan. Â Masing-masing merasa seperti Soekarno.
Obrolan terasa afdol kalau kopi bisa ambil bagian. Di kedai kopi, jelas, kopi habis bisa dipesan lagi. Mumpung bisa bertemu, ngobrol, dan bertukar pikiran dengan santai antararsitek. Malam yang basah justru menjadi kondusif untuk obrolan dan kopi.
Kemudian tentang Ideologi negara. Dasar negara. Demokrasi Pancasila. Pilar demokrasi. DPR. Presiden. Dan kaitan antara negara dan bangunan. Ya, obrolan arsitek tidak jauh dari bangunan.
Pancasila adalah ideologi negara. Ideologi adalah dasar negara. Dasar negara seperti juga dasar bangunan. Dasar bangunan adalah...
"Pondasi," kata Oji. "Fondasi," kata Demun. "Kalau pada gambar bangunan, arsitek biasa pakai 'pondasi'. Itu sudah puluhan tahun. Lihat saja di arsip-arsip gambar bangunan," kata Sarwan.
Lantas ketiga arsitek itu berdebat mengenai pondasi dan fondasi. Kopi habis, bisa dipesan lagi. Obrolan berganti debat kecil. Pemilik kedai kopi tidak mungkin cemberut, asalkan tidak ribut dan bikin kalang kabut.
Yang benar itu kata baku ataukah kebiasaan berbahasa. Yang benar itu sesuai dengan kamus ataukah dokumen-dokumen perancangan. Benar dan tidak benar gara-gara pondasi dan fondasi. Masing-masing ngotot sampai otot leher mendesak-desak kulit.
Masing-masing merasa benar. Masing-masing saling menuntut untuk dibenarkan, dan saling menyalahkan pola pikir di antara mereka.