Mohon tunggu...
Greg Satria
Greg Satria Mohon Tunggu... FOOTBALL ENTHUSIASTS

Just Persistence

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Dua Sisi Mata Uang Siswa Gamers di Sekolah : Jago Mengetik dan Mental Restart

19 Agustus 2025   21:55 Diperbarui: 19 Agustus 2025   21:55 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seorang siswa yang tengah mengetik di laptop. Sumber : DOK. TANOTO FOUNDATION via kompas.com

Dua anak kelas tiga SD harus saya panggil seusai jam pelajaran TIK (Teknologi, Informasi, dan Komunikasi) siang ini. Secara halus saya bertanya "Kalian pasti hobi main game, ya?". Sambil tersenyum mereka mengangguk. Satu anak bahkan mulai menjelaskan karakter Roblox yang disukainya, dan saya pun harus menyela untuk menjelaskan dua sisi dampak nyata dari hobi mereka itu.

Dari dua puluhan siswa kelas tiga SD yang saya ajar, terlihat variasi kemampuan mereka dalam mengetik menggunakan keyboard. Hari ini adalah pelajaran baru bagi mereka, karena di kelas satu dan kelas dua hanya diberi materi menggambar melalui software Paint oleh guru sebelumnya.

Artikel dua lembar F4 penuh saya suguhkan, tidak hanya untuk mereka yang kelas tiga, sebab artikel yang sama juga dipakai kakak kelas mereka hingga kelas enam. Tujuan saya, adalah mengetahui kemampuan dan kecepatan mengetik dari tiap siswa.

Betul saja, kemampuan mereka sangat bervariasi. Ada yang masih mencari di mana letak huruf "E-C-H-O-C-H-A-M-B-E-R-S" sebagai judul artikel yang saya siapkan. Namun, ada juga yang sudah tampak cekatan menggunakan kedua jari telunjuknya.

Ya, yang jago ini, meskipun belum familiar dengan susunan kata maupun tanda baca, terlihat sangat antusias menekan tuts pada keyboard komputer sekolah. Akan cukup mengherankan jika dilihat wali kelas mereka, mereka ini yang secara nilai akademis, tidak terlalu bagus.

Dan dua anak yang saya panggil tadi, sebut saja Adam dan Rian, adalah mereka yang sebenarnya termasuk punya kecepatan mengetik di atas rata-rata kelas. Informasi saya dapatkan dari Rian, ia sudah familiar menggunakan keyboard karena bermain Roblox menggunakan laptop dan kerap mengirimkan chat kepada temannya di game tersebut.

Namun dalam dua jam pelajaran TIK, hasil akhir berkata lain. Adam dan Rian bahkan tidak lebih baik dari mayoritas teman lainnya.

Lho kok bisa? Ya, karena dua hingga tiga kali saya amati, mereka berdua melakukan restart!

Jadi, dalam satu paragraf yang sudah diketik, kadangkala saya memberikan pengajaran mengenai detail kesalahan siswa, seperti tanda ":" berbeda dengan ";", maupun penggunaan huruf kapital yang harus konsisten dengan artikel.

Selain dua anak tadi, semua siswa memperbaiki setiap kesalahan dengan mengarahkan kursor ke huruf atau tanda yang salah, kemudian baru menghapus dan merevisinya. Tetapi ini berbeda dengan Adam dan Rian.

Mereka berdua, saya lihat memilih untuk memblok semua tulisan di paragraf tersebut, yang biasanya terdiri dari dua hingga tiga kalimat, lalu menghapusnya. Bahkan, jika kesalahan itu dibuat di bagian akhir paragraf!

Saya sempat tanya kepada Adam mengapa ia melakukan ini. Jawabnya "Biar, Pak. Lebih enak saja kalau diulang."

Kembali ke momen setelah jam pelajaran, saya akhirnya menjelaskan kepada mereka, bahwa kemungkinan pola pikir mereka "me-restart" pekerjaan, sangat terpengaruh dari game.

Di dalam game, jika kita berbuat salah ataupun game over, kadang kita merasa bahwa kita bisa menunggu sebentar ataupun bahkan langsung melakukan restart agar permainan dimulai di awal lagi.

Saya menjelaskan kepada kedua anak itu, bahwa dalam hidup, mental "restart" itu kadang tidak bisa dipergunakan. Ini erat kaitannya dengan waktu. 

Di pelajaran siang ini, mereka berdua meskipun mempunyai kecepatan mengetik lebih dibandingkan mayoritas temannya, nyatanya harus membuang waktu dengan melakukan restart.

Kesempatan berupa waktu tanpa batas dari sebuah game, mungkin sudah melekat di benak mereka berdua. Tetapi dalam dunia nyata yang mempunyai keterbatasan waktu maupun adanya tenggat waktu, pola pikir ini harus bisa dibedakan.

Terlihat simpel, tetapi saya rasa penting untuk membagikan pengalaman tadi di artikel ini. Meskipun hanya sebagai tendik, sudah menjadi kewajiban saya bukan sekedar mengajar, tetapi mendorong siswa jadi hebat.

Bagi Siswa, Main Game Bisa Membantu namun Harus Ada Panduan

Mengutip dari artikel kompas.com, para peneliti yang menggunakan proyek riset besar bernama ABCD Study meneliti dampak bermain game pada anak usia 9-10 tahun terhadap peningkatan IQ mereka dua tahun berselang.

Hasilnya, anak-anak yang bermain video game lebih banyak dari rata-rata mengalami peningkatan IQ sebesar 2,5 poin dibanding anak-anak lain.

Peningkatan IQ ini diukur dari performa mereka dalam berbagai tugas, seperti pemahaman membaca, pemrosesan visual-spasial, memori kerja, fleksibilitas berpikir, hingga pengendalian diri.

Media digital sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari masa kanak-kanak modern, tapi efek kognitifnya masih diperdebatkan,” tulis para peneliti dalam laporan mereka yang dipublikasikan di Scientific Reports.  

Realistisnya, di sini pihak orang tua maupun siswa itu sendiri tidak boleh terlalu optimis terhadap hasil penelitian di atas. Harus ada aspek lain yang bisa mengarahkan peningkatan IQ tersebut ke arah yang "benar", yakni adanya panduan.

Panduan dari orang tua mutlak dibutuhkan. Dan sewaktu di sekolah, panduan dari guru juga harus bisa mengejar perkembangan zaman ini. 

Di era sekarang, tindakan "nakal" siswa (terutama SD) mungkin berbeda dengan periode sepuluh atau bahkan dua puluh tahun yang lalu.

Para guru dua dekade lalu mungkin bisa langsung menghukum siswa yang "celometan" di kelas saat pelajaran. Namun sekarang, ada cukup banyak siswa yang secara reflek "celometan", karena meniru reaksi para Youtuber-Gamers favorit mereka.

Arus air bah perkembangan zaman tidak bisa dicegah dengan melarang menonton Youtube, TikTok, Reels Instagram, dan sebagainya. 

Sekali lagi, di sinilah kemampuan adaptasi seorang guru terhadap perubahan zaman benar-benar menjadi sebuah tantangan besar. Bagaimana guru bisa memasukkan sebuah nilai di dalam percakapan mengenai hobi atau kesenangan modern para murid cukup vital, agar tidak dicap sebagai "otoritarian yang ga asyik".

Menutup artikel ini ijinkan saya memberikan sedikit Aspirasi Pendidikan Bermutu Untuk Semua

Hemat saya, jikalau para guru mempunyai waktu yang bisa disisihkan untuk melakukan hal selain mengajar, alangkah baiknya jika pihak dinas pendidikan memberikan juga update materi perkembangan seputar hobi, game, atau kesenangan para murid. Daripada, harus mengerjakan seabrek urusan birokrasi.

Ini akan sangat membantu dalam proses belajar-mengajar yang lebih menyenangkan dan hidup. Seorang siswa yang dicap introvert, akan mampu menyuarakan pendapatnya apabila ditanya pertayaan semisal "Menurut kamu apa bedanya film Ne Zha 2 dibanding Merah Putih : One For All?"

Jadi, untuk probabilitas dua sisi mata uang di atas, maukah kita senantiasa setia memberi panduan kepada calon Generasi Emas Indonesia?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun