Mereka berdua, saya lihat memilih untuk memblok semua tulisan di paragraf tersebut, yang biasanya terdiri dari dua hingga tiga kalimat, lalu menghapusnya. Bahkan, jika kesalahan itu dibuat di bagian akhir paragraf!
Saya sempat tanya kepada Adam mengapa ia melakukan ini. Jawabnya "Biar, Pak. Lebih enak saja kalau diulang."
Kembali ke momen setelah jam pelajaran, saya akhirnya menjelaskan kepada mereka, bahwa kemungkinan pola pikir mereka "me-restart" pekerjaan, sangat terpengaruh dari game.
Di dalam game, jika kita berbuat salah ataupun game over, kadang kita merasa bahwa kita bisa menunggu sebentar ataupun bahkan langsung melakukan restart agar permainan dimulai di awal lagi.
Saya menjelaskan kepada kedua anak itu, bahwa dalam hidup, mental "restart" itu kadang tidak bisa dipergunakan. Ini erat kaitannya dengan waktu.Â
Di pelajaran siang ini, mereka berdua meskipun mempunyai kecepatan mengetik lebih dibandingkan mayoritas temannya, nyatanya harus membuang waktu dengan melakukan restart.
Kesempatan berupa waktu tanpa batas dari sebuah game, mungkin sudah melekat di benak mereka berdua. Tetapi dalam dunia nyata yang mempunyai keterbatasan waktu maupun adanya tenggat waktu, pola pikir ini harus bisa dibedakan.
Terlihat simpel, tetapi saya rasa penting untuk membagikan pengalaman tadi di artikel ini. Meskipun hanya sebagai tendik, sudah menjadi kewajiban saya bukan sekedar mengajar, tetapi mendorong siswa jadi hebat.
Bagi Siswa, Main Game Bisa Membantu namun Harus Ada Panduan
Mengutip dari artikel kompas.com, para peneliti yang menggunakan proyek riset besar bernama ABCD Study meneliti dampak bermain game pada anak usia 9-10 tahun terhadap peningkatan IQ mereka dua tahun berselang.
Hasilnya, anak-anak yang bermain video game lebih banyak dari rata-rata mengalami peningkatan IQ sebesar 2,5 poin dibanding anak-anak lain.
Peningkatan IQ ini diukur dari performa mereka dalam berbagai tugas, seperti pemahaman membaca, pemrosesan visual-spasial, memori kerja, fleksibilitas berpikir, hingga pengendalian diri.