Dua gol pertama Korea Utara bermula dari sepak pojok, saat menit ke-7' Choe Song-Hun mampu menaklukkan Dafa Al Gasemi lewat tembakan first time, lalu menit 20' Kapten Kim Yu-jin menceploskan bola dari jarak dekat usai membentur Mathew Baker.
Sesekali tusukan dilakukan oleh Zahaby Gholy dan Mierza Firjatullah di kotak penalti, namun babak pertama berakhir dengan keunggulan dua gol sang lawan. Salah satu indikator kesuksesan Korea Utara, mereka tidak membiarkan Gholy lama bermain dengan bola. Sekali putar langsung tebas.
Coach Nova langsung coba berbenah dengan memasukkan Aldyansyah Taher untuk gantikan gelandang Nazriel Alfaro. Namun ekploitasi bola atas dan second ball mengandalkan fisik, membuat Ri Kyong Bong mampu mencetak gol cepat di paruh kedua. Di titik inilah gestur pemain Garuda Asia sudah terlihat "kalah".
Berikutnya, penalti Kim Tae-guk gagal diantisipasi oleh Dafa di menit 60' usai Putu Panji didakwa wasit melakukan handsball di kotak terlarang.
Tidak sampai dua menit, aksi individual Ri Kang-rim di tengah kawalan empat bek Indonesia membuat hati penonton memelas. Tak cukup sampai disitu, lesakkan Pak Ju-won usai clearence tidak sempurna Fabio Azka membuat setengah lusin kebobolan menjadi penutup perjalanan Indonesia di Piala Asia U-17.
Kurangnya Rasa Lapar Berkompetisi?
Satu sisi pembahasan ini memang akan terdengar subyektif, namun bertujuan untuk menaikkan lagi level Indonesia di kancah sepakbola Asia. Ya, rasa puas karena sudah lolos Piala Dunia U-17 mungkin sudah berkecamuk di tengah angin kencang yang berhembus di lapangan outdoor King Abdullah Stadium.
Di laga semalam, terlihat bahwa Korea Utara tampak lebih lapar untuk meraih posisi setinggi mungkin pada Piala Asia U-17. Gertakan awal pasukan O Thae-song melengkapi kesiapan strategi mereka mengeksploitasi kelemahan kubu Indonesia.
Tertinggal dua gol di babak pertama, seharusnya bisa disikapi dengan bermain lebih menyerang di paruh kedua. Namun yang terjadi, sang lawan makin merajalela dan Garuda Asia terkesan minder justru di fase gugur ini.
Tentu tidak ada strategi lain yang bisa diberikan selain menyerang usai gol ketiga Korea Utara. Sayangnya, kurangnya rasa lapar berkompetisi usai tiga kemenangan beruntun di fase grup, membuat senyawa permainan Garuda Asia tidak keluar. Di mata pemain kurang terlihat kemarahan usai gwangnya digelontor lawan.Â
Dan, dua gol dalam kurun dua menit membuyarkan semua mimpi menuju puncak Asia tahun ini.
Berkaca dari Staying-Power ala Korea Utara
Mungkin Indonesia sudah terbiasa untuk meladeni permainan negara Asia Barat karena seringnya bertemu Arab Saudi, Bahrain, dll serta adanya kesamaan fisik. Tetapi jika menghadapi negara seperti Korea Utara maupun Uzbekistan, jelas Garuda Asia masih belum menemukan solusinya. Level ketahanan mereka di atas Vietnam yang mengusung permainan serupa.