Mohon tunggu...
Grant Gloria Kesuma
Grant Gloria Kesuma Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Mari menulis!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dapat Jackpot Gara-gara Knalpot

12 Desember 2020   22:39 Diperbarui: 13 Desember 2020   07:26 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perempuan cantik yang duduk di dekat jendela kantin kampusku itu bernama Sabrina. Rambutnya panjang, kulitnya putih bersih, dan senyumnya sungguh manis, bahkan mengalahkan manisnya teh hangat yang kupesan. Oh, ya, satu lagi.... kehadirannya di kantin ini membuat jiwaku terasa hangat, lebih hangat dari teh yang baru saja tiba di mejaku. Ouch! Sungguh mendebarkan kala kulihat senyumnya.

Sabrina itu mahasiswa tingkat dua, sedangkan aku mahasiswa tingkat akhir. Dia adik tingkatku. Aku mengenalnya saat acara orientasi mahasiswa baru. Aku sudah cukup dekat dengannya. Karena itulah, aku berpikir ingin melanjutkan hubungan kami ke jenjang yang lebih serius. 

Tentu saja aku tak mau dibilang lelaki PHP, memberi harapan saja atau cuma mau senang-senang saja. Tidak seperti itu, Fergusso! Aku mendekati Sabrina karena memang ingin lebih serius dengannya. Bukan sekadar friendzone seperti yang dikatakan para sobat dekatku. Hanya saja, aku belum menemukan waktu yang pas untuk mengutarakan isi hatiku pada Sabrina. 

"Sob, menurutmu apa yang harus aku bawa saat menembak Sabrina?" tanyaku pada sobatku, Ahmad.

"Ya tembak langsung sajalah! Memangnya mau bagaimana lagi? Nggak usah basa-basi toh kalian sudah dekat selama ini!" jawab Ahmad.

"Ah, nggak serulah! Nggak ada kejutannya!" ujarku.

"Biasa aja, kali! Kayak nggak pernah nembak cewek aja kau ini!" seru Ahmad.

"Itu... Sudah sekian purnama aku nggak pernah dekat dengan cewek. Jadi rasanya ini seperti yang pertama kalinya!" jawabku sekenanya.

"Bohong kok dipelihara!" seru Ahmad, lagi.

"Ah, diam kau!" balasku.

"Bung, menurutku kau harus bawa motor yang keren. Pakai baju yang rapi, bersih, wangi. Bawakan bunga atau cokelat oke juga," saran Dino, sobatku yang satu lagi.

"Ish, sok romantis sekali kau ini! Memang kau pikir motornya si Ben ini bagaimana? Keluaran lama gitu," seru Ahmad.

"Woi! Woi! Tua-tua gitu motorku berjasa. Tahu!" hardikku pada Ahmad.

"Iya, aku tahu kondisi motor si Ben. Maksudku dimodif sedikitlah biar kelihatan agak anyar!" kata Dino.

"Modif yang bagaimana maksud lo?" tanyaku.

"Ehm! Ganti knalpotnya, Bro! Yang model racing tuh! Bakalan kelihatan keren nantinya!" jawab Dino.

Aku berpikir sambil menggaruk-garuk kepalaku yang memang gatal karena belum dicuci sejak 5 hari yang lalu. Mungkin sekarang sudah ketombean. Atau mungkin bahkan berulat. Yaiks!

"Hmm... knalpot, ya? Sepertinya oke juga idenya," gumamku.

Tak butuh waktu lama, aku langsung mengeksekusi ide dari Dino. Aku pergi ke bengkel motor langgananku lalu meminta Kang Servis untuk mengganti knalpotku dengan knalpot yang dikatakan si Dino. Aku juga mempersiapkan segala hal yang akan kubawa saat hari H.

Beberapa hari kemudian, aku beraksi. Sebelumnya aku mengirim pesan pada Sabrina.

"Hei, Sab. Malam Minggu nanti ada kerjaan? Aku pengen ke Taman Kota. Sudah lama nggak ke sana. Dengar dari teman-teman sekarang pemandangannya keren di sana," begitu tulisku.

"Malam Minggu ini aku free, Bang. Boleh juga kalau mau ke sana. Siapa saja yang pergi?" balas Sabrina.

"Cuma kita aja. Yang lain sudah punya acara sendiri," balasku.

"Oh, begitu," balasnya.

"Aku jemput jam 7 malam ya," balasku.

"Oke siap," jawabnya.

Pukul 7 kurang 5 menit aku tiba di rumah Sabrina. Ibunya mempersilakan aku masuk.

"Sepertinya ada yang beda," kata ibunya Sabrina.

"Eh? Beda apanya, Bu?" tanyaku.

"Sepertinya motornya," jawab ibu Sabrina.

"Oh, iya, Bu. Knalpotnya baru," kataku. Saat itu Sabrina keluar dari kamarnya. Ia mengenakan T-shirt dipadukan dengan celana jeans. Gayanya kasual tapi keren.

"Ayo, Bang, kita pergi," ajak Sabrina.

Dalam perjalanan, jantungku rasanya mau lepas. Aku sungguh gugup. Ditambah kami sama sekali nggak mengobrol saat naik motor. Kupikir Sabrina juga merasa gugup karena ini kali pertama kami pergi berdua saja. Biasanya kami pergi beramai-ramai dengan sobat-sobatku atau sobat-sobatnya Sabrina.

Perjalanan memakan waktu sekitar 15 menit. Setelah memarkir motor, aku mengajak Sabrina berkeliling sebentar. Lalu aku mengajaknya ke sebuah bangku panjang di area yang tidak terlalu ramai supaya bisa melancarkan aksiku.

"Sab," panggilku. Aku merogoh cokelat batangan dari saku jaketku.

"Apa, Bang?" tanyanya.

"Ehm! Aku mau nanya...."

"Apaan?"

"Anu... kamu mau nggak jadi pacarku?" tanyaku sambil menyodorkan cokelat padanya.

"Abang mau nyogok aku ya?" tanya Sabrina sambil tertawa kecil.

Rasanya aku ingin bumi menelanku saja. Wajahku pasti sudah merah sekali kayak kepiting rebus sekarang.

"Ah, maaf. Kalau nggak mau cokelatnya aku ambil kembali," jawabku.

"Janganlah, Bang. Cokelatnya aku mau, kok!" kata Sabrina. Ia mengambil cokelat dari tanganku. Jantungku makin berdebar saat tangannya sekilas menyentuh telapak tanganku.

"Ya. Ambillah cokelatnya. Memang aku belikan spesial buatmu," kataku, merasa kikuk.

"Makasih, Bang," katanya sambil tersenyum.

"Tapi.....," lanjutnya. Ia tidak menyudahi kata-katanya. Jeda agak lama.

"Tapi apa, Sab?"

"Tapi.... aku cuma mau cokelatnya saja."

"Eh?"

"Iya, cokelatnya saja, Bang. Aku nggak mau jadi pacar Abang," katanya.

"Oh....," kataku. Shock! Jeda agak lama karena tiba-tiba aku merasa pusing.

"Kenapa?" tanyaku ketika aku sudah bisa mengendalikan diri.

"Soalnya.... aku nggak suka cowok yang knalpotnya berisik," jawabnya.

"Hah?" Aku makin terkejut dengan jawabannya.

"Maaf, ya, Bang. Kita temenan aja kayak sebelumnya," katanya sambil tersenyum. Senyumnya kini tak terasa manis lagi. Pahit. Kelet. Dan aku merasa sesak. Aku berpikir, mungkinkah ini tandanya aku kena Corona? Karena saat ini aku dan Sabrina sama-sama tidak memakai masker, juga tidak menjaga jarak.

Setelah aksi yang kacau balau tersebut, kami masih sempat melihat-lihat beberapa atraksi yang ada di Taman Kota. Sabrina tampak menikmati jalan-jalan ini. Aku? Lesu tak bertenaga. Untunglah aku memakai maskerku sekarang. Jadi Sabrina tidak melihat wajahku yang cemberut kayak jerut purut 

Setelah mengantar Sabrina pulang, aku melewati persimpangan jalan. Dari jauh kulihat ada banyak polisi. Sepertinya ada razia. Aku memelankan laju motorku. 

PRIIIITTT!! 

Pak polisi menyuruhku berhenti. Ia memintaku menunjukkan kartu identitas dan surat-surat motor. Karena aku selalu membawa surat-surat tersebut, aku merasa tenang-tenang saja. Razia biasa. Tetapi apa yang dikatakan pak polisi sungguh di luar dugaanku. Aku ditilang karena knalpotku! Alasannya suaranya bising. Mengganggu. Polusi suara.

Astaga! Benar-benar tak disangka!

Aku ingat apa yang dikatakan oleh ibu Sabrina saat aku mengantar Sabrina pulang tadi.

"Bagusan motor nak Ben yang lama. Nggak bising!"

Yaaah.... Ini semua gara-gara knalpot! Pantas saja saat di motor tadi Sabrina tidak mengajakku mengobrol. Kalaupun dia mengajakku bicara, aku tidak kedengaran suaranya karena suara knalpot baruku begitu  menggelegar.

Sumpah, aku menyesal mengganti knalpotku!

* * *

kompal-5fd55f96d541df7a2353ff72.png
kompal-5fd55f96d541df7a2353ff72.png

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun