Mohon tunggu...
Gloria Fransisca
Gloria Fransisca Mohon Tunggu... Jurnalis - Writer

My name is Gloria Fransisca Katharina Lawi, I was born in Jakarta. Experienced in media service especially as writer, journalist, researcher, public relation, and social media content for almost 10 years in KONTAN and Bisnis Indonesia. Currently, I am doing my new role as Content Caretaker of political platfom, MOSI.ID.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Jika Yesus Lahir di Era Media Sosial

26 Desember 2018   01:34 Diperbarui: 26 Desember 2018   13:50 801
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari Raya Natal adalah Hari Raya Kelahiran. Sebuah peringatan kaum Kristiani akan lahirnya Kristus, Putra Sulung Allah, yang menjadi manusia. Menurut iman Kristiani, sabda Allah itu menjadi daging, berinkarnasi sebagai manusia secara utuh.

Saya sungguh tergelitik pada hari Raya Natal ini dengan membaca beberapa status yang diunggah tak lain dan tak bukan oleh mantan dosen saya di Universitas Multimedia Nusantara, yakni Ignatius Haryanto. Berikut cuplikan seru status "Christmas Jaman Now" yang memberi ruang refleksi pada saya. Simak ya;

(dok. pribadi)
(dok. pribadi)
(dok. pribadi)
(dok. pribadi)
(dok. pribadi)
(dok. pribadi)
(dok. pribadi)
(dok. pribadi)
Sungguh lucu dan jenaka status buatan dosen saya itu, kan? Padahal kalau kita mencoba menggali lebih dalam, humor ini memiliki makna yang sangat dalam untuk kita refleksikan, yakni soal perubahan dunia, soal zaman yang serba praktis dalam kehidupan kita saat ini. Termasuk kemudahan berkomunikasi.

Saya ingin mengerucutkan refleksi hari raya Natal ini dengan beberapa guyonan tentang cara berkomunikasi kita. Selain itu saya ingin mengajak kita memulai perjalanan merefleksikan ulang makna menjadi Indonesia tepat dalam momentum Natal.

CARA KOMUNIKASI JAMAN NOW

Pada edisi Christmas Jaman Now #3 ketika Herodes disebutkan ingin mencari tahu kebenaran lahirnya Raja Semesta Alam, dia pun menggunakan Google Fact, hanya untuk melakukan pengecekan ulang. Apakah ini hoax, atau bukan? Dalam status ini menjadi penting untuk sekadar mengingatkan pentingnya kesimpangsiuran informasi yang 'blur' menjadi 'clear'.

Salah satu platform saat ini yang tersedia adalah Google Facts, meskipun, lagi-lagi, kita masih ada ruang perdebatan teknis terkait akurasi kebenaran ini. Pertanyaan kita selanjutnya, apakah dalam menerima informasi sehari-hari kita pernah melakukan pengecekan ulang?

Sembari berefleksi pada pertanyaan saya, izinkan saya mengantarkan anda pada sejumlah fakta yang dipaparkan dalam Harian Kompas, pada edisi Kamis 18 Oktober 2018 yakni 'Ancaman Berita Disinformasi."

Ini adalah berita wartawana Anthony Lee sebagai laporan Konferensi Jurnalisme Investigasi Asia ke-3 di Seoul, Korea Selatan, pada 4-7 Oktober 2018. Dalam konferensi itu dibahas soal delegitimasi media massa dan jurnalisme, serta tatanan internal media massa. Pasalnya, karena media massa mulai bersaing secara ketat, kondisi ini bisa mengancam demokrasi.

Kita tentu sudah mengetahui bahwa media adalah pilar keempar dari demokrasi. Lantas bagaimana dia kini bisa menjadi ancaman bagi demokrasi? Pasalnya, karena persaingan ketat soal 'kecepatan' menghasilkan informasi membuat jurnalis atau produsen berita mulai terkena dampak terhadap hasil informasi.

Media arus utama dan para jurnalisnya tidak bisa lagi hanya menjadi penjaga gawang dalam pemberitaan. Mereka harus berlari cepat. Sebab, proses kerja jurnalistik konon selalu kalah cepat dengan hoax. Tidak ada konfirmasi apalagi verifikasi.

Bagi seorang jurnalis, pekerjaan kami sehari-hari jelas terikat pada Kode Etik Jurnalistik. Mekanisme kode etik inilah yang sudah pasti tidak dimiliki oleh produsen hoax.

Ada 11 pasal kode etik jurnalistik yang bisa anda cari sendiri di google jika anda belum tahu. Disini saya ingin menggarisbawahi 4 prinsip pokok sebagai intisari dari kode etik. Pertama; mencari kebenaran dan (berani) melaporkannya, meminimalisasi dampak negatif atau kerugian, bertindak independent, dan bertanggung jawab.

Kembali ke soal kecepatan. Mengapa hoax atau berita yang bukan hasil karya jurnalistik bisa laku cepat ketimbang berita terverifikasi? Mari kita lihat analogi Christmas Jaman Now #8. Ketika para penggembala mendengar kabar kelahiran Yesus, yang mereka lakukan adalah 'broadcast messages.'

Pada peringatan hari Natal, atau hari raya lain, kita sering mensimplifikasi ucapan Natal dengan mengirimkan broadcast messages di grup WA. Tidak banyak sentuhan personal kecuali itu adalah sosok yang penting bagi kita. Lantas apa sih motivasi atau dorongan kita membroadcast messages?

Jika penggembala merasa kelahiran Yesus adalah kabar gembira, apakah sehari-hari kita juga melakukan broadcast messages berupa kabar gembira? Atau sebaliknya, kabar kebencian, dan menyebarkan ketakutan? Selamat menjawab pertanyaan ini pada diri anda masing-masing.

KEMANUSIAAN DIUJI

"Malam kudus...Sunyi senyap.. Dunia terlelap..Hanya dua berjaga terus..Ayah bunda mesra dan kudus..Anak tidur tenang.."

Begitulah kidung yang dinyanyikan di gereja. Kidung kisah seorang perempuan muda, seorang perawan, Maria atau Maryam, dengan suaminya, mantan seorang duda, terpaksa pergi dari rumah. Dalam keadaan hamil besar dan diincar oleh Raja Herodes mereka pergi hendak mengikuti sensus penduduk.

Dalam perjalanan, Maria harus melahirkan, sepasang suami-istri ini akhirnya mengungsi di sebuah kandang domba. Maklum, tidak ada penginapan yang hendak menerima mereka. Pasangan ini harus menerima penolakan berkali-kali dalam situasi genting.

Pilihan untuk melahirkan dalam kandang yang tentu tidak mengkilap dan tentu saja bau. Disanalah putra sulung Allah lahir. Dia menjadi manusia seutuh-utuhnya dan sesulit-sulitnya. Yesus namanya.

Ribuan tahun sesudah kelahiran Yesus, semangat itu seharusnya masih sama. Natal akhirnya memberi simbol persatuan keluarga. Simbol Natal juga persatuan Tuhan dengan manusia. Namun, spiritualitas Natal bukan sekadar sukacita, tetapi sebenarnya spiritualitas bertahan dalam tekanan hidup. Bukan sekadar hidup sederhana tetapi hidup yang sangat terbatas.

Saya terpental jauh pada permenungan dari cerita layar kaca, penyiar berita mengabarkan ada seorang perempuan muda kehilangan suami dalam bencana. Seorang ibu kehilangan anak dan suami. Seorang ibu bersama anaknya hidup dalam pengungsian yang serba terbatas.

Angka korban tsunami sudah mencapai lebih dari 300 jiwa. Mereka kekurangan bahan makanan, kantong jenazah terbatas, mayat bertebaran tak terurus. Belum lagi keterbatasan air bersih. Saat ini, saat Anda yang merayakan bisa berkumpul dengan keluarga, atau anda yang tidak merayakan tetap bisa menikmati libur, ada ratusan orang yang tercerai berai dari keluarga mereka.

Bagi saya, Natal tak selalu bermakna bahagia. Natal adalah penghayatan pada hidup manusia yang selalu sulit. Hingga akhirnya yang tersulit dari menjadi Kristiani adalah mengikuti Kristus sendiri.

Spiritualitas yang ditawarkan Kristus sejak kelahiran dia adalah berpihak pada yang lemah. Selalu ingat kepada mereka yang dikorbankan. Sebab Dia adalah simbol dari manusia yang lemah itu sendiri. Dalam dinamika saat ini Yesus sama seperti para pengungsi.

Akhirnya spiritualitas Natal jauh melebihi kumpul keluarga, kandang, gereja, pohon natal, atau salib yang ditolak. Spiritualitas Natal jauh melebihi simbol-simbol itu. Spiritualitas Natal adalah tentang berani lahir kembali dan berani memilih yang tersulit.

Itulah akhirnya makna komunikasi di media sosial saat ini adalah tentang menguji kemanusiaan. Dalam segala perilaku di dunia nyata, maupun perilaku dan tata tutur di media sosial. Dunia kita terpecah menjadi dua, dunia nyata dan maya.

Dunia akhirat akhirnya masih menjadi sebatas cita-cita. Informasi bukan lagi monopoli seorang jurnalis, anda, siapapun anda, kini memiliki otoritas sendiri untuk menyebarkan informasi melalui akun media sosial anda.

Berilah nyawa pada etika media sosial yaitu kesadaran tentang tanggung jawab kemanusiaan. Jangan menyebarkan berita-berita yang hanya menambah kecemasan. Jangan menyebarkan ketakutan yang tak terbukti. Apalagi jika belum ada verifikasi dari pihak yang bertanggung jawab. Jangan mengeksploitasi penderitaan korban bencana alam.

Misalnya; menyebarkan foto korban dan jenazah. Pengguna media sosial yang baik juga tentunya tidak memberi bumbu kontroversi dan cocokologi di tengah tensi bencana alam dan kepentingan politik.

(twitter.com/sh1sno)
(twitter.com/sh1sno)
Kita jelas menyadar dalam dua dunia ini ada pendekatan yang berbeda. Maka, silakan masing-masing dari kita, apapun kepercayaan Anda, bertolaklah kepada diri Anda sendiri.

Tanyakan lagi, sudahkah Anda memberi kesempatan pada informasi yang memanusiakan manusia lain? Apakah Anda ingin orang lain berkomunikasi seperti Anda menerima informasi yang tidak menyenangkan dan menakutkan itu?

Selamat Natal bagi kawan-kawan yang merayakan. Selamat menghayati spiritualitas Natal. Damai di bumi. Damai di hati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun